SOLOPOS.COM - Moh Rofqil Bazikh (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Secara historis mahasiswa mempunyai relasi intim dengan sejarah perjuangan Indonesia. Lengsernya Soeharto pada tahun 1998 adalah salah satu momentum yang selalu dikenang. Momentum tersebut kerap membuat mahasiswa melakukan upaya romantisasi terhadap masa lalu.

Hari ini sudah lebih dari dua dekade sejak fenomena yang menegangkan tersebut, tetapi sebagian mahasiswa terlalu sering menoleh ke arah itu. Pada dasarnya, mahasiswa adalah ekosistem yang terdidik dan hidup di lingkungan perguruan tinggi. Mengawal perjalanan bangsa adalah hal yang tak dapat dihindari.

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Kritisisme bagi kalangan mahasiswa adalah hal yang lumrah dan biasa saja. Apa pun dan siapa pun dapat menjadi objek materi kritik-kritik mahasiswa. Kendati seperti itu, bukan berarti di internal mahasiswa sendiri tidak terdapat problem. Ada banyak sekali problem yang secara faktual berkembang biak di kalangan mahasiswa.

Mulai dari problema akademis hingga nonakademis. Dua ranah problem tersebut, meski tidak sama, memberikan sudut pandang lain terkait mahasiswa. Problem itu semua kemudian melahirkan klasifikasi mahasiswa yang, dalam kacamata saya, dibuat terlalu simplistis.

Mahasiswa yang menolak untuk terjun di dunia organisasi, umpamanya, biasa dianggap sebagai mahasiswa kelas dua. Di seberangnya ada mahasiswa yang bersemangat terjun di dunia organisasi. Arketipe mahasiswa yang kedua ini biasanya secara hierarkis diletakkan satu setrip lebih tinggi dibanding yang pertama.

Mahasiswa yang punya obsesi yang eksesif terhadap organisasi di beberapa kasus sering kali mengabaikan kepentingan akademis. Begitu juga sebaliknya bagi mahasiswa yang memilih untuk tidak bersentuhan dengan runyamnya organisasi. Bagi mahasiswa demikian ini, hal terpenting dari kuliah adalah kuliah itu sendiri, surplus akademis.

Dari sini dapat dilihat bahwa sebenarnya di internal mahasiswa terdapat gesekan-gesekan yang terlihat sepele, namun harus diperhatikan. Saya ingin melihat lebih jauh gesekan itu terjadi di faksi mahasiswa yang memilih untuk aktif di organisasi, utamanya organisasi eksternal kampus.

Umumnya gesekan di kalangan mahasiswa yang punya obsesi relatif besar terhadap organisasi masing-masing lebih menarik untuk diperhatikan. Nyaris pada setiap penerimaan mahasiswa baru, setiap organisasi ingin memperlihatkan daya pikat.

Ujungnya bisa kita tebak dan telah menjadi rahasia umum bersama, rebutan kader adalah hal yang lazim. Gesekan seperti ini, kendati terlihat dingin, sejujurnya lebih panas daripada konfrontasi mahasiswa antiorgnisasi dan mahasiswa organisatoris. Hal itu dikarenakan gesekan atas nama organisasi juga mempunyai dampak turnan.

Semipartai Politik

Organisasi semipartai politik adalah istilah yang saya buat untuk organisasi mahasiswa yang terlalu ambisius. Bukan ambisius dalam arti yang positif, melainkan sebaliknya. Tidak lain adalah ambisi untuk merekrut sebanyak mungkin kader atas nama estafet dan napas panjang organisasi.

Rasa-rasanya setiap organisasi punya ketertarikan khusus akan hal tersebut. Itu dapat dibuktikan dengan adanya divisi kadersisasi di setiap organisasi. Lebih-lebih nyaris semua organisasi mengamini bahwa masa depan organisasi berada di tangan kader selanjutnya.

Rebutan kader adalah hal yang tidak dapat dielakkan. Ketika setiap organisasi punya obsesi untuk menarik sebanyak mungkin kader, di sana terdapat potensi gesekan. Pada titik gesekan inilah, organisasi-organiasi tersebut tidak lebih dari partai politik sebagaimana di kancah politik nasional.

Ujung-ujungnya, setiap kader dimaksudkan untuk mendapat jabatan strategis. Titik diferensialnya hanya pada ruang lingkup. Jika partai politik domainnya nasional, organisasi mahasiswa ini dalam lingkup universitas. Titik kulminasi yang paling naif bahwa hal tersebut justru membuat setiap organisasi saling menegasikan.

Satu organisasi menganggap organisasi lainnya tidak ideal, begitu juga sebaliknya. Di tengah iklim seperti itu, kita tidak akan pernah mendapati spirit multikulturalisme. Spirit ini hanya akan hadir ketika ego kelompok direndahkan dan mulai memahami hakikat perbedaan.

Gesekan-gesekan antarorganisasi mahasiswa dapat ditengahi dengan menghidupkan kembali spirit multikultural. Setiap organisasi semestinya bersinergi untuk membentuk mahasiswa yang solid dan kukuh, alih-alih terpecah karena egoisme sektarian.

Langkah Alternatif

Demi membuat gesekan antarorganisasi tidak semakin berkepanjangan, dibutuhkan langkah alternatif. Setiap pemuka organisasi semestinya paham bahwa kemajemukan adalah hal yang tidak bisa dihapuskan. Kemajemukan bukan hanya sebagai sesuatu yang diakui, bahkan harus dirawat.

Sebagai dinamika sosial yang terjadi di dunia kampus, mestinya pluralitas sejak awal dipahami dengan baik. Implikasi logisnya ketika pluralitas dipahami dengan baik maka setiap orang punya hak masing- masing. Antara lain, hak untuk memilih, hak untuk bersuara, serta hak untuk berbeda.

Dengan nalar yang direkonstruksi inilah tidak akan pernah ditemukan yang namanya rebutan kader. Setiap organisasi dengan rendah hati memberikan hak penuh terhadap mahasiswa baru untuk memilih. Ditambah dengan meletakkan bahwa kebenaran dan sifat ideal tidak hanya berada di kelompoknya, di organisasinya.

Setiap organisasi punya sisi baik dan hal itulah yang semestinya dipahami bersama. Jika hal itu dinilai terlalu ideal, setidaknya tidak mencari celah antarorganisasi. Organisasi mahasiswa yang telah jauh melebar harus dikembalikan ke jalan yang semestinya, yakni untuk memaksimalkan potensi setiap kader dan anggota.

Hal ini yang sering dilupakan dan hanya berbondong-bondong untuk menghimpun sebanyak mungkin anggota, padahal organisasi adalah tempat berproses mahasiswa. Di dalamnya sejujurnya harus diajarkan bagaimana menjadi manusia, salah satunya dengan menggaungkan kembali nilai-nilai keberagaman itu.

Manusia sejak dahulu kala tidak bisa disamakan. Manusia lahir dengan membonceng nama perbedaan, apalagi di lingkungan mahasiswa dengan latar belakang dan perspektif yang majemuk. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh mahasiswa, dipegang teguh para aktivis organisasi, untuk menghidupkan spirit multikultur yang mati suri.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 18 Oktober 2022. Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Hukum Himpunan Mahasiswa Program Studi Perbandingan Mazhab, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya