SOLOPOS.COM - Haryono Wahyudiyanto (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Bupati  Karanganyar Juliyatmono belum lama ini, melalui PT JYM Karya Indonesia (JKI), mengakuisisi klub sepak bola Sragen United. Juliyatmono ingin menghidupkan klub yang sedang mati suri sejak berlaga di Liga 2 pada 2017 itu.

Klub tersebut kemudian tidak diketahui jejaknya setelah terdegradasi ke Liga 3. Aroma politik jelas tercium dari pembelian klub berjuluk Laskar Gajah Purba tersebut. Sragen United langsung dikaitkan dengan langkah Juliyatmono maju dalam pemilihan anggota DPR pada Pemilihan Umum 2024.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Ia berkontestasi di daerah pemilihan IV Jawa Tengah. Langkah menjadi calon anggota DPR tersebut yang membuat politikus Partai Golongan Karya (Golkar) itu menyudahi jabatan sebagai Bupati Karanganyar lebih dini.

Memiliki nama besar sebagai Bupati Karanganyar dua periode sepertinya belum cukup bagi Juliyatmono untuk melenggang mulus ke Gedung DPR di Senayan, Jakarta. Juliyatmono harus menaklukkan daerah pemilihan IV Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Wonogiri.

Persaingan di daerah pemiluhan ini tidak main-main. Di daerah pemilihan ini ada calon-calon anggota DPR bernama beken, seperti cucu Megawati Soekarnoputri, Diah Pikatan Orissa Putri Hapsari.

Di daerah pemilihan ini juga ada tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Bambang Wuryanto, Agustina Wilujeng, dan Paryono (mantan Wakil Bupati Karanganyar). Juliyatmono juga harus bersaing dengan koleganya di Partai Golkar, yaitu petahana anggota DPR Endang Maria Astuti.

Sragen United akan dijadikan magnet baru bagi Juliyatmono untuk menarik simpati masyarakat Bumi Sukowati. Kabupaten Sragen menjadi salah satu kabupaten di Soloraya dengan fans sepak bola banyak dan fanatik.

Ini terlihat dari tingkat keterisian Stadion Taruna saat Sragen United berlaga. Termasuk ketika menjamu Persis Solo pada 30 April 2017. Tidak salah sebenarnya ketika pengusaha di Kabupaten Sragen, Indika Wijaya Kusuma, pada 2016 mengakuisisi Laga FC (Gelanggang Olahraga Football Club) dari PT Laga Nusantara Mandiri senilai Rp5 miliar.

Laga FC yang langsung berganti nama menjadi Sragen United mendapat sambutan antusias masyarakat Kabupaten Sragen. Terlebih setelah Laskar Gajah Purba merekrut pelatih nasional kenamaan Jaya Hartono.

Kehadiran Sragen United otomatis semakin menenggelamkan PSISra Sragen. Klub “pelat merah” itu tak kunjung naik level karena pengelolaan yang masih amatir, mengandalkan APBD Kabupaten Sragen sebagai biaya operasional klub.

Berbeda dengan Sragen United sebagai klub swasta dan profesional. Peluang inilah yang dimanfaatkan Yuli, panggilan akrab Juliyatmono, menggelontorkan uang untuk ambisi dan kepentingan politiknya.

Faktor politik dalam akuisisi Sragen United salah satunya adalah manajemen yang diisi orang-orang Partai Golkar. Juliyatmono sebagai pemilik baru Sragen United menunjuk Ketua DPD II Partai Golkar Sragen Pujono Elli Bayu Efendi sebagai manajer.

Ketua DPD II Partai Golkar Karanganyar yang juga anak Juliyatmono, Ilyas Akbar Almadani, menjadi Direktur Utama PT JKI. Pujono Elli Bayu Efendi menjadi calon anggota DPRD Kabupaten Sragen dalam Pemilihan Umum 2024.

Sedangkan Ilyas Akbar Ramadani menjadi calon anggota DPRD Kabupaten Karanganyar. Mereka tentu akan berkolaborasi untuk mewujudkan target menjadi wakil rakyat. Meskipun ada bantahan ihwal muatan politik atas akuisisi Sragen United, upaya mereka menjaring seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Sragen untuk memajukan sepak bola melalui Sragen United tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politis.

Mereka juga telah menggandeng kelompok suporter dan mencanangkan target prestisius:  Sragen United promosi ke Liga 2. Sepak bola memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Olahraga paling digandrungi di dunia, termasuk di Indonesia, ini merupakan lahan basah yang bisa dipakai sebagai media untuk mencapai tujuan politik.

Sepak bola jamak menjadi kendaraan politik yang sangat seksi. Ini karena sepak bola selalu melibatkan massa  besar yang mayoritas merupakan swing voters.  Tidak mengherankan selalu terjadi fenomena ketua umum PSSI dan level di bawahnya banyak yang menjadi kontestan dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif.

Gubernur Sumatra Utara Edy Rahmayadi, La Nyalla Mattalitti yang kini menjadi Ketua DPD, serta anggota DPR Nurdin Halid pernah menjabat sebagai Ketua Umum PSSI. Meski gagal menjadi gubernur, La Nyalla dan Nurdin Halid menjadi calon gubernur di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

Kini Erick Thohir. Menteri Badan Usaha Milik Negtara (BUMN) yang pernah memiliki saham di Inter Milan itu popularitasnya kian menanjak dan selalu muncul di papan atas dalam berbagai survei tentang calon wakil presiden.

Terlebih setelah Erick menghadirkan tim nasional Argentina ke Indonesia, ditambah kesuksesan Indonesia membawa pulang medali emas cabang olahraga sepak bola di SEA Games.

Di Eropa kita mengenal sepak terjang Silvio Berlusconi yang karier politiknya di Italia berkibar bersama klub AC Milan. Di Inggris, Roman Abramovich yang merupakan mantan gubernur Chukotka, menggunakan Chelsea untuk memikat Presiden Rusia Vladimir Putin agar terlibat dalam rencana-rencana strategis Rusia tentang pasokan minyak bumi dan gas bumi ke Inggris dan Eropa.

Sedangkan di ASEAN, kita mengenal Thaksin Shinawatra, politikus yang pernah menjadi perdana menteri Thailand. Dia pernah mengakuisisi klub Manchester City pada 2007, sebelum menjualnya pada 2008 kepada Sulaiman Al-Fahim dari Abu Dhabi.

Pembelian The Citizens itu dia manfaatkan untuk meraih simpati publik Thailand dengan memberikan kesempatan pemain tim nasional Gajah Putih berlaga di Liga Premier Inggris. Politik dan sepak bola bisa jadi adalah keniscayaan.

Tindakan mengoptimalkan potensi, aset, dan popularitas sepak bola untuk tujuan politik seseorang jamak dianggap sebagai hal yang wajar. Hal yang dilarang adalah sepak bola semata-mata menjadi tunggangan untuk tujuan politik.

Dalam perspektif olahraga, sepak bola harus menjunjung spotivitas dan fair play. Sepak bola, apalagi pada era industri, harus dikelola secara profesional. Jika tidak demikian, aspek politik bakal lebih terlihat dibandingkan sisi pembinaan maupun prestasi



Bisa jadi itulah yang terjadi di Indoesia beberapa tahun terakhir ini. Sepak bola Indonesia tidak kunjung maju dan berprestasi. Yang ada adalah karut-marut karena tercemari aktivitas politik praktis. Pembinaan sepak bola akan ditinggalkan jika ambisi politik para aktor sudah tercapai atau terlampaui.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 September 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya