SOLOPOS.COM - M. Fauzi Sukri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dalam  kitab suci umat Islam dikisahkan seorang tokoh termasyhur mahakaya dikutuk. Dialah Qarun (saudara sepupu Nabi Musa AS). Kunci-kunci perbendaharaan hartanya (zaman itu belum ada bank), sebagaimana dideskripsikan Al-Qur’an (28: 76), sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.

Qarun dikutuk mati tertimbun harta kekayaannya. Namanya jadi simbol harta terpendam. Dalam Al-Qur’an, para pencela Qarun mengutuk karena Qarun berperilaku sombong. Qarun juga dikutuk, bahkan dibinasakan, karena berlaku aniaya terhadap penduduk pada masanya—sangat mungkin terhadap para buruh dan budaknya.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Alasan utama pengutukan Qarun lebih pada sifat dasar kekayaan yang membuat orang sombong dan ingkar terhadap tuhan monoteis. Kekayaan divonis sebagai sumber fitnah, keingkaran, kedurhakaan.

Pada era kapitalisme modern dan birokrasi negara modern, sungguh agak sembrono orang yang mengutuk orang kaya, apalagi orang terkaya sejagat raya. Pada era modern, kekayaan tidak dikutuk. Justru diagungkan sedemikian rupa. Tiap tahun daftar manusia terkaya sejagat dimunculkan, dipelajari, diteladani, dan diagungkan.

Era modern barangkali jauh lebih sadar perihal manfaat orang-orang kaya, juga paham mudarat kekayaan, meskipun sangat pelan menyadari urgensi penghapusan kemiskinan fatal sebagai sistem sosial.

Dunia modern sudah lama mengabaikan vonis teologis kesombongan berbasis kekayaan sebagaimana dialami Qarun, terlebih manfaat kekayaan di tingkat adu kuasa negara.

Tidak seperti Qarun, Elon Musk tak dikutuk. Si manusia mahakaya sejagat itu dijadikan role model orang sukses oleh banyak anak muda di seluruh dunia. Nilai kekayaan Elon Musk US$254 miliar (2021).

Nilai kekayaan ini sangat jauh melampaui produk domestik bruto Burundi, negara termiskin sejagat raya, yang hanya US$856 (International Monetary Fund, World Economic Outlook April 2022).

Angka US$254 miliar ini juga berarti kekayaan satu orang di muka bumi melampaui seluruh kekayaan 11,89 juta orang atau bahkan seluruh nilai keseluruhan barang dan jasa yang diproduksi seluruh rakyat Burundi (negara bekas jajahan Belgia).

Tentu saja perusahaan Tesla milik Elon Musk sangat jauh lebih kaya raya daripada Burundi secara keseluruhan. Dalam 10 tahun hingga 20 tahun ke depan, Tesla hampir pasti akan jauh lebih kaya raya daripada Burundi.

Apakah agamawan di Burundi mengutuk kekayaan Elon Musk? Apakah Elon Musk tidak boleh sombong atas kekayaannya sebagaimana Qarun? Perkiraan yang cukup pasti, hampir sebagian besar rakyat Burundi sangat berhasrat dan berdoa untuk menjadi kaya raya.

Justru kemiskinan sangat akut adalah kutukan sesungguhnya. Sungguh, tak ada baiknya menjadi negara miskin di dunia modern. Secara ekonomi-militer, negara miskin sangat rentan jadi objek kebijakan negara kuat.

Kebijakan negara didikte negara lain, bukan demi kebaikan rakyat, tapi demi keuntungan negara lain. Politik susah stabil, selalu bergolak. Tata hukum sering dilanggar dan dicampakkan.

Yang paling parah, saat sistem tata negara bergolak menuju negara bangkrut atau hancur, tak akan ada yang tulus membantu. Tak ada mahkamah hukum yang melampaui kuasa negara dalam arena politik internasional. Yang kuat selalu lebih berkuasa, boleh menguasai yang lemah.

Tiap negara selalu dalam persaingan bebas dengan negara lain, bersifat lunak (kerja sama) atau bersifat keras (perang/invasi). Inilah hukum rimba arena politik internasional. Di negara miskin, kelaparan dan ketidakberdayaan secara ekonomi jadi lumrah.

Fasilitas pencerdasan jadi barang sangat mewah yang diperebutkan. Kejahatan selalu mengincar mereka yang paling lemah. Keselamatan ragawi terus terancam, bahkan bisa berubah menjadi kerusuhan sosial-politik.

Perempuan dan anak-anak biasanya berada di posisi yang sangat rentan. Dalam semua situasi itu, modal sosial ekonomi yang sangat sedikit hanya berputar di lingkaran elite politik-ekonomi yang korup.

Di negara fakir miskin, terkutuklah siapa pun yang menyatakan orang yang sabar dalam kemiskinan adalah jauh lebih baik daripada orang kaya bersyukur. Doa-doa dirapalkan orang tua agar anak-anak jadi Qarun, Bill Gates, Elon Musk… Terpujilah harta kekayaan! Terkutuklah orang yang mengutuk kekayaan sebagai fitnah teologis!

Zaman kita telanjur memuji kekayaan sedemikian agungnya, seraya kita menyaksikan kefakiran yang tampak tidak berbeda jauh dengan perbudakan kuno. Permasalahan utama beralih dari bahaya kekayaan an sich pada masalah keadilan ekonomi dan penghapusan (p)kemiskinan fatal.

Transparansi Asal-usul

Sejak abad ke-18 sampai abad ke-21, proyek akbar menghapuskan pemiskinan-pemfakiran umat manusia tidak seberhasil pemakmuran segelintir orang. Abad ke-20 mempersaksikan praktik sosialisme-leninisme yang sangat berambisi menegakkan keadilan ekonomi bukan hanya gagal, tapi juga menjadi tragedi akbar kemanusiaan.

Anda boleh pro atau kontra atas proyek Uni Soviet dalam sejarah manusia, tapi tidak akan menghilangkan fakta sejarah penghapusan Uni Soviet berikut tragedi kemanusiaannya.

Seraya coba-coba mempraktikkan keadilan ekonomi dan/atau penghapusan kemiskinan fatal, satu hal yang sudah menjadi konsensus umat global: siapa pun boleh kaya raya, tapi asal-usul kekayaannya wajib dipertanggungjawabkan secara hukum, terutama saat menjadi pejabat publik.

Inilah usaha tingkat internasional dan nasional. Usaha ini, ironisnya, justru gagal dan digagalkan di tingkat negara. Ingatlah yang bisa disebut sebagai rahasia negara dan rahasia perusahaan bank!

Umat dunia juga paham: pajak yang dikumpulkan dari rakyat tidak berhasil menjadi instrumen pemerataan keadilan ekonomi. Justru, sering kali, pajak lebih banyak jadi ongkos birokrasi negara yang semakin besar saja.



Yang jauh lebih sulit ditegakkan adalah menindak pengaburan asal-usul kekayaan pejabat publik. Ini sangat berbahaya karena kekayaan yang bersanding dengan kekuasaan cenderung memunculkan upaya menutupi sumber pemakmurannya.

Modal ekonomi dan politik hanya berputar-putar di lingkaran itu-itu saja. Suksesi kekuasaan juga tidak terjadi dengan baik. Si pemimpin justru dipimpin oleh penguasa kekayaan.

Bahaya ini disebutkan dalam buku sejarah pertama dunia: The Peloponnesian War, karya Thucydides (460-400 SM). Orang kaya terlibat politik secara tidak langsung atas kebijakan publik yang hanya menguntungkan lingkaran mereka saja seraya mengerdilkan pemakmuran publik.

Mereka juga mengendalikan rotasi kepemimpinan yang hanya berputar-putar di lingkaran mereka. Itulah pesan utama buku sejarah pertama di dunia itu yang sampai sekarang justru semakin relevan.

Orang kaya raya boleh saja pamer kekayaa. Terserah. Apalagi, dalam hampir banyak kasus, kekayaan material seperti rumah, mobil, perusahaan, dan seterusnya jarang yang bisa ditutup-tutupi.

Yang perlu diperlihatkan adalah transparansi asal-usul kekayaan. Inilah yang harus menjadi kewajiban hukum bagi semua pejabat publik, termasuk para pengusaha. Sungguh aneh dan menyalahi logika publik ada pejabat justru memerintah dilarang pamer kekayaan.

Justru yang seharusnya dilakukan pejabat penegak hukum adalah mewajibkan-menegakkan transparansi asal-usul kekayaan. Kekayaan mereka wajib dipamerkan secara transparan kepada seluruh rakyat.

Siapa pun boleh pamer kekayaan, bahkan kalau perlu dibuatkan panggung khusus untuk pamer kekayaan yang asal-usulnya legal secara hukum! Harta halal sah-sah saja dipamerkan, tak ada salah dan rasa sombong.

Masalahnya, di Indonesia, orang kaya raya takut pamer kekayaan, karena takut ketahuan tidak beres asal-usulnya, tapi dibiarkan tak tersentuh penegak hukum. Penegakan hukum atas asal-usul kekayaan adalah bagian utama dari proses penegakan keadilan ekonomi. Siapa yang masih yakin bisa mengusut harta-harta gelap pada zaman rezim rahasia negara dan rahasia perusahaan plus kuasa uang?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Maret 2023. Penulis adalah penggemar pedagogi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya