SOLOPOS.COM - Khabibi Muhammad Luthfi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Religiositas  adalah sebuah pengetahuan, perilaku, dan penghayatan seseorang atas ajaran-ajaran agama yang dipeluknya. Dalam konteks ini saya lebih condong pada agama Islam.

Religiositas memasuki dunia kampus. Intelektual kampus menjadi percikan yang mestinya mampu mencerahkan lingkungan. Intelektual kampus adalah para akademikus perguruan tinggi yang memiliki kemampuan berpikir logis, sistematis, dan kritis dalam memahami suatu peristiwa secara mendalam.

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Idealnya para intelektual kampus agama (umumnya di bawah Kementerian Agama) memiliki religiositas yang lebih baik dibanding intelektual kampus umum (di bawah naungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi)

Dalam keseharian intelektual kampus agama lebih banyak mengkaji tentang keislaman. Sebagian masyarakat memandang intelektual kampus umum (IKU) jamak lebih religius dibanding intelektual kampus agama (IKA).

Mayoritas perilaku keagamaan IKU menunjukkan gejala sangat taat dan disiplin, sedangkan mayoritas IKA dikatakan kurang taat dan cenderung bebas. Secara sekilas pendapat ini benar. Ada beberapa alasan kenapa religiositas IKA seperti itu.

Pertama, kualitas dan kuantitas pengetahuan keislaman. Ketaatan IKU itu disebabkan pengetahuan agama yang sedikit, sehingga tidak banyak pilihan, bahkan jika tidak sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki dianggap salah.

Berbeda dengan IKA yang memiliki banyak pengetahuan sehingga dalam praktik beragama banyak pilihan, tidak sekadar benar salah, dan lebih dinamis. Kedua, paradigma keilmuan.

IKU lebih kuat dalam ilmu-ilmu sains dan teknologi yang bertumpu pada pendekatan positivistik-pragmatis sehingga dalam beragama yang dilihat adalah yang tampak, formal, simbolis, dan kepastian sebuah ajaran.

Sedangkan IKA lebih banyak menggunakan ilmu-ilmu sosial humaniora yang berbasis pada aspek pendekatan idealis-spiritual sehingga praktik keberagamaan mereka lebih bersifat yang tidak tampak, substantif, dan mementingkan fleksibilitas ajaran.

Ketiga, sumber ilmu pengetahuan. Dalam praktik jamak IKU langsung merujuk pada Al-Qur’an dan hadis serta sedikit menggunakan pendapat para ulama, kecuali dari para ustaz dari kalangan mereka sendiri yang sangat terbatas.

Berbeda dengan IKA yang tidak terbatas pada dua sumber Islam, melainkan juga menggunakan pendapat para ulama. Perbedaan pendapat para ulama itu disebut sebagai rahmat yang justru umat muslim bisa memilih pendapat yang sesuai dengan konteks dan situasi masing-masing.

Keempat, metode penafsiran. Untuk menafsirkan teks dan realitas keagamaan, IKU menggunakan model penafsiran tekstual karena dianggap lebih pasti. Bagi mereka beragama adalah kepastian bukan perdebatan.

Bahwa agama itu dilakukan bukan diwacanakan. Sementara IKA, dalam menafsirkan teks dan realitas sangat beragam. Terkadang menggunakan metode tekstual, kontekstual, dan sering juga kontekstualisasi, tergantung dari masalah dan konteks yang dihadapi.

Jika mengacu pada alasan-alasan ini justru religiositas IKA lebih baik daripada IKU dalam ranah pengetahuan maupun praktik keislaman. Meski demikian, banyak juga ditemukan, praktik keislaman para IKA hanya didasari pada oportunitas kemudahan yang dilegitimasi dengan pengetahuan keagamaan, bukan kesempurnaan atau kebaikan beribadah.

Misalnya, para IKU selalu salat pada awal waktu dan berjemaah di masjid karena mereka menganggap itu kewajiban. Sementara IKA terkadang mau untuk melakukan dan terkadang tidak karena menganggap itu bukan sebuah kewajiban, melainkan sunah sehingga secara hukum syariat bisa diakhirkan.

Argumentasi tersebut tentu bisa diterima. Hanya saja, setelah didalami, beberapa IKA yang mengakhirkan ibadah lebih dominan didasari kemalasan. Apa pun alasan mereka bahwa mengawalkan salat itu lebih utama daripada mengakhirkan, kecuali ada uzur syar’i atau alasan-alasan yang diperbolehkan agama.

Berbasis wacana keislaman yang luas dan komprehensif, beberapa IKA juga berani melanggar ketentuan agama. Kemudian muncul kelakar baru bahwa ini karena mereka tahu bagaimana bertobat.

Sufi Kampus

Terlepas dari perdebatan tersebut, saya sebagai insan akademik berpendapat seharusnya keduanya bisa menyeimbangkan antara religiositas praktik dan pengetahuan keislaman. IKU bisa menampilkan agama yang luwes, fleksibel, dan tidak kaku sedangkan IKA mampu menampakkan wajah Islam yang disiplin, taat, dan moderat.

Selain itu, yang lebih penting, setelah pengetahuan dan praktik adalah penghayatan keagamaan. Ini merupakan tingkat tertinggi bagi kaum agamawan yang bisa dicapai tidak hanya oleh para intelektual, melainkan muslim secara umum yang mampu memaknai seluruh hakikat ajaran Islam itu.

Umumnya tingkat religiositas ini dimiliki para kaum sufi yang bisa menyucikan hati. Mereka tidak menonjolkan simbol dan keformalan beragama, seperti berpeci, berjanggut, dan berjubah putih. Para sufi ini juga tidak menyombongkan keluasan pengetahuan, seperti berlebihan dalam mengutip dalil-dalil agama.

Para sufi ini sebenarnya juga bertebaran di kampus, baik kampus umum maupun agama (baca IKU dan IKA). Mereka beragama dalam keheningan sekaligus menyatu dan membaur dengan civitas academica kampus dengan cara yang unik lagi bijak.

Mengajar ilmu pengetahuan sekaligus mendakwahkan Islam dengan sangat halus, baik di kelas maupun di luar kelas. Bagi sufi kampus, Islam sekali waktu kuat di simbol, sekali waktu sangat substantif. Islam bisa ditampilkan dan dipraktikkan dalam kesunyian maupun keramaian karena pada dasarnya Islam bisa ke mana-mana dan di mana-mana.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 November 2023. Penulis adalah dosen Sastra Arab dan Agama Islam Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya