SOLOPOS.COM - Puluhan alat peraga kampanye (APK) terpasang menutup jembatan penyeberangan orang (JPO) di Jakarta, Rabu (27/12/2023). (Antara/Rivan Awal Lingga)

Tindak kekerasan dan aneka provokasi mewarnai kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di beberapa daerah. Ada pemasangan spanduk dengan tulisan bernada provokatif. Ada tindak kekerasan. Ada sikap semaunya sendiri yang mengganggu kenyaman publik.

Ada aparatur pemerintah yang tidak netral. Ada aparatur pemerintah desa  yang tidak netral. Dan sebagainya. Beberapa waktu lalu mengemuka kegusaran karena baliho-baliho untuk kampanye calon presiden dan calon wakil presiden diturunkan. Tentu saja yang memprotes adalah kelompok politik pendukung calon presiden dan calon wakil presiden tersebut.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Kegusaran demikian kemudian berkembang menjadi tuduhan-tuduhan. Tentang netralitas aparatur negara. Tentang netralitas aparat keamanan. Dan tuduhan-tuduhan lain. Pekan lalu mengemuka berita tentang tindak kekerasan yang berpangkal pada aktivitas kampanye.

Peserta kampanye bersepeda motor menggunaan knalpot brong juga bagian dari aktivitas tidak terpuji di tengah kegiatan kampanye. Sepeda motor berknalpot brong menghasilkan suara memekakkan telinga yang jelas mengganggu kenyamanan orang lain.

Rombongan kampanye berkendaraan bermotor yang berpawai di jalanan saja jelas mengganggu kenyamanan orang lain, apalagi ditambah knalpot brong, knalpot tidak standar, yang menghasilkan polusi suara. Sangat tidak nyaman bagi orang lain di dekatnya atau yang dilintasi rombongan sepeda motor berknalpot brong itu.

Pemungutan suara Pemilu 2024 yang merupakan pemilu serentak memilih presiden-wakil presiden dan para wakil rakyat di DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tinggal kurang dari satu setengah bulan lagi.

Masa kampanye pengerahan massa menjadi kritis ketika aneka bentuk provokasi, ketidaknetralan aparatur negara, dan tindak kekerasan terus terjadi. Sosialisasi tentang pemilu yang menggembirakan belum terwujud secara nyata.

Masa kampanye yang belum dengan pengerahan massa saja telah memunculkan banyak anomali yang sebagian berujung tindak kekerasan atau mengganggu kenyamanan banyak orang, apalagi ketika masa kampanye dengan mengerahkan massa telah dimulai.

Tentu harus ada mitigasi. Harus ada pencegahan provokasi dan tindak kekerasan dalam masa kampanye dengan pengerahan massa. Militansi pendukung memang wajar dalam pemilu, tapi seharusnya tidak berujung provokasi yang merusak harmoni, apalagi berujung tindak kekerasan.

Dalam kondisi demikian, ketegasan penegakan hukum pemilu menjadi penting. Ketegasan yang berpijak pada netralitas. Bukan ketegasan yang malah memperkeruh suasana karena menguntungkan kekuatan politik tertentu dan merugikan yang lain.

Bisa jadi gejala-gejala kekerasan dan tindakan provokatif itu berpangkal pada kemunafikan. Para elite politik acapkali mengemukakan bahwa pemilu harus berlangsung dengan gembira, namun pada tataran praksis mereka menghalalkan segala cara demi menghimpun keuntungan maksimal pada Pemilu 2024.

Ketegasan penegakan hukum pemilu dan penghentian kemunafikan elite menjadi kunci menjaga masa kampanye menjadi lebih dingin, lebih sejuk, dan lebih bernuansa intelektual sehingga pemilu yang menggembirakan bukan sekadar jargon yang berbasis kemunafikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya