SOLOPOS.COM - Flo Kus Sapto W (FOTO/Dok)

Flo Kus Sapto W (FOTO/Dok)

Praktisi manajemen pemasaran
Pernah terlibat aktif
dalam penanganan konflik
konsumen dan perusahaan

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Alkisah Raja Louis XIV (diperankan Leonardo Di Caprio) memerintah kerajaan Prancis dengan semena-mena. Kehidupan pribadinya sangat hedonistis dan dikelilingi perempuan-perempuan cantik. Ketika para petani yang kelaparan berdemonstrasi di ibu kota, ditanggapi raja dengan menyuruh penasihatnya mengirimkan makanan busuk.
Saat hal itu dipermasalahkan oleh D’Artagnan (diperankan Gabriel Byrne)–komandan pasukan pengawal kerajaan—adalah raja yang justru bersikap lebih sadis dengan membunuh penasihatnya serta menembaki seluruh demonstran. Raja juga tega mengatur ”pembunuhan” Raoul (diperankan Peter Sarsgraad) dengan mengirimnya ke garis depan medan perang hanya supaya Raoul terbunuh dan dengan demikian tunangannya, Christine Bellefort (diperankan Judith Godreche), bisa menjadi milik raja.
Kelakuan Raja Louis XIV yang bejat itu menjadi keprihatinan seluruh warga kerajaan. Beberapa orang yang sungguh sangat peduli akan hal itu adalah tiga orang mantan musketeer (pengawal kerajaan) yaitu Aramis (dipetrankan Jeremy Irons), Porthos (diperankan Gerard Depardeu) dan Athos (diperankan John Malkovich). Ketiganya bersama dengan teman seperjuangan mereka, D’Artagnan, kemudian merencanakan sebuah suksesi tersembunyi. Misinya adalah mengganti raja yang berkuasa.
D’Artagnan–yang diam-diam menyimpan rahasia besar sebab Raja Louis XIV yang sedang berkuasa adalah anak kandung dari perselingkuhannya dengan permaisuri Ratu Anne (diperankan Anne Parillaud)–tidak menyetujui misi itu. D’Artagnan bertekad melindungi Raja Louis XIV sampai titik darah terakhir. Proses suksesi sempat berhasil sampai ketika D’Artagnan curiga dan akhirnya membongkar misi tersebut.
Namun, pada gilirannya D’Artagnan justru berbalik mendukung misi itu ketika tahu bahwa pengganti raja adalah Philippe (Leonardo Di Caprio) yaitu adik kembar Raja Louis XIV yang tak lain adalah anak kandungnya juga. Keberadaan Philippe yang baik hati dan berbudi pekerti selama ini sengaja disembunyikan bahkan dari D’Artagnan sendiri. Film berjudul The Man in The Iron Mask yang skenarionya ditulis Randall Wallace dan dirilis pada Maret 1998 itu akhirnya berakhir dengan happy ending walau cukup dramatis dengan kematian heroik D’Artagnan pada saat hendak melindungi Philippe dari tikaman senjata tajam Louis XIV.
Ilustrasi di atas tidak untuk mewakili fenomena konflik atas rekonsiliasi raja kembar di Keraton Kasunanan Surakarta, khususnya jika dikaitkan dengan mengemukanya isu tentang (calon) raja baru yang akan dinobatkan di luar Hangabehi dan Tedjowulan (SOLOPOS, 21/5).
Dalam perspektif perilaku organisasi, konflik bisa didefinisikan paling tidak dalam tiga pandangan yaitu tradisional, relasional manusia dan interaksional (Robbins, 2005). Pandangan pertama mendeskripsikan konflik sebagai sesuatu hal yang negatif. Konflik diidentikkan dengan segala hal yang berkaitan dengan kekerasan, merusak dan tidak masuk akal. Konflik bagaimanapun harus dihindari. Sedangkan menurut pandangan kedua, konflik merupakan sesuatu yang wajar, alami dan tidak bisa dihindari. Konflik bisa diterima sebagai konsekuensi dari relasi antarmanusia.
Menurut pandangan ketiga, konflik justru harus dimunculkan untuk mengantisipasi stagnasi, sikap apatis dan tiadanya tanggapan. Ini menjadi upaya agar sebuah organisasi tetap bergairah, kritis secara internal dan kreatif. Konflik harus diadakan. Meskipun demikian, konflik tetap harus dibedakan antara yang fungsional, yaitu yang bisa meningkatkan performa organisasi, maupun yang disfungsional, yaitu yang justru destruktif dan merugikan organisasi.
Tanpa bermaksud menghakimi, konflik di Keraton Kasunanan Surakarta kiranya masuk pada pandangan ketiga, yaitu disfungsional. Sebab cukup terlihat bahwa masing-masing pihak terang-terangan menyatakan penolakan dan antipati terhadap pihak lain. Momentumnya adalah dalam merespons rekonsiliasi. Indikasinya adalah tidak ada lagi upaya positif untuk menghindari konflik.
Konflik tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah sehingga sudah tidak menyisakan ruang bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk duduk bersama dan berbicara.  Konflik juga tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sengaja dimunculkan untuk kembali menghidupkan organisasi (keraton). Konflik sudah disfungsional dan tidak produktif  bahkan mengarah ke kekerasan fisik (perseteruan antarpaguyuban abdidalem dalam mendukung/tidak mendukung rekonsiliasi).

Model Solusi
Dalam upaya mengakhiri konflik–dengan pendekatan perilaku organisasi–ada lima model yang bisa dipakai dalam penyelesaian konflik yaitu persaingan (competing), kolaborasi (collaborating), penghindaran (avoiding), akomodasi (accommodating) dan kompromi (compromising). Solusi konflik dengan model persaingan dilakukan dengan memenuhi kepentingan salah satu pihak dan mengabaikan kepentingan pihak lainnya.
Kewenangan penyelesaian semacam ini dengan berbagai penyesuaian situasi dan kondisi–misalnya perdebatan antara domain privat dan publik, asas kepatutan dan kelayakan serta pertimbangan aset publik–bisa saja ada pada pemerintah. Pemerintah mempunyai kewajiban moral karena ada uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan penggunaannya sebagai subsidi atau hibah untuk keraton. Sepintas juga sudah terlihat kekuatan-kekuatan sumber daya mnusia (SDM) dan pemodal di belakang masing-masing pihak.
Selain potensi SDM, patut disayangkan kalau sampai besaran modal dijadikan salah satu dasar pertimbangan. Tetapi, memang lebih masuk akal jika SDM yang berkualitas dengan dukungan pemodal yang lebih kuat secara finansial yang diberi kewenangan mengelola keraton. Solusi semacam ini secara politis pernah dilakukan pemerintah terhadap partai politik yang berkonflik.
Sedangkan solusi kolaborasi yang merupakan upaya pemenuhan kepentingan masing-masing pihak yang bertikai agaknya sulit dilakukan. Pertama, masing-masing pihak merasa berhak atas satu-satunya posisi yang diperebutkan. Kedua, secara internal sudah tidak ada lagi sosok yang dituakan dan mampu ngesuhi semua pihak. Ketiga, eskalasi konflik sudah masuk ke jenjang liyan (penghilangan relasi kekerabatan dari hubungan darah yang sebetulnya tidak bisa dihilangkan; misalnya bekas anakku, bekas ayahku atau bekas kakakku, bandingkan misalnya dengan bekas istriku atau bekas suamiku).
Solusi penghindaran yang dilakukan dengan pembiaran konflik selama delapan tahun juga tidak ada kemajuan berarti. Solusi akomodasi yang dilakukan dengan kesediaan salah satu pihak untuk memenuhi kepentingan pihak lain kiranya sudah dilakukan oleh kubu Tedjowulan dengan mengalah menjadi orang kedua. Sedangkan solusi kompromi yang dilakukan dengan kerelaan masing-masing pihak melepaskan satu atau beberapa kepentingan agaknya juga sudah menemui jalan buntu.
Jika memang kepentingannya hanya akan ditarik sebatas urusan privat/warisan–termasuk juga di dalamnya adalah jabatan raja, yang salah satu indikasinya adalah penolakan terhadap campur tangan pemerintah–maka publik tentu juga tidak mau jika energi pemerintah tersita hanya untuk mengurusi pertikaian keluarga. Publik tentu juga lebih bisa menerima jika dana bantuan yang selama ini diberikan kepada keraton justru bisa digunakan untuk–misalnya–pemberdayaan kesenian rakyat atau perbaikan infrastruktur umum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya