SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Joko Suyono
Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS)

Sampai saat ini, upaya untuk meningkatkan taraf hidup yang layak bagi pekerja masih sebatas retorika, belum banyak upaya nyata yang dilakukan, baik oleh pemerintah, pengusaha, bahkan para pekerja sendiri. Pemerintah selama ini cenderung merepresentasikan kepentingan pengusaha dibandingkan kepentingan pekerja.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Tengok saja, selama Orde Baru berkuasa, dengan mengedepankan stabilitas politik, upaya menyampaikan tuntutan  para pekerja dalam bentuk mogok kerja misalnya, menemui jalan buntu. Berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat (dalam hal ini, termasuk mogok kerja) yang merupakan hak paling mendasar yang dijamin konstitusi para pekerja dilarang. Kekawatiran pemerintah pada saat itu bisa kita anggap berlebihan.

Sewaktu T. Mulya Lubis salah seorang pegiat Lembaga Bantuan Hukum-Jakarta (LBH-Jakarta) akan melanjutkan studi ke Amerika Serikat mendapat ganjalan ijin dari pemerintah. Hal ini karena lembaga tersebut sangat dikenal memihak kaum pekerja dan memberikan dorongan para pekerja untuk menyampaikan tuntutan-tuntutannnya dengan mogok kerja. Bahkan Gus Dur sempat menyampaikan keberatannya kepada Benny Moerdani yang pada saat itu menduduki jabatan Menhankam (dalam Benny : Tragedi Seorang Loyalis oleh Julius Pour tahun 2007).

Era reformasi membawa angin perubahan ke arah lebih baik terkait hak para pekerja untuk menyampaikan tuntutannya. Dalam hal ini, siapapun tidak dapat menghalang-halangai pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai dan siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukkan mogok kerja secara sah, tertib dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tantangan
Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945. Hal ini seharusnya sudah menjadi kewajiban negara (dalam hal ini pemerintah yang berkuasa) untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja. Jika kita mencermati Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebetulnya sudah cukup memadai dalam upaya memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Namun dalam pelaksanaannya, dengan sistem pemerintahan sekarang ini yang dikuasai elit-elit politik, sangat sulit bahkan langka mendapatkan pemerintah yang memihak kepada kepentingan rakyat. Meskipun banyak partai politik yang meng-klaim pro kerakyatan, namun pada kenyataannya, sebagian besar elit partai bukan berasal dari para pekerja. Dengan demikian, mudah ditebak, saat yang bersangkutan menjadi wakil rakyat di parlemen, bukan kepentingan konsituen yang diperjuangkan namun lebih pada kepentingan partai (lebih jelasnya kepentingan elit partai). Apa yang dijanjikan pada saat kampanye, itu baru sebatas retorika politik semata (seperti dalam lagu Bob Tutupoly, “memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata…”).

Pemerintah melalui kementerian terkait sebagai otoritas yang paling tinggi untuk memikirkan kesejahteraan para pekerja, belum melakukan upaya yang selayaknya. Hal ini bisa dipahami, disamping tidak memiliki program kerja yang jelas terkait dengan para pekerja, jabatan publik (terlebih jika menteri terkait berasal dari partai politik) selama ini dipegang oleh person yang tidak memiliki kepekaan yang tinggi pada masalah tenaga kerja.

Salah satu upaya yang dilakukan pekerja untuk menyampaikan tuntutannya adalah dengan mogok kerja. Namun demikian, upaya ini belum mencapai hasil yang diinginkan para pekerja.  Hal-hal krusial yang menjadi penyebab kegagalan adalah : pertama, mogok kerja yang dilakukan para pekerja masih bersifat sporadis; kedua, isu-isu yang diangkat belum mencerminkan kondisi obyektif para pekerja secara keseluruhan.

Upaya
Untuk memperjuangkan kepentingan para pekerja diperlukan langkah-langkah yang lebih mendasar, tidak sebatas melakukan mogok kerja. Dalam hal ini, mungkin kita perlu meminjam istilah kaum kiri jika menyangkut kepentingan para pekerja, yaitu perlunya langkah-langkah yang  progresif revolusioner. Langkah-langkah tersebut harus sistematis sehingga dapat memperjuangkan kepentingan para pekerja secara integratif dan komprehensif.

Salah satu upaya para pekerja untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih tinggi adalah dengan berkoalisi dalam serikat pekerja (dalam Organizational Behavior oleh Stephen P. Robbins tahun 2005). Koalisi ini tidak hanya sebatas dilakukan dalam satu perusahaan atau organisasi, namun dapat dilakukan konteks yang lebih luas, yaitu koalisi secara nasional.

Pertama. Untuk saat ini, perlunya satu suara dalam menyampaikan aspirasi politik melalui partai politik yang dinilai mempunyai keberpihakan yang jelas pada para pekerja. Hal ini dilakukan dengan berusaha mengajukan dan memperjuangkan wakil-wakil para pekerja menjadi wakil rakyat di parlemen. Ke depannya, perlu diwacanakan untuk membentuk partai pekerja. Di beberapa negara, partai yang merepresentasikan kepentingan para pekerja mampu mendapatkan suara mayoritas di parlemen, misalnya Partai buruh di Inggris.

Selama ini, partai politik yang mencoba menggunakan atau mengatasnamakan para pekerja, seperti partai buruh misalnya, tidak berhasil mendapatkan massa dari para pekerja. Hal ini disebabkan beberapa hal, seperti : a) Pendirian partai politik tersebut dilakukan secara instan, tidak dilakukan secara bertahap terencana mengikuti kesadaran politik para pekerja. b) Belum adanya figur yang tepat untuk memimpin partai pekerja. Dalam masyarakat yang paternalistik, diperlukan pemimpin yang memiliki integritas kuat dan komitmen tinggi pada kepentingan pekerja (perlu kerja keras tersendiri mengingat sulitnya mencari sosok tersebut). c) Belum adanya agenda dan program kerja yang jelas sehinga mampu meyakinkan pengikutnya akan membawa pada masa depan yang lebih baik.

Kedua. Perlunya mendorong pemerintah untuk memilih pejabat publik, terutama yang menangani kepentingan pekerja, yang berlatar belakang dari serikat pekerja atau minimal dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dikenal luas mempunyai keberpihakan yang jelas pada kepentingan pekerja. Dengan menempatkan person tepat pada jabatan yang sesuai (the right man on the right place), diharapkan akan dapat mengembangkan program kerja yang dapat meningkatkan kesejahteraan para pekerja dan keluarganya secara nyata.

Perlu diingat kata bijak para pendiri bangsa kita : “Sebaik apa pun ketentuan-perundangan yang dibuat, pada akhirnya tergantung pada siapa yang melaksanakan”. Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memastikan bahwa setiap warga negara melaksanakan tugasnya sesuai dengan yang disyaratkan, termasuk para pekerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya