SOLOPOS.COM - Chelin Indra S (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Membuang-buang  makanan seperti menjadi kebiasaan masyarakat. Sulit diubah atau dihilangkan. Rakus mungkin cocok disematkan kepada mereka yang suka makan berlebihan, bahkan sering kali tidak dihabiskan hingga berakhir dibuang menjadi sampah.

Manusia memang suka makan. Masalah muncul ketika kebiasaan suka makan tidak dibarengi kemampuan mengelola makanan dengan bijak. Itu akan melahirkan kebiasaan mengambil makanan di luar takaran yang berujung membuang makanan.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Fenomena demikian banyak saya jumpai dalam momentum kumpul keluarga merayakan Idulfitri 1444 Hijriah beberapa waktu lalu. Mari merenung sejenak. Saat Anda makan di rumah, apakah makanan tersebut selalu habis dimakan?

Apakah saat Anda makan di luar rumah, di warung atau restoran, makanan yang dipesan selalu dihabiskan? Kebanyakan jawabannya adalah tidak. Pada malam H+2 Lebaran 2023, saya dan keluarga pusing mencari restoran yang masih longgar untuk bersantap bersama.

Hampir semua restoran di sekitar tempat tinggal saya, Karanganyar dan Solo, penuh. Butuh waktu hampir satu jam demi mendapatkan meja kosong untuk makan malam. Meja yang saya tempati baru saja dibersihkan dari aneka sisa makanan bekas tamu sebelumnya.

Di meja lain yang baru ditinggalkan tamu saya lihat ada setengah porsi nasi goreng, beberapa potong tahu, kentang, nuget goreng, dua cobek sambal utuh dengan lalapan, beberapa potong ayam dan ikan goreng yang sudah tidak utuh, dan sisa-sisa minuman pada 10 gelas.

Sisa makanan yang harganya hampir setengah juta rupiah itu berakhir menjadi sampah karena tidak dihabiskan. Di meja lainnya terlihat dua remaja perempuan asyik mengobrol setelah selesai makan. Beberapa saat kemudian, mereka meninggalkan meja dengan sisa makanan yang lumayan banyak.

Sedih rasanya melihat banyak makanan yang masih layak konsumsi dibuang begitu saja di tempat sampah. Memesan aneka makanan dengan harga mahal agaknya menjadi kepuasan tersendiri setelah satu bulan penuh berpuasa.

Tidak salah memang. Makan adalah aktivitas alamiah manusia. Kemampuan makan dimulai dengan nafsu atau selera makan (appetite) yang timbul. Ini berbeda dengan rasa lapar yang merupakan respons biologis tubuh terhadap kebutuhan makanan.

Seseorang dapat memiliki nafsu makan bahkan jika tubuhnya tidak menunjukkan tanda-tanda lapar dan sebaliknya. Salah satu indikator seseorang sehat tubuh dan jiwanya adalah faktor nafsu makan tersebut. Ini menjadi masalah ketika nafsu makan itu tidak diimbangi kemampuan mengelola porsi makanan.

Filsuf Socrates mengatakan orang berbuat tidak baik karena tidak tahu apa yang baik. Jika membuang-buang makanan adalah perbuatan tidak baik, apakah orang yang terbiasa melakukannya tidak tahu bahwa hal itu tidak baik?

Bukankah sejak kecil mayoritas manusia Indonesia diajarkan untuk tidak membuang-buang makanan? “Kalau nasinya tidak dihabiskan, nanti nasinya nangis,” demikian kata orang tua dulu.

Perayaan Idulfitri menjadi wujud konsumerisme yang setiap tahun semakin memprihatinkan. Pada hari raya itu manusia berbondong-bondong menampilkan citra diri terbaik.

Alih-alih kembali suci dengan memakai barang serbabaru dan terlihat baik dengan memberikan jamuan terbaik bagi sanak saudara, malahan sebagian besar justru terjebak dalam konsumerisme.

Membeli barang di luar kebutuhan justru membuat manusia lupa bahwa keserakahan menimbulkan dampak sosial, yaitu ketidakpedulian dan kesenjangan sosial. Filsuf Jean Baudrillard berpandangan perilaku konsumtif manusia modern tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme yang menempatkan konsumsi sebagai titik pusat kehidupan.

Spiritualitas yang Memudar

Kehidupan berkembang dengan kendali kebiasaan tidak mendidik seperti menghamburkan harta, kerakusan, dan kesia-siaan dalam segala sesuatu yang dikonsumsi demi kepuasan semata.

Fenomena konsumerisme saat ini sudah terlanjur menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia, terlebih saat Ramadan dan Lebaran. Ambisi, kemewahan, dan kebanggaan mendorong orang berperilaku konsumtif.

Sebagian orang yang mapan seolah-olah berlomba memenuhi segala keinginan secara berlebihan. Membeli pakaian, aneka barang baru, hingga makanan di luar kebutuhan dan berakhir dibuang menjadi hal yang dianggap biasa, padahal orang tua dulu mengajarkan jangan berperilaku konsumtif.

Leon Festinger dalam buku A Theory of Cognitive Dissonance menyebut situasi ini sebagai disonansi kognitif, yaitu konflik dalam diri diri seseorang ketika perilakunya berbeda dengan wawasan dunia yang ia pegang.

Disonansi kognitif juga menjelaskan keadaan batin, orang memegang dua pandangan yang saling bertentangan satu sama lain, yang dalam pandangan pribadi saya sebut sebagai pertentangan spiritualitas.

Spiritualitas bukan sekadar kehidupan batin atau sesuatu yang bersifat rohani. Spiritualitas adalah penyatuan tubuh dan jiwa manusia yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semua aspek dalam kehidupan seseorang adalah spiritualitas.

Pertentangan spiritualitas bisa terjadi karena ketidakmampuan mengendalikan hasrat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu dihadapkan dengan beragam tawaran dan godaan yang memicu hasrat untuk dipuaskan sedemikian rupa, bahkan di luar batas kewajaran.

Di hadapan makanan lezat dan menggugah selera, misalnya, hasrat mendorong jiwa seseorang mengambil makanan. Menjadi tidak wajar ketika hasrat itu menyeret jiwa orang tersebut mengambil makanan di luar batas kemampuan mulut dan perut.

Dalam kondisi itu, jiwa memerlukan akal budi untuk mengontrol hasrat yang sedikit liar. Akal budi adalah bagian terbaik jiwa manusia karena menjadi pusat kendali segala hasrat dan hawa nafsu.



Orang yang tidak mampu mengaktifkan akal budi dengan baik akan dikendalikan hasrat, seperti terjadi pada mereka yang terbiasa membuang-buang makanan. Praktik membuang-buang makanan sampai saat ini masih terjadi.

Ribuan tahun lalu seorang bijak pernah berkata membuang-buang makanan adalah tindakan orang bodoh. Kita memiliki tanggung jawab etis untuk meminimalkan praktik tersebut, apalagi dalam semua agama disebutkan bahwa Tuhan membenci orang-orang yang menghamburkan harta, termasuk membuang makanan.

Sebelum makan berlebihan, ingatlah banyak orang di luar sana yang kesulitan mendapat makanan hingga banyak yang mati kelaparan. Masihkah kita tega menyisakan atau membuang-buang makanan begitu saja?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Mei 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya