SOLOPOS.COM - Muhammad Fahmi (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Solopos  edisi Kamis (3/8/2023) mewartakan terjadi pergeseran elektabilitas cukup signifikan di antara calon presiden yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP yaitu Ganjar Pranowo dengan calon presiden Prabowo Subianto yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya atau Partai Gerindra.

Fluktuasi elektabilitas tersebut diperkirakan karena faktor sentimen publik. Elektabilitas Prabowo meningkat seiring kedekatan dengan Presiden Joko Widodo dan perubahan gaya komunikasi yang lebih soft, yang lebih cocok dengan godspot masyarakat Indonesia.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Elektatabilitas Ganjar menurun karena pidato Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri yang menerangkan calon presiden mereka sebagai petugas partai politik dan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.

Ada hal yang dapat kita petik dari pergerakan elektabilitas dua kandidat presiden ini. Elektabilitas mencerminkan publik kita adalah publik yang—sebenarnya—melek politik. Artinya publik juga menalar perilaku politikus dan merespons sesuai dengan nalar mereka pada perilaku politikus tersebut.

Para politikus sekarang tidak bisa lagi sembrono bertindak sebab publik dapat menilai dan merespons dengan nalar dan logika mereka sendiri-sendiri.

Tidak bisa lagi kita anggap publik sebagai illiterate society, masyarakat tidak melek politik, bahkan kalau kita perhatikan dan dengar perbincangan di warung kopi dan hik mereka dengan percaya diri mempresentasikan persepsi politik mereka bak pengamat politik kawakan.

Pada zaman digital dan serba-Internet of things ini mereka dengan mudah mencari preferensi tentang segala hal, termasuk tentang politik. Data menunjukkan jumlah pengguna Internet dan handphone di negara kita cukup besar.

Menurut data Badan Pusat Statistik pengguna telepon genggam di negara kita pada 2022 mencapai 67,88% dari seluruh populasi penduduk. Artinya mayoritas warga negeri ini dengan mudah dapat mencari informasi tentang suatu hal hanya dengan membuka gadget mereka.

Tampaknya para calon presiden dan politikus kita sadar tentang pentingnya Internet bagi performa politik mereka dalam persepsi publik.

Mereka berlomba-lomba menggunakan berbagai media multikanal untuk menciptakan hal yang dikatakan Noam Chomsky sebagai manufacturing consienscie atau memfabrikasi persetujuan publik.

Ini berbeda dengan teori-teori klasik komunikasi seperti teori bullet dan hipodemik yang mengasumsikan media powerfull terhadap audience, yang mengasumsikan bahwa publik  ketika mendapat informasi seperti reaksi jarum suntik dan peluru yang langsung spontan begitu mencapai sasaran.

Begitu juga dengan media, mereka berharap penggiringan opini yang dilakukan media multikanal akan berdampak langsung pada persepsi publik dalam segala sesuatu yang dikampanyekan media.

Riset-riset komunikasi terbaru menyatakan publik tidak hanya ”membeo” pada narasi media, tapi publik juga memproduksi makna-makna mereka sendiri. Berkah dari Internet adalah mereka telah bertransformasi dari passive audience menjadi active audience.

Publik aktif mencari preferensi, sharing, dan berbagi makna di public space di media sosial atau ruang publik riil di masyarakat, kampus, warung kopi, warung hik, hingga pertemuan-pertemuan publik. Melihat kondisi ini kita pantas optimistis pada masa depan politik dan negara kita.

Publik kita—ternyata—mulai terbiasa mencari second opinion dan tidak gampang dicekoki informasi. Ketika mereka sadar telah ditipu mereka tidak segan menghukum para politikus dengan berbagi makna di ruang-ruang publik dan berpotensi menggembosi dan menggerus dukungan pada seorang politikus atau partai politik.

Banyak studi yang menyatakan hal tersebut. Seperti penelitian Zhang (2002), dalam lingkungan Internet of things perlu ditingkatkan kualitas pengajaran ideologi dan politik untuk membantu publik menganalisis dan merespons konten-konten bermuatan politik.

Floirkemeir (2010) menyatakan politikus dan partai politik perlu mengedukasi publik dengan diskusi tentang isu-isu sosial dan tata kelola pemerintahan.

Jadi tidak semata-mata terkait dengan soal dan isu-isu politik kekuasaan atau sekadar hiburan untuk mendulang popularitas.

Demikianlah yang seharusnya menjadi ”tugas suci” politikus dan partai politik. Dominasi diskursus kekuasaan membuat publik merasa tidak direpresentasikan oleh politikus atau partai politik.

Ini berbahaya untuk bangsa karena mereka akan mudah tergiur dengan ”mimpi-mimpi” yang ditawarkan pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari situasi ini.

Beberapa kasus kontemporer bisa kita jadikan refleksi, misalnya kasus Arab spring, ketika masyarakat Arab kecewa dengan representasi kekuasaan karena mereka merasa tidak terwadahi oleh kekuasaan tersebut.

Akibatnya ketika ada tawaran-tawaran menggiurkan dari pihak asing mereka serta-merta menyambut. Seperti Suku Kurdi yang menggulingkan Saddam Husain karena dianggap tidak pernah memperjuangkan kepentingan mereka.

Saddam dianggap terlalu memikirkan klannya sendiri. Demikian pula dengan Libya. Moammar Khadafi justru dikhianati oleh masyarakatnya sendiri, bahkan dieksekusi oleh warganya sendiri.

Kini geopolitik dunia bergejolak ketika banyak negara maju terusik dengan kepentingan dan kebijakan pemerintah Indonesia yang melarang ekspor bahan mentah dan isu hilirisasi.



Negara-negara maju tersebut akan dengan sangat senang melihat kita terpecah belah, tidak kompak, dan lemah. Karena itulah, transformasi isu-isu publik dan isu politik kekuasaan ke diskursus persoalan sosial mutlak dilakukan oleh partai dan politikus saat ini.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 Agustus 2023. Penulis adalah sosiolog, pemikir kebudayaan, dan doktor kajian budaya dan media)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya