SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Politik kontemporer—di tingkat nasional maupun lokal, dalam konteks Indonesia—adalah politik yang ”minimal”. Filsuf dan pemikir kebudayaan Yasraf Amir Piliang menyebut demikian dengan meminjam pemikiran Christopher Lasch tentang ”diri minimal”.

Saya sepenuhnya sepakat dengan penyebutan dan pemikiran demikian setelah mengamati, membaca, dan menelaah realitas politik yang terjadi akhir-akhir ini, di tingkat nasional maupun lokal dalam konteks Indonesia.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Diri minimal adalah diri yang tidak bertopang pada identitas yang esensial. Suatu diri tanpa diri. Politik minimal adalah politik yang tidak punya identitas. Politik yang kehilangan alasan mengapa disebut politik.

Mirip dengan barang yang tergeletak di gudang dalam timbunan barang-barang lain. Kini, boleh jadi, politik tak berbeda secara esensial dengan bidang-bidang sosial lainnya.

Kini dunia politik makin kehilangan ruang politik. Dunia politik kini dominan dengan ruang digital. Ruang digital itu ruang yang penuh citra—termasuk citra yang direkayasa, bukan citra esensial, citra sebagai manifestasi diri-diri minimal.

Makin minim kebenaran politik. Makin dominan manipulasi politik. Segala praktik manipulasi disahkan sebagai ”kehendak rakyat”. Rakyat yang termanipulasi disebut sebagai kecerdasan sosial.

Tidak ada lagi kepercayaan politik. Makin masif perdayaan politik. Kebajikan politik juga makin minim. Yang mengemuka dan makin jamak adalah permainan bebas politik.

Realitas politik terdesak oleh fatamorgana politik. Seiring kaum cendekiawan yang dikalahkan oleh influencer. Suara cendekiawan, kaum cerdik pandai, dinistakan. Pendapar influencer jadi acuan utama.

Yasraf menyebut politik mengalami perubahan mendasar mengenai definisi dan pemahaman tentang ruang, kebenaran, kepercayaan, realitas, transendensi politik yang mengubah pula secara mendasar konsep tentang politik itu sendiri.

Politik yang demikian, dalam pemaknaan saya, bisa jadi disebabkan politikus dan para pemilih—rakyat—adalah diri-diri yang minimal. Politik kontemporer dijalankan oleh diri-diri minimal dan digunakan untuk memengaruhi diri-diri yang minimal pula.

Di ruang politik digital—virtual—yang menjadi tulang punggung praksis ”berpolitik” hari-hari ini, setiap aktor menggantungkan diri pada citra sebagai jalan pencarian eksistensi. Aktor-aktor politik menjadi diri-diri yang minimal.

Di ruang politik yang tidak autentik ini seseorang membangun identitas diri sebagai diri umum, yaitu model diri yang mengikuti logika publisitas dan popularitas.

Ciri-cirinya adalah keseragaman, kesamaan, kepublikan. Setiap aktor politik berupaya keras membangun citra diri—yang diri minimal itu—agar berada di dalam dunia mereka.

Autentisitas yang sesungguhnya harus dimaknai sebagai dasar dalam praksis politik dipertentangkan dengan publisitas dan popularitas dalam pengertian yang umum.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi—teknologi digital—memberi ruang sangat luas bagi permainan identitas. Teknologi, dengan dukungan algoritma yang berorientasi menghimpun kerumunan, mendorong penciptaan identitas baru, identitas  palsu, identitas ganda, identitas jamak.

Identitas bukan lagi tentang autentisitas diri. Identitas adalah cara mengemas diri-diri yang minimal. Identitas adalah rekayasa diri agar diterima di jagat publisitas dan popularitas.

Politik di ruang virtual, dengan demikian, adalah buah rekayasa, manipulasi, simulasi, dan artifisialitas. Di sini batas-batas antara identitas yang satu dengan identitas yang lain menjadi kabur. Jarak identitas dengan asal-usulnya menjadi semakin renggang.

Ini berdampak prinsip dasar identitas, relasi vertikal dengan ideologi dan relasi horizontal dengan identitas-identitas politik lain, tidak ada lagi. Inilah yang kemudian disebut permainan identitas politik menggiring ke matinya identitas politik.

Manifestasi paling mudah yang bisa ditelaah dan dimaknai dalam gejala dan praksis politik kontemporer adalah nyaris tak ada perbedaan di antara partai-partai politik, nyaris tidak ada perbedaan di antara aktor-aktor politik.

Kandidat-kandidat kepala daerah yang belakangan mengemuka—lewat pembangunan citra dengan berbagai cara dan jalan—sesungguhnya juga tidak menunjukkan perbedaan identitas yang autentik.

Orang-orang yang disebut layak dicalonkan menjadi kepala daerah, di mana saja, kini rata-rata punya identitas yang sama. Mereka disebut-sebut sebagai wakil kaum muda. Di antara mereka jamak adalah anak atau keturunan tokoh politik bernama besar.

Di antara mereka juga jamak mengedepankan penampilan fisik yang rupawan. Di antara mereka adalah kerabat atau keturunan penguasa. Autensititas diri yang berbasis pada ideologi tampaknya tak laku di dunia publisitas dan popularitas.

Silakan dicermati, yang disebut-sebut sebagai kandidat kepala daerah, yang muncul lewat polling dengan aneka metode, yang muncul lewat publisitas yang berbuah popularitas, adalah diri-diri yang belum menunjukkan kejelasan autentisitas sebagai politikus.

Mereka adalah diri-diri yang dicitrakan lewat mekanisme teknologis. Ini memungkinkan penciptaan wujud-wujud artifisial, identitas fisik, dan tubuh aktor-aktor politik dapat dikarang secara hampir tanpa batas.



Identitas politik, terutama pada diri-diri aktor politik yang diproyeksikan berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah, dimanipulasi dan ditampilkan dalam wujud citra-citra digital.

Identitas politik dengan mudah dikarang, diubah, dimodifikasi, dan diganti secara tanpa batas. Figur-figur politik yang ditampilkan di Internet—terutama media sosial—adalah bukan selalu diri-diri yang nyata.

Mereka tidak selalu tampil berbasis autentisitas dan kenyataan diri. Mereka harus dimaknai sebagai figur-figur yang telah dimanipulasi, mereka muncul lewat imagologi media.

Di Internet mereka tampil lewat manipulasi citra digital. Di televisi mereka tampil lewat manipulasi bahasa tubuh (body language) dan manipulasi riasan (make-up).

Kesadaran tentang realitas artifisial ini sangat penting untuk memaknai politik kontemporer, memaknai kandidat kepala daerah yang akan berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah pada akhir 2024 ini.

Kesadaran demikian—di kalangan publik—sangat penting untuk mengembalikan muruah politik ke makna dasarnya, bukan politik yang kehilangan alasan disebut sebagai politik seperti yang menggejala akhir-akhir ini.

Jangan biarkan politik yang mulia, bertujuan menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial itu, terjerembap dalam—mengutip Bre Redana—kemenangan era digital (berpikir instan) atas analog (berpikir mendalam), kemenangan media sosial  atas buku, kemenangan influencer atas guru besar (cendekiawan), kemenangan kegaduhan atas refleksi, kemenangan rekayasa atas kenyataan (autentisitas).

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 April 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya