SOLOPOS.COM - Nurul Yaqin (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Gelombang aksi protes dan demonstrasi mahasiswa di beberapa kampus semakin meluas seiring kebijakan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT). Kenaikan UKT yang fantastis bagi mahasiswa baru menabrak batas kewajaran.

Mahasiswa mengeluh tidak mampu membayar UKT yang mahal. Sedangkan fasilitas yang diberikan kampus tidak berbanding lurus dengan besaran UKT. Akhirnya, mereka menuntut agar UKT diturunkan.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Salah satu contoh, UKT dikeluhkan oleh calon mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) melalui jalur seleksi nasional berdasarkan prestasi atau SNBP. Nilai UKT itu Rp14 juta untuk Program Studi Kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Momentum ini memunculkan berbagai kecurigaan. Publik menduga Unsoed sedang memanfaatkan situasi manakala mahasiswa baru yang diterima lewat jalur SNBP tidak bisa pindah ke kampus lain, kecuali beralih ke kampus swasta atau nonujian tulis berbasis komputer atau non-UTBK.

Merespons gejolak ini akhirnya Unsoed menegaskan bahwa UKT tidak jauh berbeda dengan tahn-tahun sebelumnya. UKT dibagi menjadi delapan golongan. Golongan 1 UKT terendah dan golongan 8 UKT tertinggi.

Peraturan Rektor Universitas Jenderal Soedirman Nomor 6 Tahun 2024 tentang biaya mahasiswa menjelaskan UKT program studi Sarjana Hukum UKT 1 sebesar Rp500.000 dan UKT 8 sebesar Rp14.500.000. Pernyataan ini mencuat ke permukaan setelah Unsoed menjadi trending topic di jagat dunia digital.

Imbas kenaikan UKT memunculkan kontroversi di beberapa kampus. Ratusan mahasiswa Universitas Sumatra Utara (USU) mendesak rektor mundur lantaran kenaikan UKT lebih dari 100%. Mahasiswa Universitas Riau (Unri), Khariq Anhar, dilaporkan oleh Rektor Sri Indarti lantaran melayangkan protes dan kritik keras terhadap kampus terkait mahalnya UKT dan iuran pembangunan institusi (IPI).

Aksi ini terpaksa dilakukan oleh Khariq dan mahasiswa lainnya lantaran rektor tidak merespons dan tidak hadir ketika acara diskusi bersama mahasiswa untuk mencari titik terang mengenai UKT.

Fakta ini menunjukkan beberapa kampus antikritik dan mengabaikan suara mahasiswa. Laporan oleh Rektor Universitas Riau itu akhirnya dicabut, tetapi realitas penguasa antikritik jelas terlihat.

Ada kekecewaan lain yang menggelayut di kalangan mahasiswa sehingga mereka melakukan aksi protes dan demonstrasi. Kekecewaan itu tampak dari track record kampus yang kerap kali menyisakan tinta merah dalam sejarah pendidikan bangsa.

Ketika akumulasi kekecewaan tak tertahankan, menimbulkan gelombang aksi yang besar. Terbukti, aksi demonstrasi dan protes yang digagas oleh USU, Unri, dan Unsoed ternyata diikuti oleh-oleh kampus lain. Apa saja rapor merah yang menjadi catatan kampus-kampus di negeri ini?

Pertama, praktik korupsi di beberapa perguruan tinggi. Aksi kleptomania tidak hanya terjadi di ranah politik dan pemerintahan. Beberapa tahun belakangan telah merambat ke perguruan tinggi.

Lembaga pendidikan yang alih-alih menjadi teladan justru terjerumus pada praktik haram yang dapat merugikan banyak pihak. Ini dilakukan oleh pimpinan tertinggi perguruan tinggi, dalam hal ini rektor.

Di antara rektor yang terlibat dalam kasus korupsi yaitu Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap terkait penerimaan mahasiswa baru di Fakultas Kedokteran Unila.

Rektor Universitas Udayana (Unud) Bali, I Nyoman Gde Antara, terjerat kasus dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) pada seleksi mahasiswa jalur mandiri.

Pada 2024 ini Rektor Universitas Mitra Karya (Umika) Bekasi peride 2021-2024 dan mantan rektor periode 2019-2021 menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana Program Indonesia Pintar (PIP) yang menyebabkan kerugian negara Rp13 miliar.

Bisa dipastikan masih banyak praktik korupsi di kalangan pendidikan tinggi yang belum terlihat ke permukaan. Kedua, fasilitas dan servis yang tidak sesuai. Selama ini beberapa kampus kerap kali menaikkan UKT setiap tahun dengan nilai yang beragam.

Sayangnya, tak semua kampus memaparkan secara transparan peruntukan kenaikan UKT tersebut. Sedangkan realitas menunjukkan fasilitas yang diterima mahasiswa tak selaras dengan UKT yang harus dibayarklan oleh mahasiswa.

Narasi “UKT bintang lima, fasilitas kaki lima” terderang nyaring di setiap aksi demonstrasi. Pelayanan pengelola kampus terhadap mahasiswa masih terkesan mempersulit. Ketiga, publikasi ilmiah. Beberapa tahun terakhir, seluruh kampus—dalam hal ini dosen—berlomba-lomba menyusun artikel ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal nasional dan internasional.

Indeks angka peningkatan publikasi ilmiah di negeri meningkat cukup signifikan. Database Scival menunjukkan publikasi Indonesia periode 2017-2021 mencapai 5,5 kali lipat dibandingkan 2012-2016. Publikasi Indonesia lima tahun terakhir melebih negara ASEAN lainnya.

Yang menjadi masalah adalah ketika penyusunan artikel ilmiah bukan berangkat dari jerih payah dosen, tetapi dari perjuangan mahasiswa. Perjuangan mahasiswa menulis artikel ilmiah tentu mengorbankan banyak waktu, tenaga, dan materi.

Praktik semacam ini adalah simbiosis mutualisme. Siswa mendapat nilai tinggi dan dosen mendapat peningkatan poin. Apakah dosen semacam ini benar-benar mengamalkan salah satu nilai tridarma perguruan tinggi, yaitu penelitian, atau hanya mengandalkan tugas mahasiswa?.

Menyikapi gelombang protes dan demonstrasi yang meluas, pengelola kampus harus membuat kebijakan yang adil dan bijaksana. Kampus harus meredam kericuhan yang semakin memanas.

Kenaikan UKT yang menjadi jantung masalah di kalangan mahasiswa harus benar-benar diputuskan secara matang dengan melibatkan seluruh pihak sehingga tidak ada yang dirugikan.



Kenaikan UKT jangan sampai menyebabkan mahasiswa putus pendidikan. Pendidikan adalah hak setiap orang, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1), bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Manakala pendidikan tinggi terus berupaya berbenah di segala lini, stempel “rapor merah” yang selama ini melekat perlahan-lahan dengan sendirinya akan pudar.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Mei 2024. Penulis adalah guru SMPIT Annur Cikarang Timur, Bekasi, Jawa Barat dan alumnus Pascasarjana Unsika Karawang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya