SOLOPOS.COM - Imam Subkhan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Beberapa  waktu lalu mengemuka suara lantang dan kritis pemuda asal Lampung yang menjadi mahasiswa di Australia, yaitu Bima Yudho Saputro. Ia mengkritik Pemerintah Provinsi Lampung soal infrastruktur, pendidikan, dan tata kelola pemerintahan yang mengundang reaksi berbagai pihak.

Saya tertarik membahas sosok Bima dan dunia pendidikan kita saat ini. Kebijakan dunia pendidikan kita terus menggaungkan konsep dan gerakan Merdeka Belajar yang sesungguhnya diadopsi dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Menurut Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, 24 episode Merdeka Belajar semakin mendekatkan pada cita-cita luhur Ki Hadjar Dewantara, yaitu idealisme pendidikan yang mampu menuntun bakat, minat, dan potensi peserta didik agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai seorang manusia dan sebagai anggota masyarakat.

Konsep Merdeka Belajar dengan kurikulum dan sistem pendidikan yang sedang dibangun berkomitmen memperjuangkan agar semua anak bangsa merasakan kemerdekaan yang sebenar-benarnya dalam belajar dan bercita-cita.

Buah atau perwujudan dari Merdeka Belajar adalah profil generasi pelajar Pancasila yang cerdas, berkarakter, dan mampu membawa Indonesia melompat ke masa depan dengan pendidikan yang memerdekakan.

Kita bisa mengaitkan dengan sosok Bima yang mungkin mewakili sebagian profil pelajar kita saat ini sebagai generasi milenial. Sudahkah para pelajar kita mencerminkan profil pelajar Pancasila seperti yang diharapkan dari implementasi Merdeka Belajar?

Saya sangat yakin, jawabannya adalah belum. Hal ini dapat dibuktikan pada kualitas proses pelaksanaan program Merdeka Belajar. Sesungguhnya belum menyentuh aspek kualitas, secara kuantitas saja, belum semua sekolah bisa menerapkan dengan baik konsep Merdeka Belajar.

Banyak guru yang resah dan gelisah, apakah Merdeka Belajar akan terus berlanjut manakala ganti menteri dan pemerintahan pada 2024. Pada akhirnya menyebabkan mereka tak terlalu bersemangat melaksanakannya. Bagaimana kita bisa berharap guru-guru mendidik generasi pelajar Pancasila, sedangkan mereka sendiri sulit untuk dijadikan figur panutan oleh murid-muridnya?

Sewaktu duduk di bangku SMA, Bima juga mengkritik tajam kepala sekolah dan guru-gurunya, tentang proses pembelajaran dan kompetensi guru. Ternyata di sekolahan Bima masih terjadi pola pikir penyeragaman terhadap murid-muridnya. Anak-anak tidak dilihat sebagai individu yang unik, berbeda, atau memiliki bakat dan potensi masing-masing.

Dalam menyajikan materi pembelajaran, guru-guru masih menyamakan satu anak dengan anak lainnya. Ini bertolak belakang dengan konsep Merdeka Belajar yang meniscayakan anak benar-benar merdeka dan bebas mengembangkan potensi diri, termasuk memilih topik dan materi pembelajaran yang disukai.

Pendidikan Akhlak

Sudahkah Bima dan anak-anak pelajar kita berperilaku sesuai nilai-nilai luhur Pancasila? Dalam kriteria profil pelajar Pancasila, meskipun dituntut berpikir global, harus tetap mempertahankan budaya luhur, lokalitas, dan identitas bangsa. Bahasa merupakan hasil budaya bangsa.

Bahasa merupakan cerminan kebudayaan suatu masyarakat yang beragam. Munculnya perbedaan dan keberagaman justru untuk saling mengapresiasi dan menghargai satu sama lain. Pelajar kita terlahir untuk akrab dengan Internet dan tenologi digital.

Mereka menjadi kreator-kreator sekaligus penikmat beragam menu dan konten di berbagai platform digital, termasuk media sosial. Tujuan mereka adalah popularitas dan memiliki banyak pengikut atau followers. Konten-konten yang mereka buat, baik berupa gambar, video, maupun tulisan, terkadang sangat vulgar dan penuh sensasi.

Termasuk yang dilakukan oleh Bima dan kebanyakan kreator-kreator muda lainnya. Jangankan mengindahkan penggunaan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar di ranah publik, menghindari berkata kasar dan kotor saja mereka sulit melakukannya.

Tentu saja ini dipengaruhi banyak faktor, bukan hanya peran sekolah. Lingkungan pergaulan, termasuk pendidikan dan pola asuh di dalam keluarga, juga berpengaruh. Kebiasaan orang tua dan orang-orang dewasa yang tinggal bersama di rumah sangat memengaruhi pikiran, sikap, kata-kata, dan perilaku anak.

Yang sulit dikontrol oleh orang tua dan guru adalah pergaulan anak di dunia maya. Mereka bebas berselancar di Internet serta mengakses konten-konten yang terkadang tidak membuat mereka memiliki karakter dan akhlak yang baik, yang bisa menjaga lisan untuk tidak menyinggung dan menyakiti perasaan orang lain.

Barangkali Bima dan pelajar kita sekarang sudah memenuhi beberapa kriteria profil pelajar Pancasila, seperti berpikir global, kreatif, dan bernalar kritis. Mereka pintar dan kreatif membuat konten-konten di media sosial, padahal dalam membuat konten membutuhkan kemampuan atau keahlian khusus, seperti kemampuan menulis skrip, menganalisis, kemampuan bercerita, kemampuan mengedit video, mengunggah di media sosial, dan berinteraksi.

Sekarang yang perlu dikuatkan dari para pelajar kita adalah dimensi profil pelajar Pancasila yang lain, seperti akhlak terhadap Tuhan, akhlak terhadap sesama, akhlak terhadap alam semesta, akhlak dalam bernegara, termasuk semangat bekerja sama, bergotong royong, berkolaborasi, dan berbagi.

Profil pelajar Pancasila tak hanya memfokuskan pada kemampuan kognitif, tetapi juga sikap dan perilaku sesuai jati diri bangsa Indonesia sekaligus warga dunia. Hal terkecil yang mesti dilakukan oleh pelajar kita adalah memperbaiki kata-kata atau pilihan diksi yang diucapkan dalam berbagai forum, termasuk di media sosial.

Para pelajar kita memang diberi kebebasan dan kemerdekaan mengeksplorasi seluruh kemampuan menemukan pengetahuan baru, termasuk isu-isu kekinian di sekitarnya. Harapannya, para pelajar bisa melakukan aksi nyata menjawab isu-isu tersebut sesuai dengan tahapan belajar dan kebutuhan sang anak.

Bima dan mungkin profil pelajar kita saat ini adalah gambaran hasil proses pendidikan. Kita boleh bangga dengan kepandaian, keberanian, dan kejujuran Bima dalam mengkritik, namun kita layak memberikan catatan tentang bahasa, adab, dan etika yang dia tunjukkan.

Saya yakin, setiap agama mengajarkan kepada kita untuk bertutur sapa yang baik kepada semua orang tanpa kebohongan dan kecurangan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Mei 2023. Penulis adalah kreator konten pendidikan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya