SOLOPOS.COM - Edy Purwo Saputro (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Ramadan  telah tiba. Riak biasa menjelang Ramadan yaitu kenaikan harga bahan pokok. Kini kenaikan harga bahan pokok ini diwakili harga beras dan cabai rawit. Pasti segera diikuti kenaikan harga komoditas lainnya.

Di tengah ancaman inflasi musiman Ramadan–Lebaran kini publik dibuat marah dengan berita tentang perilaku hedonis sebagian pejabat negara. Ada juga berita korupsi dana bantuan sosial dan melibatkan pejabat negara.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Entah apa sebenarnya yang terjadi di negeri ini dan mengapa laju inflasi musiman Ramadan–Lebaran selalu menghantui daya beli. Jika dicermati sebenarnya persoalan laju inflasi bisa terdeteksi dari permintaan dan penawaran karena memang hukum pasarnya demikian.

Oleh karena itu, seharusnya bisa terdeteksi dan pasokan bisa ditambah. Faktanya inflasi musiman selama Ramadan–Lebaran selalu menjerat daya beli. Saat ini berita baiknya adalah mudik bisa dilakukan setelah dua Lebaran tertahan akibat pandemi.

Geliat ekonomi Ramadan sepekan ini mulai terasa. Paling tidak terlihat dari sektor riil, antara lain, penjualan pernik-pernik untuk Ramadan seperti mukena, baju koko, dan sarung sampai penjualan kue, roti, dan sirop sebagai komponen pelengkap Ramadan.

Berkah Ramadan tidak hanya mengacu perspektif keimanan dan ibadah, tapi juga persepsi ekonomi dan bisnis. Aspek sosial tidak dapat diabaikan dari spirit berkah Ramadan secara universal.

Ekonomi dan bisnis pada Ramadan cenderung berkembang. Bank Indonesia melansir  perputaran uang baru setiap Ramadan mencapai triliunan rupiah. Potensi perputaran uang selama Ramadan–Lebaran meningkat tiap tahun seiring perkembangan ekonomi.

Bank Indonesia menyiapkan uang tunai Rp195 triliun untuk memenuhi kebutuhan Ramadan–Lebaran 2023 (tahun emisi 2019 sampai 2022). Jumlah ini tumbuh 8,22% daripada tahun lalu yang disediakan Rp175 triliun karena pertumbuhan ekonomi yang terus membaik.

Terkait ini Bank Indonesia memperluas jaringan penukaran uang di 5.066 lokasi di seluruh Indonesia. Jadwal penukaran pada 20 Maret-20 April 2023. Ini menegaskan antusiasme menyambut geliat ekonomi bisnis pada Ramadan–Lebaran 2023 meningkat dan aktivitas mudik akan mendukung geliat ekonomi bisnis di daerah.

Fakta geliat ekonomi Ramadan pada satu sisi memberikan tantangan karena terkait dengan potensi dan prospek ekonomi-bisnis, meski pada sisi lain tentu tidak bisa mengabaikan tantangan. Paling tidak ini mengacu ancaman inflasi musiman pada Ramadan sampai Lebaran.

Hampir setiap tahun belitan laju inflasi cenderung mengancam daya beli. Oleh karena itu, beralasan jika tren kejahatan meningkat karena ada tuntutan pemenuhan kebutuhan. Selain itu, peredaran uang palsu juga marak.

Data Badan Pusat Statistik memberikan gambaran ancaman dari kenaikan harga sejumlah komoditas sebelum Ramadan kali ini akan berpengaruh terhadap inflasi Maret 2023 sampai April 2023.

Realitas itu juga menunjukkan kinerja satuan tugas pangan mengendalikan harga pangan selama Ramadan-Lebaran akan diuji. Kunci dari peran satuan tugas pangan adalah jaminan ketersediaan pasokan jauh hari sebelum Ramadan dan Lebaran.

Meredam gejolak sosial sebagai akibat dari tingginya konsumsi selama Ramadan secara tidak langsung menjadi tantangan bersama. Alasannya, hal ini cenderung menjadi bagian perilaku sosial, padahal sebenarnya ajaran agama menegaskan tuntutan dan komitmen meredam gejolak nafsu termasuk yang utama adalah nafsu konsumsi selama Ramadan.

Industri Konsumerisme

Yang terjadi adalah sebaliknya, selama Ramadan cenderung terjadi lonjakan konsumsi, meski terkadang harus merogoh tabungan demi pemenuhan konsumsi sepanjang Ramadan. Jika ini dilakukan yang ”mampu” tentu tidak bermasalah.

Ironisnya, perilaku ini merembet ke yang ”tidak mampu” sehingga memicu terjadinya kriminalitas. Jadi, perilaku konsumtif selama Ramadan-Lebaran secara tidak langsung

berdampak sistemik terhadap ancaman inflasi musiman kala Ramadan-Lebaran.

Kriminalitas selama Ramadan tentu ironi, meski di sisi lain realitas ini juga mengancam aspek perilaku sosial secara menyeluruh. Oleh karena itu, ancaman ekonomi Ramadan sebenarnya bukan hanya aspek belitan inflasi, tetapi juga perilaku antisosial.

Fakta ini juga tidak terlepas dari konsumerisme yang terjadi selama Ramadan. Perilaku hedonis sebagai bagian dari konsumerisme itu didukung industrialisasi di balik etos ibadah Ramadan.

Dunia industri memanfaatkan betul momentum Ramadan-Lebaran untuk mengejar target penjualan sehingga berbagai strategi dilakukan, termasuk midnight sale, diskon, dan jam operasional diperpanjang untuk menghormati niat berbelanja konsumen setelah selesai Salat Tarawih.

Fakta ekonomi Ramadan tidak hanya menyadarkan bahwa berkah Ramadan itu bersifat universal, tapi juga esensi dari pentingnya geliat sektor riil. Hal ini diperkuat adanya nilai transaksi takjil selama Ramadan yang mencapai ratusan juta rupiah per hari.

Geliat bisnis takjil tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di perdesaan sehingga ini memberikan peluang bisnis yang semakin prospektif. Beragam menu tradisional juga muncul di berbagai takjil Ramadan sehingga membuka peluang bagi bisnis kuliner Ramadan.

Basis kuliner takjil bukan hanya untuk kepentingan berbuka puasa, tetapi juga distribusi ke berbagai masjid sehingga aspek sosial dari bisnis takjil juga muncul dan ini memberi manfaa secara makro, bukan hanya produsen, tapi juga konsumen dan jemaah masjid.

Jadi, inilah yang disebut ramadanomics atau berkah ramadan. Urgensi bisnis takjil sebagai bagian dari ekonomi Ramadan dan berkah Ramadan yang bersifat universal tentu harus juga diwaspadai karena ada ancaman peredaran produk kedaluwarsa.



Berbagai kasus peredaran makanan kedaluwarsa setiap Ramadan cenderung terus meningkat. Fakta praktik culas produsen ini bisa memicu ancaman terhadap kepercayaan dan sentimen terhadap kuliner Ramadan.

Pengawasan menjadi penting agar kasus seperti ini tidak menjurus menjadi modus untuk mencari keuntungan sesaat pada Ramadan. Selain itu, masyarakat harus cerdas dan proaktif terhadap peredaran makanan kedaluwarsa agar tidak dirugikan.

Kepentingan bersama terhadap jaminan rasa aman konsumsi selama Ramadan-Lebaran menjadi kunci memacu geliat ekonomi Ramadaan dan sekaligus membenarkan persepsi berkah Ramadan yang tentu bersifat universal.

Tentu tidak mudah memacu sektor riil terutama setelah dua tahun pandemic Covid-19. Banyak argumen yang mendasari, termasuk tentang daya beli. Geliat ekonomi Ramadan seharusnya membangun prospek terhadap potensi ekonomi yang bisa dikembangkan lebih lanjut.

Paling tidak, dari takjil dengan omzet ratusan juta rupiah per hari memberi gambaran potensi ekonomi Ramadan secara berkelanjutan, setidaknya sampai Lebaran. Argumen ini menjadi rujukan untuk memacu geliat ekonomi sektor riil dan perkembangan model e-commerce yang memberikan peluang terbuka termasuk juga dukungan dari layanan perbankan yang lebih mudah, misalnya layanan e-banking.

Ekonomi Ramadan membangun prospek terhadap geliat ekonomi sektor riil meski di sisi lain ini justru mengancam daya beli akibat tergerus inflasi musiman Ramadan-Lebaran. Inilah berkah Ramadan dan industrialisasi Ramadan menjadi bagiannya sebagai implementasi ramadanomics. Mari kita sambut Ramadan dengan semua berkahnya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Maret 2023. Penulis adalah dosen Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya