SOLOPOS.COM - Andri F Gultom, Guru SMAN 8 Solo, Peminat filsafat pendidikan (FOTO/Istimewa)

Tanggapan untuk Muh Hasyim

Andri F Gultom, Guru SMAN 8 Solo, Peminat filsafat pendidikan (FOTO/Istimewa)

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Menarik sekali membaca tulisan Muh Hasyim di Harian SOLOPOS, Rabu (11/1/2012), yang berjudul Indonesia Harus Punya SBI. Menarik karena dalam tulisan pendek tersebut Hasyim mencoba mengangkat persoalan krusial tentang program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) yang gagal total dalam sisi manajemen, pelayanan, mutu sekolah, kurikulum dan evaluasi.

Disadari atau tidak, soal pendidikan seperti RSBI bukanlah hal sepele. Beragam dimensi bisa bermain di dalamnya. Salah satunya terkait dengan globalisasi ekonomi dalam dunia pendidikan yang memang makin menguat. Hal ini tentu tidak bisa dipandang remeh. Dampak globalisasi ekonomi sangat terasa di dunia pendidikan.

Hasyim membuka tulisannya dengan pernyataan bahwa program RSBI yang dimulai sejak 2005 sampai sekarang gagal total. Ini membuatnya prihatin. Lalu, ia menyebut data 1.305 sekolah berstatus RSBI yang diharapan bisa menjadi SBI. Persentase guru bergelar S-2  untuk setiap jenjang pendidikan mesti terpenuhi yakni 10% untuk SD, 20% untuk SMP dan 30% untuk SMA.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa program RSBI yang sudah berjalan enam tahun gagal total? Rentang waktu yang cukup lama tersebut rupanya belum cukup untuk mematangkan RSBI menjadi SBI. Pertanyaan selanjutnya, seberapa jauhkah pengaruh positif pencapaian gelar S-2 bagi kualitas sekolah berstatus RSBI? Lalu, bagaimana jika seorang guru memiliki ijazah S-2 dadakan alias instan dengan cara kuliah jarak jauh, kuliah akhir pekan, atau tanpa pernah kuliah (membeli ijazah)? Layakkah ia mengajar di sekolah berstatus RSBI?

Sampai di sini sangat jelas bahwa program RSBI dirancang dengan “terburu-buru”. Program RSBI rupanya dibuat dengan mengadopsi kebijakan kapitalis. Dalam perspektif sistem kapitalis, peran negara diminimalisasi karena negara hanya sebagai regulator. Peran swasta dioptimalkan dengan profit oriented. Maka, bermunculan istilah-istilah dalam perundang-undangan yang sebenarnya tricky (menipu) seperti otonomi, badan hukum pendidikan, dewan sekolah, sampai sekolah bertaraf internasional.

 

Dasar Filosofis RSBI

Program RSBI bisa dikatakan melupakan dasar filosofis sebagai fundamen kebijakan. Dasar filosofis ini bisa mengacu pemikiran Aristoteles. Filsuf yang juga guru di Akademi Plato di Athena ini mengatakan hanya manusia yang membutuhkan pendidikan. Dalam perspektif Aristotelian, pernyataan singkat ini memuat unsur-unsur filsafat pendidikan seperti kesadaran, kebebasan memilih yang baik, peka serta peduli terhadap sesama dan pilihan ke arah masa depan yang lebih baik.

Persoalan dasar filosofis RSBI pernah didiskusikan dalam seminar yang diselenggarakan British Council di Jakarta pada 2011 dengan tema Sistem RSBI/SBI: Kebijakan dan Pelaksanaan. Persoalan pokok yang diangkat sangat mendasar, yakni konsep RSBI yang dinilai sudah melenceng alias tidak sesuai dengan tujuan awal pendidikan di RSBI.

Saat ini, sebagian peserta didik termasuk orangtua malah menganggap RSBI sekadar status dan kurang memperhatikan maksud dari sekolah berstatus  RSBI. Sederhananya, RSBI kurang peka dan peduli terhadap masyarakat sebagai subjek pendidikan. Pandangan ini kira-kira bisa menjelaskan titik kekhawatiran terkait “kegagalan” RSBI.

Di balik kekhawatirannya, Muh  Hasyim tetap berkeinginan Indonesia harus punya sekolah bermutu internasional (SBI). Argumentasi yang diajukannya, pertama, Pasal 50 ayat (3) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Menurut ketentun ini, SBI mutlak diperlukan karena menjamin masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang berstandar internasional. Kedua, SBI diprogramkan agar sekolah-sekolah di Indonesia semakin meningkat dalam hal manajemen, kurikulum, fasilitas, pelayanan dan sistem evaluasi.

Menurut saya, Muh Hasyim masuk dalam perangkap pemikiran simplistis ketika berdasar UU lalu mengharuskan dan memutlakkan SBI harus ada. Tak dapat dimengerti alur logika yang menghasilkan kalimat tersebut. Bagi saya, ada dua realitas berbeda antara sekolah internasional dengan sekolah berkualitas. Internasional bisa jadi hanya ungkapan mampu untuk bisa setara dengan pendidikan luar negeri, namun belum tentu bermutu.

Sebutan “internasional” tidak melulu berindikasi mutu. Contohnya, kasus rumah sakit internasional di Tangerang yang mengklaim sudah mengantongi predikat internasional, namun ternyata belum memiliki sertifikasi internasional dari lembaga internasional yang berwenang memberikannya. Akibatnya, biaya mahal, pelayanan minim dan terjadi malapraktik.

Sekolah berstatus RSBI mestinya mengutamakan kualitas, bukan melulu pada predikat internasionalnya. Pertanyaannya, bagaimana sekolah berkualitas itu? Menurut UNICEF, sekolah berkualitas mencakup lima unsur. Pertama, peserta didik mendapat makanan bergizi yang cukup dan siap berpartisipasi dalam proses belajar yang didukung keluarga dan lingkungan dalam proses pembelajaran itu.

Kedua, lingkungan sehat, aman, melindungi dan sensitif gender, serta menyediakan sumber-sumber pembelajaran dan fasilitas yang cukup. Ketiga, isi dalam kurikulum dan bahan pembelajaran yang relevan untuk pembelajaran basic skills, khusus literasi, numerik dan skills for life, pengetahuan mengenai isu-isu seperti gender, kesehatan, nutrisi, pencegahan HIV/AIDS dan perdamaian.

Keempat, ada proses sehingga guru-guru terlatih menggunakan sistem pembelajaran child centered di kelas dan sekolah yang dikelola dengan baik dan ada penilaian yang baik untuk melaksanakan pembelajaran dan menurunkan isu-isu perbedaan. Kelima, hasil yang termasuk pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap, serta berhubungan dengan tujuan nasional untuk pendidikan dan partisipasi sosial yang positif.

 

Evaluasi

Selain itu, harus mengetahui arah sistem, kurikulum dan manajemen pendidikan di RSBI mau berkiblat ke mana? Apakah Inggris, Amerika? Dan yang terpenting, RSBI dan pemerintah tetap memedulikan pendidikan berbasiskan lokalitas budaya Indonesia dalam penerapan pendidikan, walaupun bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran. Terkait tuntutan RSBI “berbaju” kurikulum internasional sekelas Harvard School atau Cambrigde School tampaknya sampai saat ini para peserta didik dan guru “belum siap” untuk mewujudkannya secara komprehensif. Upaya evaluasi dan redefinisi RSBI masih perlu dilakukan.

 

Saya sepakat dengan usulan Muh Hasyim tentang perlunya penelitian. Penelitian yang saya maksud harus menggunakan pendekatan secara teoritis maupun metodologis. Secara teoritis membutuhkan kolaborasi dari berbagai disiplin ilmu. Secara metodologis, perlu pendekatan dari dalam (emi) dan dari luar (eti) dalam melihat fenomena kontinuitas sekolah  berstatus RSBI.

Pendekatan dari dalam hendak meneropong sisi manajemen RSBI. Sedangkan pendekatan dari luar hendak menempatkan cara pandang pihak luar dalam melihat RSBI. Keduanya sama-sama penting dalam rangka menempatkan peserta didik sebagai subjek transformasinya.



Landasan filosofis dan metodologis kiranya masih relevan bila diletakkan dalam upaya untuk melihat lebih dekat persoalan pendidikan yang makin hari makin kompleks. Ini persoalan yang masih harus dijawab, dan kita tidak mungkin hanya mengandalkan penjelasan yang serba simplistis.

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya