SOLOPOS.COM - Imamah Fikriyati Azizah (Solopos/Istimewa)

 Solopos.com, SOLO – Masyarakat diimbau mengurangi penggunaan plastik. Berbagai jenis kampanye menyayangi bumi dideklarasikan melalui bermacam media. Banyak aktivis melakukan aksi merawat lingkungan. Meski demikian, produksi sampah masih bertahan sebagai “gaya hidup” masyarakat.

Boleh jadi kesadaran merawat bumi memang telanjur kurang tertanam di kalangan masyarakat dewasa ini, namun bukan berarti tidak mungkin upaya edukasi merawat bumi disampaikan kepada generasi yang kelak menjadi pewaris sekaligus mobilisator hari depan.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Edukasi yang tidak sekadar berwujud poster dan kalimat sloganistis, tetapi praktik nyata, bersinggungan langsung dengan objek permasalahan. Lingkungan keluarga adalah lahan paling subur untuk menanam pengetahuan dan praktik baik tersebut.

Sekolahan juga merupakan ruang belajar yang ampuh untuk membiasakan peserta didik dengan gaya hidup yang baik. Beriringan dengan salah satu agenda pada Kurikulum Merdeka, yaitu proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5), sekolah dapat menyusun program khusus yang berangkat dari masalah.

Salah satu contoh masalah adalah pengelolaan dan pengolahan sampah. Ajakan ”buanglah sampah pada tempatnya” yang sering digaungkan kepada anak sejak berusia di bawah lima tahun atau balita seyogianya mulai dikembangkan menjadi ”buanglah sampah sesuai tempat terpilah” atau “pilahlah sampah sebelum membuang sampah”.

Anak-anak perlu diberi pengertian bahwa sampah yang dibuang masih memiliki nilai kegunaan apabila diperlakukan secara khusus. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan tentang pemilahan sampah dan penyediaan wadah sampah terpilah.

Masalah pemilahan sampah juga muncul. Ketika anak-anak menjalankan praktik baik tersebut, orang dewasa justru kembali menyatukan sampah pilahan untuk berakhir di tempat pembuangan akhir.

Pernyataan dan/atau kenyataan ini boleh disikapi seperti halnya yang tertulis di paragraf kedua bahwa kebanyakan orang dewasa telanjur terbiasa dengan gaya hidup yang salah dalam menyikapi sampah.

Membiasakan hal baik kepada anak-anak adalah salah satu upaya menebus perilaku yang salah. Pemilahan sampah tentu memiliki maksud dan tujuan, yakni mempermudah proses daur ulang (recycle).

Memahami tujuan perbuatan adalah hal dasar dan utama sebagaimana ketika seseorang bepergian. Perjalanan tanpa tujuan sangat berpotensi menggiring seseorang untuk salah jalan. Oleh karena itu, penyampaian tujuan pada awal sangat penting untuk dilakukan.

SMP Islam Nurul Musthofa di Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, sedang dalam perjalanan dengan tujuan yang jelas tersebut. Menolak bepergian tanpa tujuan, kami menganalisis masalah di sekolah kami untuk kemudian diwujudkan dalam aksi nyata melalui agenda P5 dengan memilih tema Gaya Hidup Berkelanjutan.

Salah satu yang sedang ditempuh adalah pengelolaan dan pengolahan sampah kemasan minuman yang dibeli oleh peserta didik di kantin sekolah. Kegiatan tersebut mulai dikenalkan pada momen masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) terhadap para peserta didik baru.

Mengutip tulisan Ichan Yunianto Nuansa Putra (Solopos, 26 Juli 2023) berjudul Jangka Panjang MPLS, bahwa pengenalan lingkungan sekolah memiliki dampak panjang yang signifikan dalam membentuk individu yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Materi-materi MPLS menjadi bekal bagi peserta didik baru untuk menentukan sikap dan memosisikan diri di lingkungan baru mereka, salah satunya adalah meneruskan praktik baik dalam mengelola dan mengolah sampah kemasan minuman.

Mula-mula peserta didik membuat tatakan atau rak pengering cup kemasan minuman secara diferensial. Berbagai pertanyaan muncul dari peserta didik, seperti mengapa harus membuat tatakan pengering bila cup dapat dikeringkan dengan tisu, mengapa posisi penyangga cup tidak boleh melebihi tatakan, dan lain sebagainya.

Pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa penyampaian atas tujuan pembelajaran belum cukup dapat diterima oleh beberapa peserta didik. Selain itu, proses sosialisasi sangat mungkin belum tersampaikan secara efektif. Hal tersebut tentu menjadi bahan evaluasi bagi fasilitator penyelenggara.

Setelah berjalan beberapa bulan, dampak yang tampak adalah peserta didik menjadi lebih prigel dalam menangani sampah kemasan minuman. Secara otomatis, peserta didik mengumpulkan sampah tersebut di tempat yang telah disediakan dengan mematuhi tahap yang telah disepakati, seperti mencuci, mengeringkan, kemudian mengumpulkan.

Apabila sampah telah cukup terkumpul, peserta didik yang tergabung dalam organisasi siswai intra sekolah (OSIS) menyerahkan sampah tersebut kepada komunitas yang menyalurkan sampah anorganik ke pabrik daur ulang.

Adapun tujuan utama kegiatan tersebut adalah membentuk kebiasaan yang baik pada generasi pewaris agar dapat memperlakukan lingkungan dengan lebih bijak. Hal yang ditanamkan kepada peserta didik di SMP Islam Nurul Musthofa tentu masih sangat dini, belum seperti kegiatan haul leluhur yang diadakan di Jepara, misalnya.

Berpikir Ulang

Masyarakat Dukuh Kebuk Kidul, Kabupaten Jepara, menggunakan daun jati dan kreneng untuk mewadahi/mengemas makanan (Solopos, 3 Agustus 2023). Sebagai ikhtiar pembiasaan di lingkungan sekolah, pengelolaan sampah kemasan minuman patut dijadikan sebagai agenda yang bersifat kontinu.

Setelah mengajarkan membuang sampah di wadah terpilah untuk mempermudah daur ulang, penggunaan kembali (reuse) barang-barang yang sekiranya masih bisa dipakai juga ditekankan kepada peserta didik di SMP Islam Nurul Musthofa.

Melalui kegiatan P5, penekanan tersebut diwujudkan dalam sayembara ”kreasikan sampahmu”. Wali kelas dan guru mata pelajaran aktif mendampingi peserta didik untuk memanfaatkan kembali benda-benda yang masih layak pakai.

Contoh hasil karya peserta didik, antara lain, tempat sampah dari galon, kalender dari tutup botol plastik, lampu tidur dari galon. Selain reuse dan recycle, hal tersulit, tetapi lebih solutif, adalah reduce atau pengurangan. Kita telah terlanjur bergantung pada penggunaan plastik.

Hal yang bisa diupayakan adalah pengurangan pemakaian benda bermateri plastik. Sebetulnya orang-orang tua kita telah memberikan contoh dengan membawa tas keranjang ketika berbelanja di pasar, membeli makanan dengan membawa rantang, memakai pakaian lungsuran, dan lain sebagainya.



Entah sejak kapan wadah bergambar wafer yang ternyata berisi rengginang menjadi bahan lelucon, padahal penggunaan kembali wadah yang masih layak dan aman pakai adalah salah satu jenis dari menghargai sampah. Perilaku baik seperti ini perlu untuk dilestarikan, bukan ditertawakan.

Langkah-langkah yang disebutkan di atas sebetulnya berpusat pada berpikir ulang (rethink) sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu. Kemudahan masyarakat dalam berbelanja secara daring memicu perilaku konsumtif.

Masyarakat cenderung kurang berpikir matang ketika berselancar di marketplace. Barang yang diobral akhirnya dibeli meski tak benar-benar dibutuhkan. Tuntutan keamanan mendorong banyak pedagang dan penyedia jasa antar yang mengemas dan mengirim barang tanpa mengindahkan prinsip pengurangan sampah.

Konsumen tidak memilah sampah kemasan dan berakhir di tempat pembuangan. Demikian peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang. Esai ini saya ketik sembari mendengarkan Lagu Hidup dari Sisir Tanah. Lirik lagu yang khas dan membekas seperti terpatri di telinga

…Kita akan selalu butuh tanah / Kita akan selalu butuh air / Kita akan selalu butuh udara / Jadi teruslah merawat. Langkah ini harus kita mulai dari yang tersulit agar tersisa yang mudah-mudah, yakni memulai dari diri sendiri.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Desember 2023. Penulis adalah guru di SMP Islam Nurul Musthofa, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya