SOLOPOS.COM - Kaled Hasby Ashshidiqy. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Ribuan orang tumpah ruah di tempat parkir Saloka Theme Park, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang pada Kamis (23/11/2023) malam. Mereka datang bukan untuk bersenang-senang menaiki banyak wahana di taman bermain itu, melainkan mengikuti selawatan bersama Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf.

Meski tema acaranya selawatan untuk Palestina, sulit bagi publik untuk tidak mengaitkan dengan muatan politis. Dalam acara itu hadir pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Terlihat juga Ketua Umum DPP PAN, Zulkifli Hasan, yang menjadi penyelenggara acara.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Saya tidak memantau acara itu meski lokasinya hanya lima menit naik sepeda motor dari rumah saya, tapi yang jelas acara itu sempat membuat lalu lintas tersendat, terutama saat pengunjung pulang.

Sehari berselang, seorang tetangga berkata bahwa sekarang kampanye lebih agamais. Banyak politikus yang menggelar pengajian untuk kampanye. Saya tanggapi ucapan tetangga sata itu dengan kalimat bahwa itu lebih baik daripada menggelar acara yang bikin ribut.

Memasukkan agama dalam kegiatan politik atau istilah populernya politisasi agama sangat lekat dengan pesta demokrasi lima tahunan pemilihan umum atau pemilu. Isu politisasi agama hampir selalu muncul dalam beberapa pemilu terakhir, baik level daerah yakni pemilihan bupati/wali kota, pemilihan gubernur, hingga pemilihan presiden.

Biasanya semakin tinggi level pemilu semakin tinggi pula isu politisasi agama ini dimainkan. Dalam pemilihan kepala desa, isu ini jarang diembuskan. Bisa jadi karena masyarakat di tingkat desa tidak seheterogen level di atasnya.

Banyak orang bilang jangan membawa-bawa agama dalam politik karena agama itu suci sementara politik itu kotor. Agama dan politik tidak boleh disatukan. Membawa agama dalam politik rentan menimbulkan perpecahan yang mengakar.

Banyak bukti bahwa agama bisa menjadi pemicu konflik. Alasan lainnya adalah terkadang agama lekat dengan irasionalitas, sementara politik harus rasional. Saya sepakat dengan larangan politisasi agama, namun tak sepakat jika harus memisahkan agama dari politik.

Justru kita perlu mendemokratisasi agama dalam laku politik bangsa ini. Politik yang menghalalkan segala cara untuk meraih kepentingan adalah cerminan belum terdemokratisasinya agama di sana.

Politisasi agama identik dengan penyalahgunaaan agama untuk kepentingan politik. Apa saja yang disalahgunakan umumnya menimbulkan dampak negatif, termasuk agama. Memanipulasi agama untuk kepentingan segelintir orang jelas tidak diperbolehkan.

Bentuk manipulasi agama bisa bermacam-macam, misalnya memanipulasi dalil untuk menggiring masyarakat memilih calon pemimpin tertentu. Contoh lain seperti menyatakan “kalau tidak memilih calon presiden X berarti tidak membela Islam”, “jika memilih calon presiden Z berarti mendukung kekafiran”, “tidak memilih Y masuk neraka”, dan pernyataan lain semacamnya.

Agama menjunjung tinggi etika dan adab. Dalam ajaran Islam tidak dikatakan seseorang itu beriman sampai ia memiliki adab dan etika dalam perilaku. Politik yang tak beretika sangat jauh dari nilai-nilai agama.

Agama hadir sebagai panduan penganutnya agar tidak tersesat di belantara dunia yang menipu dan melenakan menuju akhirat kelak. Agama jadi landasan penganutnya berperilaku, bertutur kata, bertindak-tanduk.

Pemeluk agama yang baik haruslah melandaskan semua aspek kehidupan sesuai dengan ajaran agama yang ia anut. Termasuk dalam berpolitik. Agama mengajarkan nilai-nilai, bukan siapa nama calon presiden-calon wakil presiden yang harus dipilih.

Agama yang benar pasti mengajarkan nilai-nilai positif. Jika ada pemeluknya yang justru bertindak tanpa mengindahkan nilai-nilai itu, bisa jadi ia salah memahami agama atau malah tak memahaminya sama sekali.

Para politikus, calon presiden, calon wakil presiden, calon anggota legislatif (caleg) harus berpolitik yang agamais. Agama mengajarkan toleransi, menjaga kepercayaan atau amanah, larangan menyakiti orang lain, memberi manfaat dan mengasihi pada sesama, larangan menyebar fitnah, dan hal positif lain.

Pada sisi lain, mengajarkan pendidikan politik kepada masyarakat melalui jalur agama justru bisa sangat efektif. Seperti kita pahami bahwa tingkat pendidikan warga Indonesia terbilang rendah. Khususnya di kalangan generasi baby boomers atau “generasi kolonial”, mereka yang berusia 60 tahun ke atas.

Meski tak mengenyam pendidikan formal yang layak, mereka umumnya jauh lebih perhatian untuk urusan pendidikan agama. Tak aneh di desa-desa kelompok-kelompok pengajian yang umumnya ibu-ibu begitu menjamur.

Mengajarkan pendidikan politik kepada kalangan ini sulit dilakukan selain melalui jalur agama, yakni pengajian. Mereka bisa diajarkan apa itu politik dan bagaimana berpolitik dengan baik. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam memilih seorang pemimpin berdasarkan ajaran agama agar tercipta negara yang baldatun toyyibatun wa robbun gofur.

Agama mengajarkan cara memilih pemimpin dan apa ciri-ciri pemimpin yang baik. Agama tidak mendoktrin tentang orang yang harus dipilih. Serahkan keputusan untuk menentukan pilihan kepada masing-masing individu setelah mendapat pemahaman yang cukup agar tak salah pilih tanpa harus mengintervensi, apalagi mengintimidasi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Desember 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya