SOLOPOS.COM - Chelin Indra S (Solopos/Istimewa)

Berbuka puasa bersama menjadi momen paling ditunggu setiap muslim saat Ramadan. Apalagi saat ini bukan hal sulit mencari tempat ngabuburit yang menyediakan makanan gratis dari para dermawan. Sayang, gairah beribadah itu sering diiringi hal kurang terpuji berupa pemborosan makanan dan pameran kemubaziran selama sebulan penuh.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mendefinisikan pemborosan makanan atau food waste sebagai produk pangan yang masih layak dikonsumsi dikeluarkan dari rantai pasok karena kelalaan atau manajemen yang buruk. Pemborosan muga termasuk membuang bahan makanan yang rusak atau kedaluwarsa.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Sebuah penelitian di King Saud University menyebutkan 30% dari empat juta porsi makanan yang disiapkan di Arab Saudi senilai Rp3,8 miliar terbuang sia-sia. Selama Ramadan, jumlah sampah makanan meningkat sekitar tiga kali lipat dibandingkan dengan hari biasa.

Pada 2016, di Jakarta, sampah yang masuk ke TPA Bantar Gebang selama Ramadan jumlahnya 7.073 ton per hari atau meningkat sebesar 7% dari jumlah normal 6.610 ton. Jenis sampah yang meningkat itu ialah sampah rumah tangga seperti sayur-mayur, buah-buahan, serta bungkus-bungkus makanan. Bahkan banyak di antaranya berupa makanan yang belum sempat dikonsumsi, namun dibuang begitu saja.

Hal ini sungguh sangat ironis karena Ramadan yang penuh berkah justru ternodai kesuciannya dengan perilaku pemborosan makanan. Tidak main-main, jumlah makanan yang terbuang itu sangat tinggi. FAO menyebut sekitar sepertiga makanan yang diproduksi di dunia terbuang begitu saja.

Di Eropa dan Amerika Utara, pemborosan makanan berkisar antara 95-115 kg per tahun. Sementara di Indonesia, catatannya lebih buruk. Data dari Barilla Center for Food and Nutrition menyebut masyarakat Indonesia membuang 300 kg sampah makanan setiap tahun.

Hal yang lebih memprihatinkan lagi, berdasarkan data The Economics Intelligence Unit 2021, Indonesia menjadi negara terbesar kedua di dunia yang membuang sampah makanan setelah Arab Saudi.

Perilaku Konsumtif

Hasil penelitian dari Food Loss and Waste Study Waste4Change, penyebab food waste di Indonesia adalah penanganan proses produksi yang kurang baik dan perilaku konsumsi masyarakat. Perilaku konsumtif seperti memesan banyak makanan padahal porsi makan sedikit menyebabkan sisa makanan terbuang begitu saja. Hal semacam inilah yang dikategorikan sebagai perilaku konsumtif.

Kondisi semacam ini semakin menggila saat Ramadan tiba. Seharian berpuasa menahan lapar dan haus, membuat seseorang tergiur membeli berbagai macam makanan untuk disantap saat berbuka. Apalagi di pinggiran jalan banyak pedagang menjajakan takjil dengan harga yang murah meriah.

Hal itulah yang mendorong seseorang berperilaku impulsif dengan memborong semua makanan yang diinginkan untuk memenuhi hasrat makan saat tiba waktu berbuka. Perilaku konsumtif dimulai ketika seseorang memiliki pemikiran bahwa “banyak itu lebih baik daripada kurang.”

Dalam kaitannya dengan makanan, seseorang akan membeli atau memasak dengan porsi yang berlebihan. Termasuk membeli makanan yang tidak disukai yang menjadi wujud dari pameran kemubaziran. Akhirnya, makanan yang tidak termakan biasanya akan dengan mudahnya masuk ke tempat sampah.

Perilaku konsumtif berupa pemborosan makanan bukan hanya tidak etis, tetapi juga berdampak pada banyak hal, termasuk mengurangi pahala puasa. Pada dasarnya, puasa adalah sarana untuk melatih menahan segala macam hawa nafsu dalam diri manusia. Dengan perilaku konsumtif itu, maka seseorang bisa dikatakan belum mampu mengendalikan dirinya dengan baik.

Masalah sampah makanan yang besar di Indonesia menjadi suatu ironi yang menyedihkan. Pemborosan makanan juga berdampak pada ketahanan pangan dan masalah lingkungan. Berdasarkan data dari Global Hunger Index 2021, tingkat kelaparan Indonesia berada di peringkat ketiga di Asia Tenggara.

Dalam data tersebut, Indonesia mendapatkan skor indeks sebesar 18 poin atau termasuk dalam level moderat. Skor tersebut masih berada di atas rata-rata global yang sebesar 17,9 poin.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, angka kelaparan ditunjukkan dengan prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan sebesar 8,34% dari total penduduk. Data tersebut memperlihatkan bahwa ketahanan pangan di Indonesia masih perlu diupayakan semua pihak.

Andai saja jumlah sisa makanan yang menjadi sampah tersebut tidak dibuang, maka dapat menghidupi sekitar 28 juta orang atau sebanyak 11% dari jumlah penduduk di Indonesia. Seandainya seorang penduduk Indonesia menyisakan sebutir nasi dalam satu kali makan, maka ada 249 juta butir nasi yang terbuang sia-sia. Jika satu gram beras berisi 50 butir, maka ada 4.980 kg beras yang terbuang tiap hari.

Sayangnya, sampai saat ini perilaku membuang atau menyisakan makanan sering kali dianggap sebagai suatu hal yang sepele. Padahal, anjuran untuk tidak menyia-nyiakan makanan sudah diajarkan oleh para orang tua dengan nasihat seperti, “Jangan menyisakan nasi, nanti nasinya nangis hlo.”

Alasan orang tua memberikan nasihat seperti tentu karena tindakan membuang makanan mencerminkan perilaku tidak bersyukur. Sebab di luar sana masih banyak orang yang kelaparan karena kesulitan mendapatkan makanan.

Kembali ke Ramadan, kita selayaknya bertanya: Mengapa bulan yang kerap digambarkan sebagai saat terbaik menempa diri mengekang hawa nafsu itu justru menjadi saat penuh pemborosan?

Dalam hal ini sejumlah pengamat berpendapat kebiasaan sebagian besar orang Islam membeli terlalu banyak makanan sepanjang Ramadan. Banyak orang membeli atau memasak makanan baru sementara masih ada yang layak dikonsumsi dan cukup dipanaskan.

Di sisi lain, tidak sedikit orang-orang yang berlomba-lomba menyumbangkan makanan kepada golongan prasejahtera dan yayasan-yayasan sosial, padahal di saat bersamaan badan kemanusiaan sekalipun tak sanggup lagi menyalurkan bantuan lantaran kebutuhan sudah terpenuhi.

Hal berikutnya yang kerap menyebabkan makanan terbuang sia-sia selama Ramadan adalah tradisi rutin buka puasa bersama, baik di restoran, hotel, maupun masjid. Acara buka bersama kerap berakhir jadi pemborosan makanan. Beragam menu dihidangkan dalam jumlah ekstravagan, sementara ukuran lambung manusia hanya segitu.

Dengan jargon all you can eat, restoran dan hotel menyediakan menu prasmanan di luar bayangan. Jika orang-orang tahu kesanggupan mereka, makanan yang bakal terbuang mungkin jumlahnya lebih sedikit. Mengingat kenyataan itu, kiranya menerapkan porsi makan bijak bisa menjadi jalan untuk mengurangi pemborosan. Selain itu, kemampuan mendaur ulang sisa makanan menjadi olahan baru sangat dibutuhkan di tengah dunia yang mengalami krisis pangan.



Masalah sampah makanan ini mestinya bisa ditekan oleh setiap individu dengan tidak malu membungkus makanan yang tidak habis alias sisa dari jajan di restoran atau mendaur ulang hasil masakan di rumah menjadi olahan baru. Hal itu juga mestinya dilakukan oleh produsen besar yang bergerak di sektor industri pangan untuk mengurangi jumlah sampah makanan terbuang sia-sia dan menyebabkan pencemaran lingkungan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 Maret 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya