SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo Wartawan SOLOPOS

Mulyanto Utomo
Wartawan SOLOPOS. (FOTO/Istimewa)

Ribut-ribut soal jual-beli air dari sumber air di Cokro, antara Bupati Klaten dan Walikota Solo rupanya juga menarik warga kampung saya sebagai bahan diskusi.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

“Negara kita ini apa mau terpecah-pecah menjadi kecil-kecil seperti ini ya? Seperti masa lalu, menjadi kerajaan-kerajaan. Mosok perkara air, padahal demi kepentingan rakyat, sampai ribut seperti itu. Saru!,” kata Raden Mas Suloyo membuka obrolan di News Café, warung kelas hik paling populer di kampung saya.

“Saya juga bingung je Denmas. Janjane, kita ini punya peraturan apa enggak ta kalau sudah menyangkut kepentingan antardaerah seperti itu? Hla Pak Gubernur itu terus fungsinya apa kalau ada persoalan rumit seperti itu juga nggak bisa apa-apa,” sahut Mas Wartonegoro, juruwarta yang selalu aktif nimbrung di ajang jagongan malem mingguan kelas rakyat itu.

Soal sumber air Cokro yang dimanfaatkan PDAM Solo, saat ini memang sedang menjadi sumber konflik antara Pemkot Solo dan Pemkab Klaten. Pemkab Klaten kukuh meminta PDAM Solo membayar sumbangan minimal Rp2,1 miliar karena selama ini telah mengambil air dari Cokro yang berada di Kabupaten Klaten. Sementara PDAM Solo hanya menawarkan sumbangan maksimal Rp1 miliar. Padahal sebelumnya sudah ada memorandum of understanding (MoU) di antara kedua pemerintah daerah ini yang menyebut Pemkot Solo harus membayar Rp4,5 miliar.

Nyatanya, Pemkot Solo melalui Sekretaris Daerahnya menegaskan bahwa MoU yang digunakan sebagai acuan besaran sumbangan selama ini dianggap tidak layak untuk menjadi aspek legal. Sama halnya dengan surat keputusan (SK) Bupati Klaten No 503/1621/2000 yang mengatur sumbangan air Cokro hingga 2010.

Hla njuk aturannya itu seharusnya pakai apa ta Mas Warto? Kita ini kan juga beli air dari PDAM Solo ta… apa ya nggak bisa dihitung. Hla kok Pemkotnya suruh bayar mbulet gitu,” tanya Denmas Suloyo.

Hla mboh, ra weruh Denmas. Mungkin kita sekali-kali perlu nawar juga nanti pas mbayar rekening ke PDAM hehehe…” jawab Mas Wartonegoro setengah bercanda.

Potensi Konflik

Begitulah. Potensi konflik antardaerah bahkan juga antara pusat dan daerah seperti itu memang sangat tinggi semenjak ditetapkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan kemudian diubah menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Kita paham, UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kala itu memang penuh dengan kontroversi, sehingga direvisi menjadi UU No 32/2004. Saya kutip tulisan Mayjen TNI (Purn) H Soedardjat Nataatmadja, Anggota DPR/MPR 1997-1999 yang jadi anggota panitia khusus pembentukan UU itu. Dia menyebut pada dasarnya kebijakan otonomi daerah tujuannya sangat mulia, karena dengan UU itu daerah dapat lebih difungsikan dan diberdayakan, sementara ketergantungan kepada pusat jauh lebih kecil.

Sayangnya, kata Soedradjat, karena “kekagetan” dan kurangnya kesiapan mental menghadapi hal baru, dalam pelaksanaannya di sana-sini banyak terjadi salah tafsir atau penyalahgunaan. Salah tafsir dan penyalahgunaan terutama menyangkut perilaku kepala-kepala daerah yang terlalu dominan hingga salah arah dari tujuan semula. Peraturan perundangan ini menyisakan problem pengawasan dalam pelaksanaan dan penerapannya. Kealpaan ini akhirnya benar-benar memunculkan “raja-raja kecil” di daerah, baik yang menyangkut perilaku KKN maupun fanatisme kedaerahan.

Revisi atas UU 22/1999 menjadi UU No 32/2004 tetap menuai pro-kontra. Fenomena “raja-raja kecil” yang bernama walikota dan bupati nyatanya masih saja ada. Kepala daerah begitu berkuasa dan berdaya dalam menjalankan kekuasaannya. Melakukan rotasi pegawai atas dasar suka dan tidak suka, gampang saja dilakukan. Kerja sama antardaerah secara baik, terkadang sulit dilaksanakan. Ego sektoral tetap dominan. Peran gubernur tetap diabaikan. Kalau hal begini terus berlangsung, maka rakyatlah yang akan dirugikan.

Karenanya, saya secara pribadi sangat mendorong agar revisi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah segera dilaksanakan. Beruntung pula kata Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri, yang saya hubungi kemarin menyebut revisi UU ini masuk dalam Prolegnas RUU prioritas 2013. Apalagi UU tentang Pemerintah Daerah itu, kata Ronald nantinya bakal dipecah menjadi tiga UU, yaitu RUU Pemda, RUU Desa dan RUU Pemilukada yang di dalamnya akan mengurai lebih banyak tentang positioning gubernur.

Dengan begitu, benang kusut yang sering membelit dan menimbulkan kontroversi bahkan konflik penyelenggaraan pemerintah di daerah bisa diatasi dengan cepat. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah bisa berdaya lagi, hubungan antardaerah bisa lebih dinamis. Jika semua patuh dengan semua peraturan yang ada, maka nantinya tidak ada lagi sosok raja kecil yang tak tersentuh oleh siapapun. Semoga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya