SOLOPOS.COM - Rektor UIN Salatiga Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag. (Istimewa)

Pertanyaan tentang bagaimana hukum itu dapat diketahui telah menarik perhatian para ahli hukum Islam untuk waktu yang lama. Pada abad-abad awal, perdebatan sengit dan bahkan permusuhan berpusat pada tempat dan peran prinsip-prinsip etika dan akal dalam pengembangan tradisi keagamaan.

Di satu sisi, ada Mu’tazilah yang berpendapat bahwa keadilan itu dapat diketahui melalui akal manusia. Di sisi yang lain kaum tradisionalis (ahl al-hadits) berpendapat bahwa akal itu berubah-ubah, dan karena itu keadilan hanya diwujudkan melalui wahyu.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Namun, di zaman modern, perdebatan semacam ini secara resmi telah mereda. Meskipun muncul kaum liberal yang ingin memberikan rasionalitas dan peran akal yang jauh lebih besar dalam artikulasi hukum Islam. Di tengah-tengah itu muncul juga kaum fundamentalis yang memandang hukum sebagai sumber dari semua moralitas dan keadilan.
Kaum sekularis mengecualikan hukum Islam dari setiap fungsi publik. Namun demikian, apa pun sifat perdebatan yang ada di antara kelompok-kelompok ini, tidak lagi diutarakan dalam istilah moralitas dan hukum. Masalah hukum Islam dan moralitas telah dikeluarkan dari semua pertimbangan di zaman modern ini.

Etika berkaitan dengan standar-standar yang menentukan apa yang harus dilakukan manusia. Etika juga membahas kebajikan, tugas dan sikap individu dan masyarakat. Selain itu, etika berkaitan dengan adat istiadat, tradisi serta keyakinan dan pandangan dunia. Pada saat yang sama, ada bidang lain, seperti hukum, perasaan dan kebudayaan manusia, yang membahas subjek serupa dengan yang ditangani oleh etika.

Jadi orang mungkin bertanya, apa perbedaan antara etika dan hukum? Atau apa hubungan antara keduanya.

Tujuan hukum Islam dipandang serupa dengan etika Islam, yaitu membangun kehidupan manusia atas dasar keutamaan (ma’rufat) dan membersihkannya dari keburukan (munkarat). Kebajikan atau ma’rufat secara umum adalah selaras dengan fitrah manusia dan persyaratannya, dan keburukan atau munkarat adalah kebalikan dari kebajikan.
Melalui syariat Islam, kita bisa mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa saja keutamaan dan keburukan dan ini menjadi norma-norma yang harus dipatuhi oleh individu dan masyarakat.

Keluarga Berantakan

Hukum Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia mulai dari ritual keagamaan hingga sosial, ekonomi, sistem peradilan dan sebagainya. Padahal, hukum Islam memiliki cakupan dan tujuan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan sistem hukum Barat. Seperti etika Islam, hukum Islam bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia.

Oleh karena itu, baik hukum Islam maupun etika Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam hukum Islam, ada batasan-batasan tertentu yang ditentukan oleh Allah (huddullah) yang dikenakan pada manusia untuk mencegahnya mengikuti keinginan dan nafsunya sendiri.

Allah menyebutkan tentang halal (halal) dan haram (haram), keutamaan dan keburukan. Ini adalah batas (hudud) yang harus dihormati dan dipatuhi oleh setiap Muslim, dan jika dia melanggar maka dia melakukan kesalahan atau kejahatan.

Batasan (hudud) ini merupakan sanksi hukum Islam atau syariah. Oleh karena itu disebut hukum hudud. Selain memberikan rasa tanggung jawab kepada Allah dan seluruh umat manusia, batasan-batasan (hudud) ini akan menjaga hak-hak manusia dalam segala aspek kehidupan.

Oleh karena itu, hukum Islam atau syariah akan menjamin dan menjaga kesejahteraan manusia (mashalih al-`ibad). Misalnya, untuk menjaga garis keturunan manusia, hukum Islam dengan jelas memberikan hukuman bagi perzinahan (zina).

Kesucian sebagai kebajikan moral memiliki tempat yang sangat tinggi dalam kode hukum Islam yang mengatur hubungan antarjenis kelamin. Al-Qur’an telah menetapkan perintah yang komprehensif untuk menjaga dan melindunginya.

Kepekaan Islam yang sangat besar tentang kesucian tercermin dalam hukuman untuk perzinahan. Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan rajam sampai mati ditetapkan sebagai hukuman untuk perzinahan dan untuk kejahatan lain, betapa pun seriusnya. Jika perzinahan atau percabulan dihukum ringan atau tidak dihukum sama sekali, itu bisa berdampak buruk bagi kehidupan manusia.

Ini akan menghancurkan dasar struktur keluarga, menyebarkan berbagai penyakit baik fisik maupun spiritual, dan menyebabkan keluarga berantakan. Namun, perbedaan yang tidak jelas dari tindakan ibadah mengakibatkan kesenjangan antara kebajikan Islam dan hukum Islam.

Khaled menyatakan bahwa masalah ini berasal dari pendekatan normatif para ahli hukum dalam berurusan dengan hukum-hukum hudud. Seolah-olah hukum itu sendiri adalah satu-satunya manifestasi dari konsep-konsep etika dalam kehidupan. Oleh karena itu, pendekatan ini mengarahkan mereka untuk memusatkan perhatian pada bagian luar hukum itu sendiri, misalnya jenis-jenis hukuman dalam prosedur pidana Islam, bukan pada perilaku yang menjamin hukuman tersebut.

Menjaga Moralitas

Khaled juga berpendapat bahwa nilai-nilai etika tidak diwujudkan dalam hukuman berat, tetapi nilai-nilai pada kenyataannya beroperasi dalam perilaku dan tindakan tidak bermoral yang berusaha untuk dihambat oleh hukum. Misalnya, dalam konsumsi minuman beralkohol, larangan perilaku tidak etis adalah nilai sebenarnya dari syariah dan bukan semata-mata hukuman yang ditetapkan berdasarkan bukti tekstual itu sendiri.

MH. Kamali berpendapat bahwa perbedaan antara hukum Islam dan moralitas terletak pada kategorisasi moral beruas lima dalam sistem hukum Islam. Dalam yurisprudensi Islam, hukum wajib dan haram memiliki implikasi hukum, sedangkan tiga lainnya – sunnah, makruh, dan mubah – terletak pada ranah moralitas atau etika yang tidak dapat diperlakukan sebagai hukum.

Meskipun demikian, Kamali menunjukkan fakta bahwa dalam latar belakang sejarah masyarakat Islam ada lembaga lain yang berperan dalam menjaga moralitas, yaitu lembaga hisbah. Ini merupakan gambaran dari peran penting yang diambil oleh umat Islam dalam mempromosikan nilai-nilai etika secara umum.

Korupsi dan penyuapan mungkin menjadi telah menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita, dan begitu juga konsumsi obat-obatan. Perbuatan tersebut boleh jadi dapat dinyatakan sah oleh suatu hukum. Namun, perbuatan-perbuatan tersebut tidak akan pernah dipandang benar secara moral dalam Islam.

Jelas, ini menunjukkan fakta bahwa apa yang mungkin menjadi hukum di suatu negara namun belum tentu etis. Al-Qur’an penuh dengan pesan yang jelas tentang etika (akhlak), standar perilaku yang diharap agar umat manusia menerapkannya karena Dia telah mengutus manusia ke dunia ini sebagai khalifah-Nya. Ini mencakup semua aspek kebenaran, kejujuran, kebaikan, integritas (konsisten dalam perkataan dan perbuatan), memenuhi komitmen dan keikhlasan.

Islam menawarkan sistem etika yang unik. Dalam Islam, etika dan hukum Islam berakar pada fitrah primordial manusia yang tidak bersalah dan baik kecuali dikorupsi. Demikian pula etika dan hukum saling melengkapi dan tidak saling bertentangan.

Dalam hal ini, apa yang salah secara moral juga ilegal, dan hukum hanya mengizinkan apa yang bermoral. Selain itu, dalam Islam baik moralitas maupun hukum berasal dari sumber-sumber agama dan ajaran agama dipraktikkan melalui moralitas dan hukum. Dengan demikian, hukum Islam dan etika Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya