SOLOPOS.COM - Fajry Annur (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Menjadi seorang pendidik tidak mudah. Profesi ini sering kali dinilai tidak seberapa di mata masyarakat karena gaji yang terbilang murah, apalagi jika itu guru honorer.

Hal yang semacam ini justru langgeng dalam sistem pendidikan di Indonesia. Para pendidik sering kali mendapat cap yang rendah. Sering ada yang mendapat kekerasan secara verbal maupun nonverbal karena dinilai salah dalam mendidik.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Tugas yang diemban sangatlah mulia. Mencerdaskan generasi bangsa dan membunuh kebodohan pada generasi penerus bangsa Indonesia. Tidak semua orang memahami esensi itu.

Gaji yang rendah dan rumitnya sistem pengangkatan guru tetap atau guru menjadi aparatur sipil negara (ASN) membuat banyak calon guru di Indonesia enggan mengajar dan pasrah tentang yang didapat: gaji yang tidak seberapa.

Sekolah-sekolah di pedesaan atau pelosok membutuhkan guru yang layak demi keberlangsungan sekolah tersebut. Guru banyak yang enggan ditempatkan di daerah pedesaan atau pelosok.

Alasan mereka biaya hidup yang terbilang mahal dan akses transportasi layak menuju tempat tersebut susah. Ditambah gaji yang tidak seberapa menambah nahasnya nasib pendidikan di Indonesia.

Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan adalah fakultas yang dikhususkan untuk mempersiapkan calon guru masa depan. Sayangnya, beberapa waktu terakhir fakultas ini hanya dijadikan ”buangan” oleh calon mahasiswa.

Alasan memilih fakultas ini karena tidak diterima di fakultas impian. Saya pernah bertanya kepada teman satu fakultas saya beberapa waktu lalu tentang hal ini. Dia mengatakan alasan memilih jurusan ini karena tidak ada pilihan lain dan dia merasa mata kuliah yang disajikan tidak serumit fakultas teknik maupun kedokteran.

Dia melupakan satu hal, bahwa menjadi seorang guru berarti dia harus siap belajar seumur hidup. Melihat realitas tersebut, rasanya menjadi miris. Mana mungkin pendidikan bisa maju jika profesi sebagai pendidik hanya ”buangan”?

Tidak bisa dimungkiri masih banyak mahasiswa yang bercita-cita menjadi guru dan ingin serius dengan profesi tersebut, tetapi belum ada survei yang jelas mengenai seberapa persen yang bersungguh-sungguh menjadi guru dan seberapa persen yang hanya menjadikannya opsi kesekian dalam hidup.

Indonesia membutuhkan pendidik yang benar-benar mendidik, bukan hanya mencerdaskan, terlebih perkembangan artificial intelligence atau AI saat ini dan platform belajar yang banyak jenisnya semakin memberikan peluang tergantikannya profesi guru ini.

Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR membeberkan tiga solusi masalah perekrutan guru di Indonesia.

Pertama, konsep marketplace untuk guru, yakni database guru yang sudah siap mengajar yang bisa diakses seluruh sekolah. Kedua, pola perekrutan guru yang dilakukan secara sentral, yaitu oleh pemerintah pusat, diganti menjadi perekrutan oleh sekolah sendiri.

Ketiga, mengubah sistem insentif agar sekolah mendapatkan guru sesuai kebutuhan dengan memberikan beasiswa kepada guru yang bersedia mengajar di daerah pelosok atau perdesaan.

Rasanya ini adalah angin segar yang ditawarkan kepada calon guru dan guru di Indonesia. Sistem pengangkatan guru secara terpusat menyusahkan sekolah yang sangat membutuhkan guru dapat memperoleh tenaga pengajar atau guru yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Para calon guru atau guru yang tidak mau mengajar di sekolah pelosok karena beberapa masalah kini mendapatkan imbalan yang pantas, yakni dengan beasiswa dan pengangkatan menjadi aparatur sipil negara yang terbilang mudah.

Konsep marketplace guru kemudian menjadi kontroversi. Istilah marketplace seolah-olah memosisikan calon-calon guru seperti ”barang yang dijual”. Hal ini tentu membuat geram beberapa pihak.

Istilah marketplace melukai citra guru sebagai pendidik generasi bangsa. Rasanya tidak elok kata marketplace disandingkan dengan seorang pendidik yang luar biasa mulia tugasnya. Istilah marketplace atau lokapasar identik dengan perdagangan barang.

Konsep yang dikemukakan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim sebenarnya bagus dengan tidak mempersulit guru-guru di Indonesia, tetapi istilah marketplace atau lokapasar tidak layak jika digunakan dalam konsep solusi tersebut.

Jika dipikirkan kembali, sebenarnya bisa memberikan nama yang lebih elok dan etis didengar, misalnya Pendidik Merdeka, Indonesia Belajar, dan lain-lain. Meski rawan menjadi tempat ”titip nama”, solusi yang ditawarkan ini boleh dicoba diterapkan.

Persoalan mendasarnya hanya sebutan  marketplace yang membuat masyarakat salah paham. Mereka yang pertama kali mendengar istilah marketplace guru mungkin akan berpikiran negatif, apalagi para mahasiswa keguruan yang mungkin akan mendapat lebih banyak tekanan dibanding-bandingkan dengan jurusan dan profesi lain yang dinilai lebih baik.

Tugas seorang pendidik amatlah mulia. Tanpa mereka tidak akan ada generasi penerus bangsa dengan beragam keterampilan yang akan mengisi jurusan-jurusan lain di luar sana.

Jangan sampai istilah marketplace atau lokapasar melukai citra calon pendidik dan pendidik di Indonesia dan membuat calon mahasiswa di luar sana enggan menjadi guru.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Agustus 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya