SOLOPOS.COM - Truk terjebak banjir di jalan pantai utara Karanganyar, Demak, Jawa Tengah, Senin (12/2/2024). Banjir yang disebabkan jebolnya tanggul Sungai Wulan itu merendam jalan utama Semarang-Surabaya sejak Kamis (8/2/2024). Arus lalu lintas dialihkan ke jalur alternatif melalui Kabupaten Jepara dan Kabupaten Grobogan. (Antara/Yusuf Nugroho)

Banjir bandang yang melanda Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah, selama beberapa hari pada pekan lalu merendam belasan ribu rumah, puluhan fasilitas pendidikan dan tempat ibadah serta fasilitas publik lain, dan ribuan hektare lahan pertanian.

Bencana ini mengundang keprihatinan dan sepatutnya juga menjadi bahan pembelajaran kita bahwa bencana serupa bisa saja terjadi di daerah lain. Dampak bencana ini melumpuhkan aktivitas perekonomian hingga mengancam ketahanan pangan Jawa Tengah.

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Hingga Kamis (15/2/2024) petang sebanyak 25.518 jiwa korban banjir di Kabupaten Demak dilaporkan tertahan di tempat pengungsian darurat hingga beberapa hari ke depan karena genangan air masih belum surut.

Mereka berasal dari 25 desa di Kecamatan Karanganyar, Kecamatan Gajah, dan Kecamatan Wijen yang kebanjiran sejak Senin (5/2/2024). Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyebut penyebab utama banjir bandang tersebut adalah curah hujan deras dalam waktu lama.

Air hujan tak tertampung seluruhnya di sungai dan saluran air. Volume air hujan yang bergitu besar menyebabkan sungai meluap. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah menyebut penyebab utama banjir bandang itu adalah  alih fungsi lahan di wilayah hulu yang tak terkendali.

Daerah hulu kini makin penuh aktivitas industri dan properti. Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan pada 2013 lahan kritis di Jawa Tengah mencapai 634.598 hektare. Dalam kurun waktu delapan tahun telah diupayakan rehabilitasi hutan dan lahan seluas 251.037 hektare.

Pada 2018 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis data lahan kritis di Jawa Tengah tinggal 375.733 hektare. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah harus mengurangi beban daerah hulu sehingga tetap optimal menjadi daerah penangkapan air hujan dan banjir tidak terjadi di wilayah hilir.

Banjir bandang di Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan itu harus dimaknai sebagai bahan refleksi tentang kegagalan pemerintah membaca ancaman banjir. Tugas bersama pemerintah lintas sektor bersama masyarakat adalah membenahi dan menciptakan tata ruang yang ramah terhadap bencana alam, bukan malah menghilangkan kawasan konservasi dan wilayah perlindungan.

Para kepala daerah harus duduk bersama, mengesampingkan ego sektoral, untuk membahas pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dari hulu ke hilir. Kebijakan yang menyangkut DAS harus dibahas bersama, yang dilakukan di wilayah hulu berdampak terhadap daerah hilir.

Cetak biru manajemen tata kelola DAS harus lekas digarap dan diterapkan. Semua pihak di wilayah DAS harus tunduk dan patuh terhadap cetak biru tersebut demi kebaikan bersama.

Penghijauan kembali wilayah hulu sebagai wilayah serapan harus segera dilakukan. Cabut izin pemanfaatan lahan konservasi yang tidak sesuai peruntukan. Semua hal mulai penanaman, pemeliharaan, dan penebangan hutan harus dikerjakan dengan manajemen detail, tanpa merusak ekosistem hutan dan daerah tangkapan air.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya