SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sebuah  buku berukuran 24,5 sentimeter kali 32,5 sentimeter dengan ketebalan empat sentimeter bertajuk Ensiklopedia Musik Keroncong (2022) sampai di rumah saya, Kabupaten Sragen, dua hari sebelum Lebaran. Pengirimnya sahabat saya, Erie Setiawan, pakar musik muda dari Jogja, yang merupakan Ketua Tim Penyusun buku tersebut.

Saya girang bukan kepalang mendapatkan buku langka, gratis pula. Lebih dari itu, nama saya tercatat sebagai salah satu kontributor, bahkan buku karya saya Kembang Campursari: Profil Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Grup Campursari (2002) dan disertasi saya tercantum dalam faftar pustaka.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Katakanlah klungsu-klungsu melu udhu. Walaupun sekecil biji asam ikut menyumbang. Di tengah kelangkaan buku tentang keroncong, buku terbitan Direktorat Perfilman Musik dan Media Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi itu jelas sangat berharga. Laksana secangkir air kelapa muda saat dahaga mendera.

Buku itu tak sekadar mencatatkan peristiwa penting budaya keroncong, kaleidoskop, pada 1925–2022, tapi juga menampilkan foto-foto penyanyi keroncong sejak zaman baheula hingga memasuki abad ke-21. Sejak Miss Silami hingga Sruti Respati.

Substansi buku itu adalah regenerasi keroncong tidak mandek. Keroncong terus hidup, lestari, meskipun mengalami pasang surut, gemerlap, redup, dan kembali bersinar (meskipun tak lagi menyilaukan mata). Itu lumrah. Saya kira genre musik apa pun akan mengalami seperti itu.

Tengok saja buku Jazz 101: A Complete Guide to Learning and Loving Jazz (2000) karya John F. Szwed. Di situ dijelaskan jazz adalah musik klasik Amerika, satu-satunya bentuk kesenian asli Amerika, tapi dalam perjalanan sejarah juga mengalami pasang surut.

Berangkat dari musik etnik (minoritas), kemudian melaju ke pusat kebudayaan, menjadi musik populer Amerika, menjadi avant-garde. Kemudian menjadi musik minoritas lagi. Itu berlangsung hanya dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, meskipun musik jazz telah menyebar ke berbagai belahan bumi.

Keroncong? Sama saja. Dibawa oleh pelaut Portugis pada abad ke-16, kemudian berkembang di Pulau Jawa pada  abad ke-19 di wilayah pantai bernama Batavia, menjadi musik orang-orang kota besar dan kecil hingga tingkat kecamatan dan perdesaan pada abad ke-20.

Dari menjadi hiburan sebagian besar masyarakat terpelajar, elite, hingga kemudian pada diemohi, penggemarnya semakin menyusut, surut. Sama seperti musik jazz, dalam kurun waktu kurang dari setengah abad.

Dalam artikel Keroncong, Indonesian Popular Music (Asian Music, Vol. VII/1, 1976), Judith Becker menyebut keroncong adalah genre musik yang populer, tersebar di seluruh Indonesia, dan kebanyakan menyuguhkan lagu-lagu yang sentimental.

Jika dipelajari dengan saksama, pasang surut suatu genre musik tidak disebabkan alasan tunggal. Banyak variabel, bahkan teori, yang bisa dipakai untuk menelisik penyebabnya. Zaman yang sudah berubah, itu pasti. Kemudian selera. Lalu teknologi.

Pierre Bourdieu dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984) menuding selera sebagai sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial, yang membedakan dengan liyan. Masyarakat disegmentasikan sedemikian rupa berdasarkan selera yang pada gilirannya menciptakan perbedaan sosial.

Selera pula, menurut David Hume (1711-1776), filsuf Inggris beraliran empirisme, sangat memengaruhi cara pandang seseorang terhadap estetika, keindahan. Penulis buku Of the Standard of Taste itu berpendapat keindahan dalam sebuah karya seni tidaklah bersifat objektif, melainkan terdapat dalam diri subjek penikmatnya.

Keindahan bersifat privat. Kenikmatan hanya dirasakan oleh diri sendiri sewaktu mengamati suatu objek, meskipun menikmatinya bareng-bareng. Masyarakat era 1950-1970-an barangkali menikmati sentimentalitas lagu-lagu keroncong, sebagaimana disebut-sebut oleh Judith Becker, sebagai keindahan kolektif, tapi masyarakat sekarang bisa jadi tidak merasakan hal yang sama.

Dalam genre musik pop, masyarakat era 1980-an sangat suka mendengarkan lagu-lagu cengeng semacam Hati yang Luka yang dinyanyikan Betharia Sonata, tapi sekarang mungkin sudah merasa risi. Entah kenapa pula pada zaman itu kayaknya begitu banyak lagu-lagu cengeng, mendayu-dayu, bertebaran dengan kata “mengapa”.

Sekadar contoh: “Mengapa sayang, kau tinggalkan diriku….” (Apa Salahku oleh A. Riyanto). “Mengapa hidupku selalu sendiri…”  (Mengapa oleh Mercy’s). “Di kala kumengenang sendiri. Mengapa oh begini jadinya…” (Hujan di Waktu Malam oleh Vivi Sumanti). Hingga Remy Sylado menulis sebuah kritik tajam berjudul Musik Pop Indonesia: Suatu Kebebalan Sang Mengapa (Sedyawati & Damono, 1983).

Apa mau dikata, lagu-lagu cengeng semacam itulah yang laris manis tanjung kimpul pada masa itu. Bukankah berarti lagu-lagu pop zaman itu juga sama dan sebangun dengan lirik-lirik lagu keroncong era1950-1960-an yang dikatakan oleh Becker sebagai sentimental? Toh, bagi industri musik semua itu tidaklah penting. Persetan dengan masalah lirik, mau cengeng atau tidak. Yang penting cuan.

Generasi Milenial

Sebuah penelitian yang sangat menarik dilakukan oleh Victor Ganap (2020) tentang keroncong simfonik generasi milenial. Ganap menengarai musikus keroncong dari generasi milenial memiliki kekuatan disruptif terhadap budaya musikal yang telah mapan sekalipun.

Dia membuat analisis terhadap regenerasi keroncong dengan menggunakan teori diakronik kesejarahan model bagan Jean-Jacques Nattiez (Music and Discourse: Toward an Semiology of Music, 1990). Hasilnya, ada kesinambungan mulai dari keroncong concurs, keroncong bintang radio, keroncong beat, hingga keroncong generasi milenial.

Itu tak salah. Dengan fleksbilitas yang dimilikinya, generasi milenial keroncong mampu beradaptasi dengan musik dari berbagai genre. Semua ekspresi musik bisa kamot (terwadahi). Lahirlah sederet hibriditas genre, seperti congrock, congjazz, congdut, congrap, dan seterusnya.

Performanya kira-kira seperti yang dipentaskan oleh OK Pesona Jiwa pimpinan Koko Thole atau OK Sinten Remen garapan Djadug Ferianto (almarhum). Sementara keroncong yang asli, yang klasik, masih tetap hidup dan memiliki penggemarnya sendiri.

Keroncong, karenanya, telah lulus melewati kerangka tripartit: lokal, global, atau nasional, sebagaimana dirumuskan Anderson Sutton (2003). Keroncong, bagaimanapun, pernah “menang” dalam mengatasi hegemoni aparatus radio dan televisi saat masih hitam putih.

Jika musik keroncong masih bisa kita nikmati hingga hari ini, ya, karena regenerasi masih jalan terus, terus, dan terus. Jika hari ini kita boleh berbangga hati punya biduanita hebat seperti Waldjinah, Sundari Sukotjo, Tuti Maryati, Tetty Supangat, yang tentunya bakal semakin sepuh, tak perlu khawatir karena ada banyak juniornya, seperti Ervina Simarmata, Sruti Respati, Ratna Listy, dan sederet teman seangkatan mereka.

Seperti halnya musik jazz yang tak lantas mati sepeninggal Duke Ellington, Charlie Parker, Count Bassie. Di belakangnya telah menyusul Ornette Coleman, John Coltrane, Cecil Taylor, dan kawan-kawannya yang justru lebih galak dan garang dalam mengolah musik.



Musik bukanlah benda mati bak pipa gading yang cuma dielus-elus setiap hari atau seperti keris pusaka yang harus dijamasi setiap Sura, walaupun sama-sama warisan adiluhung dari leluhur. Barangkali yang sangat diperlukan untuk lebih memuluskan regenerasi keroncong adalah politik estetika ala Jacques Ranciere sebagaimana ditunjukkan dalam buku The Aesthetic Dimension: Aesthetic, Politic, and Knowledge (2009).

Sebuah upaya menjadikan keroncong sebagai sumber pengetahuan, kearifan, atas segala nilai yang terkandung di dalamnya setara dengan musik-musik lain, termasuk musik klasik Barat. Alhasil, di tangan seorang pencinta keindahan, pendamba estetika, musik akan senantiasa mencerminkan buah pemikiran dan tindakan seseorang.

Music has always told how people think and act,” kata John Tasker Howard (1962). Dengan begitu regenerasi bakal terus melaju. Musik, apa pun genrenya, akan terus hidup sepanjang masa. Selama masih ada pendukungnya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 Mei 2023. Penulis adalah doktor kajian seni, esais, sastrawan, dan budayawan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya