SOLOPOS.COM - Suwarmin Wartawan SOLOPOS. (FOTO/Istimewa)

Suwarmin
Wartawan SOLOPOS. (FOTO/Istimewa)

Banyak orang terkejut ketika Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq menjadi tersangka kasus suap terkait impor daging sapi. Sebagian orang mulai mengait-kaitkan keberadaan Kementerian Pertanian yang selama dua periode kepemimpinan SBY selalu menjadi jatah PKS.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Jangan-jangan memang ada pembagian kue Kemenpan untuk PKS dari SBY. Jangan-jangan ada politik dagang sapi di antara mereka. Entahlah, hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Tetapi, entah karena bau anyir politik dagang sapi itu atau karena apa, Luthfi Hasan kemudian menjadi tersangka dugaan suap daging sapi impor. Dunia memang berisi banyak kebetulan.

Tapi kok sepertinya terkesan tiba-tiba. Orang sudah mulai bosan mengaitkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang santer diberitakan terlibat kasus Hambalang. Dan, tiba-tiba Luthfi yang harus mengenakan baju tahanan KPK. Mungkin karena ini, presiden baru PKS, Anis Matta, menyebut penetapan Luthfi Hasan sebagai tersangka adalah bagian dari konspirasi besar. Tetapi, sekali lagi, hanya Tuhan yang tahu.

Memang bukan politisi kalau tidak pintar bersilat lidah, bermain kata dan sekaligus bermain drama. Empat tahun silam, 25 Februari 2009, 44 partai politik menggelar deklarasi antikorupsi di Jakarta bersama pimpinan KPK. Hari ini, kita melihat, salah satu ladang subur perilaku korup adalah partai politik. Sayang sekali, ingatan para politisi terlalu sempit.

Sebenarnya, jika orang-orang politik menerapkan praktik dagang sapi bukanlah suatu kebetulan. Ada proses yang mendahului praktik itu. Sejak berjuang menjadi anggota DPR atau DPRD, setiap orang harus berjibaku dengan dana besar untuk terpilih. Aturan yang menyatakan yang terpilih menjadi anggota DPR/DPRD adalah pemilik suara terbanyak dan bukan berdasarkan nomor urut menjadi peluang bagi siapa pun yang berduit untuk berebut kursi.

Meski mungkin tidak berlaku bagi semua orang, rasanya tidak terlalu salah jika disebutkan bahwa kebanyakan politisi di Indonesia adalah ”pedagang”. Mereka membeli suara rakyat dengan biaya mahal. Kader partai murni yang cetek kantongnya, para loyalis yang ibarat darah dan napasnya sudah menyatu dengan ideologi partai, lebih banyak terpinggirkan. Yang ada adalah para penumpang berduit, sementara partai politik hanya menjadi kuda tunggangan.

Para pendatang baru, para juragan, orang-orang yang tiba-tiba menjadi anggota partai, dengan bekal logistik memadai akan dengan cepat berpindah partai jika kuda tunggangan tidak lagi kokoh, apa lagi jika kuda itu kemudian mati atau dimatikan.

 

Dana Partai

 

Maka ketika kursi sudah diduduki, praktik aji mumpung atau bahkan golek balen menjadi biasa. Caranya macam-macam, bisa dalam bentuk dana aspirasi, dana komisi, dana tutup mulut, dana dengar pendapat, dana kunjungan kerja (kunker) dan lain-lain.

Sudah ada beberapa orang yang berani buka mulut menjadi korban pemalakan anggota DPR. Seperti dikutip berbagai media, mantan Dirut PT Jamsostek, Hotbonar Sinaga, mengaku pernah diminta uang nilai Rp2 miliar oleh anggota DPR. Waktu itu, kata Hotbonar, Jamsostek sedang menjadi sorotan karena dianggap merugikan negara terkait nilai saham Bank Persyarikatan Indonesia (sekarang Bank Syariah Bukopin) turun drastis dari 20,9% menjadi 9%.

Lalu ada testimoni Dirut PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero), Ismed Hasan Putra, bahwa ada ”biaya” yang harus dikeluarkan pihaknya untuk sekali rapat dengar pendapat di DPR lebih dari Rp1 miliar. Dana sebesar itu untuk dibagikan kepada 50-an anggota komisi. Setiap anggota dijatah Rp20 juta-Rp25 juta. Beberapa testimoni Ismed kemudian diralat.

Ketika konstitusi memberi wewenang partai politik untuk berkuasa, praktik bagi-bagi kekuasaan ala dagang sapi pun dilakukan. Dalam praktiknya, politik dagang sapi yang ”adil” bisa menjadi win-win solution yang membuat pemerintahan menjadi seimbang, tertib, terkendali plus tidak gaduh.

Orang Jawa punya ungkapan wong melik nggendhong lali. Orang yang mempunyai keinginan terhadap harta yang bukan haknya, ketika ada kesempatan mengambil, dia bisa lupa diri. Lord Acton, seorang ahli sejarah Inggris, juga punya ungkapan yang sudah sangat terkenal, power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely. Kata Lord Acton, manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakanya.

Dalam berbagai kesempatan, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah mengingatkan betapa UU No 2/2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) minim akuntabilitas. Akibatnya, pendanaan parpol tidak transparan dan tidak akuntabel. Celah ini menjadi jalan bagi mereka yang lupa diri untuk melanggengkan kekuasaan.

Uang negara bisa saja dijalankan seolah-olah uang partai untuk menarik simpati rakyat. Di level kabupaten, bisa saja anggota DPRD membangun gapura kampung dengan uang APBD. Di level provinsi atau pusat, anggota DPRD/DPR bisa membantu masyarakat dengan dana corporat social responsibility (CSR) dari BUMN.

Dengan semakin dekatnya Pemilu 2014, partai-partai pasti semakin sibuk menumpuk logistik dan uba rampe untuk memenangi pemilu. Partai yang punya koneksi harus ditanggung renteng. Partai yang mempunyai menteri di kabinet dianggap punya keuntungan untuk bermain mengeruk keuntungan. Jadi, ada baiknya usulan agar para menteri dari jabatan partai, meski hal itu belum tentu bisa mengikis perilaku korup mereka, ”istirahat” sejenak dari jabatan menteri.

Banyak orang mulai berujar, jangan-jangan tidak penting apa pun partainya, perilaku aktornya sama saja. Sama-sama doyan korupsi. Tetapi apa pun dan bagaimana pun, semoga masih ada politisi yang punya hati nurani. Karena yang salah pasti seleh

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya