SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO – Beberapa  hari lalu ada beberapa agenda dan peristiwa politik yang mewarnai kehidupan demokrasi kita. Agenda politik ini variatif. Ada agenda politik kenegaraan, agenda pertemuan (silaturahmi) tokoh dan elite politik, kebijakan elite politik yang menuai gejolak sosial, dan sebagainya.

Agenda itu sering kali melibatkan aktivitas keagamaan, ritual spiritual maupun sosial kemanusiaan. Sering agenda politik menjadi kontroversi, meriuhkan percakapan publik di dunia nyata maupun maya.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Dari berbagai agenda politik tersebut ada peristiwa politik yang menuai sorotan tajam dalam percapakapan publik. Peristiwa ini menuai sorotan tajam karena berkaitan dengan etika dan moralitas sebagai pejabat publik atau sebagai figur elite politik.

Dugaan pelanggaran etika yang dilakukan penyelenggara pemilihan umum dan dugaan bagi-bagi uang yang dilakukan politikus di tempat ibadah adalah sebagian contoh. Ramadan seharusnya dijadikan momentum meneguhkan moralitas dan keadaban setiap insan dalam lingkup kemasyarakatan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Aktivitas politik kenegaraan dan kebijakan politik kenegaraan seharusnya mengedepankan keadaban, seperti nilai-nilai kebijaksanaan, kedamaian, kekhidmatan, ketundukan diri pada nilai-nlai kebaikan, kebenaran, dan keadilan. Begitu halnya dengan figur elite politik.

Manusia dan agama memiliki relasi yang begitu kuat. Dengan itulah manusia disebut sebagai homo religiosus. Mircea Eliade adalah pencetus istilah itu. Homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religiositas, dapat menikmati sakralitas, dan tampak pada alam semesta.

Pengalaman dan penghayatan tentang yang suci atau realitas mutlak (ultimate reality) memengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak hidupnya.Salah satu dimensi penting dalam ajaran agama berkaitan dengan perilaku manusia adalah penekanan aspek moralitas (akhlak).

Dalam doktrin Islam, moralitas menjadi ajaran yang paling penting dalam beragama. Misi utama pengutusan Nabi Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak. Begitu pentingnya dimensi akhlak dalam ajaran agama sehingga dalam suatu hadis dikatakan bahwa puncak kesempurnaan dari keimanan seorang mukmin adalah terletak pada akhlaknya yang paling baik.

Agama adalah sumber ajaran moral. Ajaran moral ini dirumuskan menjadi nilai-nilai dan prinsip-prinsip luhur yang harus dipahami dan diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Kohesivitas agama dan moralitas merupakan sebuah keniscayaan.

Ajaran Islam memiliki fungsi transformatif dalam mentransmisikan berbagai dimensi nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Puasa Ramadan adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam.

Antroposentris dan Teosentris

Ibadah puasa Ramadan beserta seluruh rangkaian aktivitas yang dianjurkan di dalamnya memiliki banyak kandungan pesan moral. Dalam pemaknaan kebahasaan, puasa (al-shaumu/al-shiyamu) bermakna dasar al-imsak yang berarti menahan dan at-tarku yang berarti meninggalkan.

Term puasa secara syariat adalah menahan diri dari makan dan minum serta pemenuhan hasrat biologis dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Secara hakikat, makna puasa berarti menahan diri atau mengendalikan diri dari hawa nafsu duniawi yang sering kali melampaui batas dengan mengabaikan dan tidak mengindahkan nilai-nilai utama kebenaran, kebaikan, kepatutan, dan kehalalan.

Berdasar pemaknaan ini, dapat dipahami bahwa ibadah puasa memiliki pesan dan simbol ajaran moral yang luhur. Hal ini relevan dengan yang dikemukakan Az-Zarqani bahwa dalam ibadah puasa terdapat tiga dimensi utama sekaligus, yakni dimensi kejiwaan (religion psychological, ruhiyyah) yang bersifat transenden dan privat,  dimensi moral (akhlaqiyyah), dan dimensi kesehatan (medis).

Pemaknaan puasa ini dalam konteks moralitas politik seharusnya menjadi laboratorium untuk mengendalikan dan menahan diri dari tindakan-tindakan yang paradoksal dengan fitrah manusia. Menahan dan mengendalikan diri dari perilaku fexing, arogan, kesombongan, dan keangkuhan.

Dalam arti yang lebih luas, puasa adalah medium membebaskan manusia dari tindakan-tindakan yang kontraproduktif dengan nilai-nilai kemanusiaan, seperti dominasi struktur yang menindas, diskriminasi, hegemoni, tirani, dan sebagainya.

Puasa dalam konteks ini juga seharusnya menjadi medium untuk mengendalikan dan menahan nafsu-nafsu keduniawian yang paradoksal dengan nilai dan prinsip keadilan, seperti pembuatan kebijakan, produk politik atau diskresi yang  tidak berpihak kepada orang-orang lemah, mempertimbangkan moralitas publik, dan memperhatikan nilai kemaslahatan serta meminimalisasi kemadaratan.

Dalam rangkaian ibadah puasa terdapat kewajiban menunaikan zakat fitrah. Zakat fitrah berfungsi sebagai penyucian orang yang berpuasa dan sebagai keberpihakan kepada orang-orang miskin. Zakat adalah manifestasi kepedulian sosial yang melahirkan rasa empati kepada sesama dengan memberi.

Tentu saja kepedulian sosial ini harus memiliki orientasi yang lurus, bukan justru menjadi ajang politisasi atau bahkan kapitaliasasi. Ajang politisasi dalam arti memberi demi untuk menjulangkan keterkenalan (popularitas) dan ketersukaan (elektabilitas).

Ajang kapitalisasi dalam arti orientasi kepedulian sosial hanya untuk memperoleh keuntungan ekonomis. Zakat adalah pranata filantropis Islam yang merupakan manifestasi dari upaya memanusiakan manusia dengan menghilangkan kecintaan berlebih pada kebendaan, ketergantungan pada meteri, kekerasan, dan kebencian dari dalam diri manusia.

Dalam konteks moralitas dan keadaban politik, segala kewenangan yang melekat pada pejabat publik untuk membuat kebijakan harus memihak kepada orang-orang lemah dan tertindas, baik ketertindasan secara struktural maupun ketertindasan secara kultural (mustadh’afin).

Pertemuan elite politik yang dibungkus dengan agenda silaturahmi Ramadan seharusnya menjadi momentum membahas hal-hal yang menyangkut pembelaan kepada mustadh’afin, keberpihakan kepada pencari keadilan, dan memperjuangkan kepentingan serta kemaslahatan bersama.

Pelaksanaan ibadah puasa tentu diharapkan menjadi laboratorium untuk melahirkan pribadi yang bertakwa. Puasa Ramadan dan politik sesunggungnya memiliki korelasi filosofis, yakni pencapaian spiritualitas konstruktif dan moralitas kolektif.

Puasa Ramadan dan aktivitas politik memiliki komitmen moral yang kohesif. Pencapaian spiritualitas kontruktif dalam arti bahwa ibadah puasa tidak mengepisentrumkan aktivitasnya hanya secara vertikal kepada Sang Pencipta, namun juga ada peranan manusia sebagai pemimpin di muka bumi ini yang berperan mengelola dan memakmurkannya.

Demikian juga aktivitas politik yang tidak hanya memusatkan aktivitas pada dimensi antroposentris, melainkan perlu ada orientasi teosentris yang melibatkan Tuhan Yang Maha Esa dalam segala hal serta melandaskan aktivitas politik itu pada nilai-nilai transendental.



Puasa juga diharapkan melahirkan kepribadian yang berakhlak, menunjung tinggi moralitas, tak terkecuali moralitas politik. Dalam konteks moralitas politik, menjaga dan mempertahankan integritas seorang pemimpin atau pejabat publik menjadi kunci dari penempaan ibadah puasa Ramadan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 April 2023. Penulis adalah dosen Universitas Islam Negeri Salatiga, Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya