SOLOPOS.COM - Muhammad Aslam (Istimewa/Solopos)

Di berbagai negara yang menjalankan demokrasi termasuk Indonesia, pajak menjadi sumber utama penerimaan negara untuk membiayai pembangunan nasional, menggerakkan roda perekonomian, mendistribusikan kekayaan, dan mengurangi ketimpangan di masyarakat. Pajak dibebankan kepada setiap warga negara yang memiliki kewajiban subjektif dan objektif sebagai pembayar pajak.

Kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan mulai dari mendaftar, menghitung, membayar, dan melapor secara mandiri merupakan perwujudan dari peran aktif warga negara serta kunci keberhasilan pembangunan nasional. Sebab pajak tidak hanya untuk rakyat yang membayar pajak, tetapi juga untuk rakyat yang tidak wajib membayar pajak.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Namun di sisi lain, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dengan jumlah populasi Muslim terbesar di dunia juga memiliki kewajiban keagamaan yang harus segera ditunaikan yaitu zakat. Sehingga memunculkan pertanyaan apakah wajib membayar pajak di saat kaum Muslim telah menunaikan zakat ataupun sebaliknya?

Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. (UU Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat pasal 1 ayat (2)). Sedangkan pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (UU Nomor 28/2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 1 ayat (1)).

Banyak kesamaan antara zakat dan pajak, yaitu pertama, bersifat wajib bagi yang telah memenuhi ketentuan; kedua, tidak memperoleh imbalan langsung; ketiga, solusi penyelesaian masalah ekonomi, mengentaskan kemiskinan, dan kesejahteraan umat; dan lain sebagainya yang diharapkan dapat mewujudkan suatu masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, dan berkesinambungan antara kebutuhan material dan spiritual.

Namun di antara keduanya ada perbedaan yang mendasar sehingga zakat dan pajak tidak bisa disamakan begitu saja. Perbedaan itu antara lain : pertama, asas hukum zakat bersumber dari Allah SWT melalui Al-Qur’an sedangkan pajak memiliki asas hukum undang-undang buatan manusia yang berbeda-beda secara teori; kedua, zakat lebih tertuju pada makna pensucian, barokah, dan lain sebagainya atas penghasilan/harta yang diperoleh sedangkan pajak lebih tertuju maknanya pada pemaksaan kewajiban pembayaran atas penghasilan yang diperoleh; ketiga, zakat merupakan ibadah dan wujud syukur seorang hamba kepada Allah SWT sedangkan pajak merupakan kewajiban bela negara seorang warga negara; dan lain sebagainya.

Relasi zakat dan pajak dimulai saat pasukan muslimin berhasil menaklukkan Irak. Atas saran-saran para pembantunya dan berbagai pertimbangan dalam sebuah permusyawaratan, akhirnya Khalifah Umar bin Khatab memutuskan untuk tidak membagikan harta rampasan perang termasuk tanah wilayah taklukkan dan tetap menjadi milik penduduk setempat. Namun sebagai gantinya, penduduk di wilayah Irak tersebut diwajibkan membayar pajak meskipun pemiliknya telah masuk Islam. Inilah kiranya awal berlakunya pajak bagi kaum Muslimin di luar zakat dan masih berlangsung hingga sekarang.

Artinya pajak bisa dipungut oleh penguasa negara yang menjalankan demokrasi dan harus berdasarkan undang-undang ketika sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dipungut tidak mencukupi untuk membiayai penyelenggaraan negara. Apabila pungutan pajak tidak berdasarkan undang-undang, maka dikategorikan perampokan atau perampasan.

Namun seiring berjalannya waktu, relasi antara zakat dan pajak menjadi bertolak belakang. Dimulai dengan kemunduran kaum Muslimin, penjajahan bangsa Eropa, dan hegemoni peradaban Barat membuat hukum-hukum syar’i semakin ditinggalkan. Dan digantikan dengan hukum wadh’i (buatan manusia) yang justru lebih diutamakan sehingga membuat masyarakat lebih patuh pada peraturan perpajakan dari pada hukum syariat zakat karena sanksinya langsung diberikan/dijatuhkan ketika kecurangan atau manipulasi pajak yang dilakukan Wajib Pajak terendus oleh aparat pajak.

Maka tidak mengherankan jika penerimaan perpajakan tahun 2023 yang dihimpun oleh Direktorat Jendral Pajak dan Direktorat Jendral Bea Cukai mencapai lebih kurang Rp2.155,42 triliun tidak linier atau tidak sebanding dengan penerimaan zakat 2023 yang dihimpun oleh BAZNAS dan LAZ lainnya se-Indonesia yang hanya mencapai lebih kurang Rp33 triliun. (baznas.go.id)

Selain itu, terdapat ketidakselarasan di antara Peraturan Pengelolaan Zakat dengan Peraturan Pajak Penghasilan. Ketidakselarasan tersebut ada pada UU Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat pada Pasal 22 yang berbunyi “Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak” dengan PP Nomor 60/2010 tentang Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto ….”.

Penghasilan kena pajak adalah penghasilan bruto dikurangi komponen pengurang yang diperbolehkan dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sedangkan penghasilan bruto adalah seluruh komponen penghasilan yang diterima kecuali Jaminan Hari Tua dan Iuran Pensiun.

Selain itu, pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168/2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Orang Pribadi pada pasal 17 ayat (6) huruf c menyatakan bahwa “zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang dibayarkan melalui pemberi kerja kepada badan amil zakat, lembaga amil zakat, dan lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah” menunjukkan bahwa ada penambahan “rantai birokrasi“ dalam menunaikan ibadah zakat yaitu harus ditunaikan melalui pemberi kerja kemudian pemberi kerja menyalurkannya kepada badan/lembaga amil zakat yang telah disahkan oleh pemerintah.

Membayar pajak tidak sama dengan membayar zakat. Membayar zakat juga bukan berarti dibebaskan atau berkurang pembayaran pajaknya. Sebab keduanya tidak bisa saling menggantikan. Zakat dan pajak hukumnya sama yaitu wajib dilaksanakan bagi umat Islam yang mampu sekaligus warga negara yang taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karena itu, pemerintah diharapkan segera menyempurnakan dan mengintegrasikan peraturan atau kebijakan agar selaras sehingga dapat mendorong para Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya secara sukarela sekaligus menunaikan ibadah zakatnya melalui Badan/Lembaga Amil Zakat yang telah disahkan oleh pemerintah.

(Artikel ini telah dimuat di Koran Solopos, 25 Maret 2024. Penulis adalah Praktisi Perpajakan tinggal di Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya