SOLOPOS.COM - A. Fahrur Rozi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Terminologi  politik dewasa ini tersentralisasi secara vis-à-vis dalam dua kubu, yaitu politik gagasan dan politik kekuasaan. Terminologi ini merupakan pergeseran yang sebelumnya menciptakan demarkasi elektoral antara politik Islam dan politik nasionalis.

Terminologi politik gagasan perlu diakrabkan dalam persepsi publik. Basis elektoral publik tidak boleh didudukkan pada relasi kuasa politik tribalisme, politik aliran, atau politik teritorial. Politik seperti Jawa—non-Jawa, Islam—non-Islam, atau basis kesukuan sudah saatnya ditinggalkan.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Saat ini kita dihadapkan pada dua fakta politik. Pertama, bentuk konsolidasi dan bangunan koalisi partai politik sudah berdasar pada kalkulasi matematis keuntungan dan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

Tidak ada kalkulasi etis yang berbasis pada ideologi atau platform ide perjuangan. Asas dan basis elektoral masing-masing partai politik sudah menguap dalam garis-garis yang samar. Sebut saja Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KKP). Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara ideologis seharusnya duduk secara vis-à-vis dengan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Demokrat.

Asas dan basis PKS adalah politik Islam dan dua partai politik yang lain berbasis politik nasionalis. Begitu pula yang tejadi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).

Demikian juga Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden.

Kedua, sebanyak 70% pemilih pada pemilihan umum 2024 nanti merupakan generasi milenial dan generasi Z atau gen-Z. Berdasar analisis psikopolitik, generasi ini merupakan pemilih rasional yang mendasarkan pilihan politik mereka pada ide dan gagasan.

Fakta ini mengindikasikan suatu kemajuan dari akumulasi bonus demografi menyongsong Indonesia 2045. Hasil survei Litbang Kompas tentang partisipasi politik kaum muda yang dirilis pada 8 April 2022 menunjukkan sebanyak 86,7% kalangan ini berpartisipasi aktif, 10,7% masih ragu-ragu, dan 2,6% menolak (dirilis 8 April 2022).

Pilihan rasional pemuda salah satu bentuk kesadaran politik publik. Keberadaannya harus dirawat dalam ruang-ruang demokratis atau bahkan terlembagakan dalam sistem politik di Indonesia. Pilihan rasional menegasikan politik emosional dan transaksional yang mendukung ketidakdewasaan dan fanatisme dalam berpolitik.

Setidaknya terdapat dua faktor pendorong kesadaran berpolitik ini terbentuk. Pertama, sebagai bentuk akumulasi publik yang mengendap dari kepongahan politik rezim saat ini. Politik seolah-olah menjadi anasir dasar yang mampu memengaruhi dimensi lain dari instrumen bernegara; penegakan hukum, struktur koalisi, hingga komposisi birokrasi dalam tatanan kelembagaan.

Hal itu berlangsung lama dalam tarikan yang multidimensi, baik ke samping antara eksekutif, legislatif, dan yudkatif, atau secara horizontal antara pusat dan daerah.  Kedua, karena faktor kematangan demografi. Sejak awal generasi milenial dan gen-Z sudah dipersepsikan dalam bentuk peluang dan kemajuan.

Artinya, persepsi suatu bangsa mampu membentuk semacam kematangan suatu generasi. Mereka mewariskan suatu masa yang sejak dulu dilekatkan dalam ingatan sebagai puncak kemajuan perjalanan berbangsa. Mau tidak mau, kematangan di sana secara intrinsik menjadi titah sejarah.

Tantangan

Politik gagasan boleh saja mengendap sebagai kesadaran publik, tapi belum menjadi karakter permainan politik elite. Mereka tetap saja terjebak dalam pusaran politik kekuasaan. Komposisi politik yang dimainkan tentu tidak jauh dari gimik sosial yang semu dan branding isu yang saling menjatuhkan.

Politik bukanlah arti dalam pengertian Machiavelli (1469-1527) yang cenderung praktis dan pragmatis. Politik itu tidak sebatas pada ”trilogi laku kuasa” (memperoleh, mempertahankan, dan mengekspansi).

Kalau sejak awal praktik politik elit terus demikian dan berkelanjutan, agenda reformasi dan cita-cita konstitusi tentu sulit dicapai. Artinya, politik bangsa hanya surplus ide dan defisit sebagai laku.

Kita belum melihat para calon presiden yang telah dideklarasikan oleh masing-masing partai politik meresonansikan gagasan pembangunan dan perubahan sebagai agenda pencalonan. Misalnya, isu tentang tatanan briokratis, penanganan separatisme, pembangunan hukum progresif berkeadilan, politik berkeadaban, ketimpangan dan kesejahteraan, hingga premanisme politik dalam tubuh rezim.

Tidak mengherankan Ganjar Pranowo dalam unggahan video mengatakan kemunculan namanya dalam bursa pencalonan presiden di berbagai survei masih minim dukungan dari gen-Z. Ini adalah fakta karena sedari awal Ganjar hanya dicitrakan dengan elektabilatas perangkat kekuasaan, bukan dengan kapasitas gagasan.

Alhasil, meski dalam bursa calon presiden namanya selalu muncul paling atas, pilihan gen-Z belum jatuh padanya. Tantangan selanjutnya adalah kematangan berpolitik gen-Z tidak dibarengi dengan konsolidasi demokrasi yang baik.

Mereka belum melembagakan politik gagasan secara gerakan. Sejauh ini mereka hanya menunggu. Tidak ada konsolidasi gagasan yang diciptakan dalam ruang-ruang akademis dan demokratis.

Mendekati pemilu seharusnya politik gagasan menunjukkan gerakan khas dalam mengonsolidasikan ide pembangun prospektif ke depan. Misalnya, dengan menguji visi dan misi calon presiden di ruang-ruang terbuka, di kampus maupun dalam ruang demokratis lainnya.

Perangkat politik seharusnya diarahkan untuk membentuk ekosistem politik yang berkemajuan dan menjunjung tinggi nilai keadaban. Antusiasme para pemuda harus dipastikan bisa membentuk ruang-ruang bagi terkonsolidasinya gagasan.

Peran aktif pemuda inilah yang diharapkan mampu membentuk ekosistem politik bangsa ini dalam nuansa yang tidak sekadar menyangkut politik kekuasaan, melainkan politik gagasan yang berkeadaban. Dari sinilah suatu bangsa dapat dibangun.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Juni 2023. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya