SOLOPOS.COM - Mariyana Ricky P.D. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Presiden  Joko Widodo mengatakan seorang pemimpin negara juga memiliki hak untuk melakukan kampanye pada pemilihan umum (pemilu). Ia mengatakan itu seusai menghadiri seremoni penyerahan pesawat A-1344, helikopter Fennec, dan helikopter Panther di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024).

Awalnya Presiden Joko Widodo berbicara mengenai sejumlah menteri nonpartai politik yang melakukan kampanye politik untuk Pemilu 2024. Kampanye adalah hak demokrasi dan hak politik setiap orang. Menurut dia, setiap menteri yang terafiliasi partai politik dan yang tak terafiliasi partai politik memiliki hak yang sama.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Setiap menteri haknya sama saja, bahkan presiden boleh berkampanye. Presiden boleh loh memihak kubu politik tertentu. Yang penting waktu kampanye tidak menggunakan fasilitas negara. Begitu kata Presiden Joko Widodo.

Pernyataan tersebut mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Mengemuak telaah kritis atas pernyataan tersebut. Intinya tentang sikap seharusnya ketika pemimpin negara menghadapi kontestasi pemilu.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai pernyataan Presiden Joko Widodo tentang boleh berpihak justru akan membuat gerakan pemakzulan atau impeachment tampak wajar saat ini.

Gerakan itu merupakan upaya menyelamatkan demokrasi dan Pemilu 2024. Menyelamatkan Pemilu 2024 agar berjalan dengan adil, tanpa penyalahgunaan kekuasaan untuk salah satu pasangan calon presiden-calon wakil presiden.

Layak dipertanyakan ihwal konsistensi pernyataan-pernyataan Presiden Joko Widodo selama menjabat sebagai presiden. Ia pernah mengatakan  larangan menteri merangkap jabatan. Kini malah ada beberapa menteri yang merangkap jabatan.

Aturan soal kampanye diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 299 ayat (1) undang-undang itu mengatur presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.

Ayat (2) mengatur pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota partai politik mempunyai hak melaksanakan kampanye. Ayat (3) mengatur pejabat negara lainnya yang bukan berstatus sebagai anggota partai politik dapat melaksanakan kampanye, apabila memenuhi beberapa ketentuan.

Pertama, menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Kedua, menjadi anggota tim kampanye yang sudah didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketiga, menjadi pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan di KPU.

Pasal 300 undang-undang tersebut mengatur selama melaksanakan kampanye, presiden dan wakil presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pasal 302 undang-undang itu mengatur menteri sebagai anggota tim kampanye dan/atau pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (3) huruf b dan huruf c dapat diberikan cuti.

Cuti bagi menteri yang melaksanakan Kampanye dapat diberikan satu hari kerja dalam setiap pekan selama masa kampanye.  Hari libur adalah hari bebas untuk melakukan kampanye di luar ketentuan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Artinya, presiden memang diizinkan berkampanye asalkan sudah terdaftar sebagai pelaksana kampanye yang didaftarkan di KPU. Saat melaksanakan kampanye, presiden harus mengajukan cuti terlebih dahulu.

Apabila kedua hal itu tak dilakukan, presiden tak boleh berkampanye.  Jabatan presiden adalah jabatan publik. Ketika menduduki jabatan itu presiden mendukung salah satu calon presiden-calon wakil presiden bisa dikatakan sebagai penyalahgunaan kekuasaan.

Salah satu calon wakil presiden yang kini berkontestasi dalam Pemilu 2024 adalah putra sulung Presiden Joko Wididi. Tanpa berkampanye saja banyak orang meyakini Presiden Joko Widodo pasti mendukung putra sulungnya yang berkontestasi di Pemilu 2024 itu.

Saat presiden berkampanye, masyarakat tak akan melihat itu sebagai pribadi, tapi sebagai presiden. Langkah presiden juga semakin meningkatkan potensi keterbelahan di tengah masyarakat. Dukungan presiden bisa memunculkan ketidakadilan elektoral karena bisa jadi siapa pun yang didukung presiden mendapatkan kenaikan dukungan.

Ini belum bicara soal etika. Ketika seorang presiden berkampanye mendukung salah satu pasangan calon presiden-calon wakil presiden, pandangan masyarakat pasti memahami itu sebagai langkah menyiapkan penerus kekuasaannya. Ini jelas bukan jalan negarawan. Ini hanyalah jalan politikus kebanyakan. Selebihnya, biarlah masyarakat yang menilai…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 Januari 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya