SOLOPOS.COM - Jafar Sodiq Assegaf (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Rokok  terus dikampanyekan sebagai musuh dunia. Isu kesehatan menjadi basisnya. Beragam riset dilakukan untuk mendapat persepsi yang meyakinkan. Rokok bisa saja dipersepsikan merusak kesehatan, tapi tembakau jangan dipersepsikan demikian.

Tembakau adalah salah satu tanaman paling bernilai di dunia. Nicotiana tabacum adalah tanaman yang dipuja dalam peradaban suku asli Amerika jauh sebelum abad XV. Ahli botani asal Swiss, Augustin Pyramus de Candolle (1778-1841), mencatat tanaman ini dibawa ke Eropa setelah ekspansi koloni Christopher Colombus ke Amerika pada akhir era 1480-an.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Portugis sebagai salah satu kekuatan terbesar Eropa membawa tanamanan berharga ini ke wilayah-wilayah yang dijelajahi. Nusantara salah satunya. Pada masa awal penanaman, tembakau hanya dipetik untuk kebutuhan orang Eropa.

Ketika Belanda berkuasa di Nusantara, kebijakan perkebunan berubah total. Catatan B.H.M. Vlekke dalam artikel Lets Over de Tabakskultuur op Java menjelaskan pada dua dasawarsa awal abad XVII tembakau sebagai tanaman pengobatan menjadi sangat tersohor di Eropa dan Asia.

Praktisi pengobatan di Inggris, Edmund Gardiner, yang menulis The Trial of Tobacco pada 1610 menjelaskan manfaat tembakau yang istimewa dalam semua pengobatan,  petunjuk pemakaian, dan bagi siapa paling bermanfaat.

Pada 1650 VOC mengalihfungsikan beberapa kawasan di Nusantara menjadi perkebunan tembakau. Beberapa daerah itu adalah Kedu, Bagelen di Purworejo, Malang, dan Priangan.  Penanaman tembakau berkembang pesat pada  era Mataram dan pascaperiode tanam paksa.

Ketika Raffles menjadi Gubernur Jenderal pada 1811-1816, tanam paksa diberlakukan. Salah satu tulang punggung tanam paksa adalah tembakau. Jenis tembakau yang masif ditanam untuk kebutuhan ekspor kala itu adalah Vorstenland.

Tembakau jenis ini dikenal sebagai bahan baku cerutu. Tembakau ini tumbuh subur di Jember, Klaten, dan Boyolali. Tembakau jenis ini sebenarnya berbeda dengan yang ditanam masyarakat akar rumput di Jawa Tengah.

Di Jawa Tengah, tembakau dikonsumsi sebagai tanaman obat-obatan sebelum kedatangan Portugis. Varietas tembakau Jawa ditanam sebelum kolonialisme memperkenalkan cara menikmati tembakau dengan diisap. Pada tahun-tahun awal abad XVI belum ada gagasan tentang budi daya tanaman tembakau.

Tembakau lokal ditanam penduduk untuk dikonsumsi sendiri. Tembakau dipakai penduduk untuk dibuat rokok atau dikunyah begitu saja setelah mengunyah sirih. Masyarakat di lereng Gunung Sindoro, Sumbing, dan Prau percaya tanaman ini adalah bagian dari warisan peradaban.

Tanaman ini seolah-olah seperti benih yang turun dari langit untuk dipakai sebagai obat. Persepsi ini muncul dari cerita rakyat mengenai tokoh legendaris bernama Ki Ageng Makukuhan. Konon pada zaman Walisanga ada tokoh spiritual bernama Ki Ageng Makukuhan yang diberi benih tanaman oleh Sunan Kalijaga.

Benih ini belum memiliki nama dan bisa menjadi penyembuh. Ki Ageng Makukuhan menamai tanaman itu tambaku yang berarti obatku. Menurut kepercayaan sebagian masyarakat di lereng Gunung Sindoro, Sumbing, dan Prau inilah cikal bakal penamaan tembakau.

Pada akhir abad ke-19 ada satu lagi testimoni soal tembakau sebagai tanaman pengobatan. Tokoh masyarakat Kudus, Jawa Tengah, Haji Djamhari, mengobati penyakit sesak napas dengan tembakau. Cerita ini dikenal sebagai awal mula rokok kretek.

Setelah cerita-cerita tersebut, tembakau yang digulung dan diisap berevolusi. Sebagian pabrik rokok modern menambahkan banyak elemen lain ke dalam rokok yang menjadi musuh kesehatan.

Barangkali karena inilah dunia post-modern kini terus memperluas perlawanan terhadap rokok. Kampanye antirokok menjadi masif di semua sektor kehidupan. Salah satu dampak dari perlawanan ini adalah tingginya disinsentif seperti nilai cukai.

Industri barangkali terbebani, tapi petani tentu yang paling rugi. Tingginya cukai rokok membuat pabrik menekan harga bahan baku. Hal ini masuk akal lantaran semua instrumen pengeluaran pabrik seperti gaji pegawai, harga kertas pembungkus, dan lain-lain sudah ada standarnya.

Petani yang merugi dalam kurun dua tahun terakhir mengurangi bertanam tembakau. Masalah baru muncul. Untuk mempertahankan keberlanjutan industri, pabrik rokok memperbesar impor tembakau.

Dependensi terhadap petani dalam negeri semakin anjlok. Area tanam berkurang. Tembakau tak lagi menjanjikan. Ketika pabrik tak lagi menguntungkan, petani tembakau harus didorong untuk berdikari.

Salah satu solusinya diinisiasi masyarakat di Bansari, Temanggung. Masyarakat menciptakan peluang pasar sendiri lewat lembutan. Lembutan ini sebenarnya sudah dikenal sejak lama lewat istilah tingwe atau nglinting dhewe.

Ini adalah cara meracik tembakau mandiri dengan dilinting secara manual. Memang merepotkan, namun tingwe adalah produk yang komposisinya dapat dikendalikan dan dipantau sendiri. Bagi petani, tingwe adalah asa baru yang membuat mereka merasa menjadi pemilik dan pengusaha atas hasil pertanian mereka sendiri.

Petani lebih bisa mengendalikan harga jual dibanding hanya memenuhi kebutuhan pabrik rokok besar sembari berharap harga tidak terus ditekan. Tingwe menghubungkan petani langsung ke konsumen yang tak sekadar membeli, namun juga menganggap tembakau sebagai produk bercita rasa tinggi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Agustus 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya