SOLOPOS.COM - Febri Setiyasih Widayati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Ki Hadjar Dewantara menyatakan di mana ada kemerdekaan di situlah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat self discipline, yaitu kita sendiri yang mewajibkan dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja, sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplinkan diri kita.

Peraturan demikian itu harus ada di dalam suasana yang merdeka (Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka; cetakan kelima, 2013). Maksud pernyataan tersebut adalah dalam konteks merdeka belajar murid harus mampu mendisiplinkan diri sendiri. Ketika tidak mampu melakukannya pastilah orang lain akan mendisiplinkan (pengelola sekolah/guru).

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Murid yang merdeka harus berdisiplin kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri yang memiliki motivasi internal, yaitu motivasi dari dalam diri sendiri. Bukan orang lain yang mendisiplinkan karena orang lain merupakan motivasi eksternal.

Ki Hadjar juga berpendapat tujuan pendidik dalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka mampu berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, buka ekstrinsik (Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka; cetakan kelima, 2013).

Ada beberapa pendapat tentang kebajikan, antara lain, keadilan, kehormatan, peduli, integritas, kejujuran, pelayanan, keamanan, kesabaran, tanggung jawab, mandiri, berprinsip, keselamatan, kesehatan, tertib, budaya, dan lain-lain.

Pemikiran Ki Hajar Dewantara ini sejalan dengan pemikiran Diane Gossen dalam buku Restructuring School Disipline (2001). Disiplin berasal dari bahasa latin disciplina yang artinya belajar. Dengan kata yang sama disciple artinya murid/pengikut.

Seorang murid harus paham mengapa mereka mengikuti aliran sehingga motivasi yang terbangun berasa dari dalam diri atau motivasi intrinsik, bukan motivasi ekstrinsik. Sekolah merupakan wadah untuk membentuk disiplin murid.

Dalam proses belajar, banyak murid yang melakukan kesalahan, pelanggaran, penyimpangan terhadap peraturan. Harus dipahami dan diyakini istilah peraturan dianggap kurang sejalan dengan nilai kemanusiaan dan diganti dengan keyakinan yang telah disepakati  bersama.

Peraturan identik dengan tata tertib yang dibuat sepihak atau satu arah, misalnya pengelola sekolah atau guru membuat peraturan atau tata tertib. Keyakinan dibuat karena kesepakatan antara dua pihak, terjadi komunikasi dua arah, yaitu pengelola sekolah dan murid.

Untuk mewujudkan nilai universal disiplin di sekolah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Harus berproses dan membutuhkan waktu yang panjang. Harus ada kerja sama dari semua pihak. Guru harus menyadari mengapa di sekolah ada beberapa murid yang melakukan kesalahan, pelanggaran, atau penyimpangan.

Menurut William Glasser, manusia mempunyai lima kebutuhan dasar, yaitu bertahan hidup (survival), merasa diterima (love and belonging), kebebasan (membuat pilihan), kesenangan, dan penguasaan (power).

Apabila di antara lima kebutuhan dasar manusia tersebut tidak terpenuhi akan mendorong seseorang melakukan kesalahan, penyimpangan, atau pelanggaran. Kebutuhan dasar bertahan hidup contohnya makan, rumah, kesehatan, dan rasa aman.

Contoh kebutuhan merasa diterima adalah cinta, kasih sayang, dan perhatian. Contoh kebutuhan kebebasan adalah memberi kesempatan membuat pilihan tanpa intervensi dari pihak lain. Kebutuhan dasar kesenangan contohnya bermain, tertawa, melucu, bergurau, dan mengoleksi barang.

Contoh kebutuhan dasar penguasaan (power) adalah kompeten, terampil, diakui, dan memiliki harga diri. Setiap perilaku manusia pasti memiliki motivasi. Motivasi perilaku manusia ditunjukkan dalam tiga hal, yaitu ntuk menghindari ketidaknyamanan/hukuman; untuk mendapatkan imbalan/penghargaan dari orang lain; dan untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.

Posisi Kontrol

Ketika menghadapi murid yang melakukan kesalahan atau pelanggaran guru harus mampu mengambil posisi kontrol yang tepat. Ada lima posisi kontrol menurut Diane Gossen,  yaitu penghukum, pembuat merasa bersalah, posisi teman, posisi pemantau/monitor, dan posisi manajer.

Posisi kontrol sebagai penghukum ditandai dengan nada suara tinggi, menyindir, menunjuk-nunjuk yang berakibat murid menjadi memberontak dan mendendam. Posisi kontrol sebagai pembuat merasa bersalah ditandai dengan nada tenang dan lembut, namun murid merasa gagal, tidak bisa membahagiakan orang lain, dan menyimpan emosi negatif dalam dirinya.

Posisi kontrol sebagai teman dengan ciri-ciri suara akrab, ramah, bersenda gurau, menunjukkan identitas murid sukses atau berhasil, namun murid tidak mandiri. Posisi kontrol sebagai pemantau/monitor ditandai dengan menghitung data kesalahan murid dan data tersebut digunakan untuk mengontrol murid, ekspresi wajah datar dan normal.

Sedangkan posisi manajer merupakan posisi kontrol yang paling ideal. Posisi manajer membuat murid menjadi mandiri, bertanggung jawab, dan mampu memecahkan masalah sendiri atau mampu mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi.

Posisi ini menunjang untuk memerdekakan murid. Hasilnya akan menguatkan watak/karakter murid. Guru sebagai posisi kontrol manajer harus mampu menerapkan segitiga restitusi. Pertama, menstabilkan identitas. Guru mampu mewujudkan identitas murid dari identitas gagal menjadi identitas sukses atau berhasil.

Kedua, validasi tindakan yang salah. Hal ini ditunjukkan dengan guru mulai bergeser dari stimulus-respons menjadi proaktif. Ketiga, menanyakan keyakinan. Dengan kayakinan murid akan termotivasi secara intrinsik dari dalam dirinya, bukan karena motivasi ekstrinsik yang hanya bersifat sesaat.

Di antara posisi kontrol yang telah disampaikan, restitusi merupakan posisi kontrol yang paling ideal untuk diterapkan guru dalam menghadapi murid yang melakukan pelanggaran atau kesalahan.

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat.

Restitusi menunjukkan identitas murid sukses dan merupakan sebuah pendekatan untuk menciptakan disiplin positif. Restitusi sebagai cara menanamkan disiplin positif menjadi bagian dari budaya positif di sekolah.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Agustus 2023. Penulis adalah guru SMPN 1 Andong, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya