SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Saya sungguh merasa tersentak tatkala membaca berita utama di  halaman depan (headline) Solopos edisi 19 Desember 2022 bertajuk Bangkitkan Lagi Romantisme Taman Tirtonadi (ejaan baku bahasa Indonesia: romantisisme).

Ketersentakan saya bukan kenapa-kenapa, hanya karena itu melayangkan lamunan parah saya ke masa takala duduk di bangku taman pinggir kanal di Kota Amsterdam, Belanda, satu dasawarsa lalu.

Promosi Mabes Polri Mengusut Mafia Bola, Serius atau Obor Blarak

Saat itu saya membayangkan seandainya Taman Tirtonadi di Kota Solo yang lokasinya tepat di tepi sungai (kata Pak Gesang itu) didandani seelok mungkin pasti tak bakal kalah dengan taman di negeri Belanda yang saya saksikan kala itu.

Saya bukan seorang arsitek yang selalu punya impian merancang suatu kota sebagaimana dikatakan Philip Cortelyou Johnson (1979). Meski demikian, bolehlah saya berangan-angan seperti arsitek perkotaan kelahiran Clevelandm, Ohio, Amerika Serikat itu.

Sebagai peneliti lirik lagu (terutama keroncong), saya pernah membandingkan Langgam Tirtonadi karya Gesang Martohartono dengan San Francisco karya Scott McKensie. Ada nuansa kedamaian yang sama.

Gambaran tentang nilai-nilai kemanusiaan yang berkelindan dengan alam semesta yang menakjubkan. If you’re going to San Francisco. You’re gonna meet some gentle people there (Jika kau pergi ke San Francisco. ‘Kan kau jumpai insan-insan peramah di sana). Begitu kata McKensie.

Nun di sana tempatnya rakyat sluruhnya. Melepaskan lelahnya, hibur hatinya. Begitu menurut Gesang. Pembangunan kembali kawasan Tirtonadi, karenanya, merupakan langkah strategis Pemerintah Kota Solo sekaligus menunjukkan kesadaran wali kota akan pentingnya identitas kota.

Sebuah kota, niscaya, harus memiliki ”jiwa”, yang hanya bisa diungkapkan melalui pengejawantahan kembali secara dinamis-kreatif-inovatif dengan idiom atau ungkapan baru yang mewakili kekinian (lihat: Budihardjo, 2014).

Kevin Lynch (1975), dalam karya klasiknya The Image of the City, menyebut ada tiga komponen pembentuk citra kota. Pertama, identitas dari objek. Kedua, struktur yang saling terkait dan berkesinambungan antara objek dan pengamat. Ketiga, makna yang terserap oleh pengamat secara fisik fungsional dan psikis emosional.

Pembangunan kembali Taman Tirtonadi berpotensi menggugah psikis emosional masyarakat Kota Solo dan masyarakat Indonesia yang mengenal Langgam Tirtonadi ciptaan Gesang tahun 1942 itu. Yang populer, yang memikat, yang mengkilat, pada zamannya.

Taman Tirtonadi yang berlokasi di bantaran Kali Anyar (sebelah utara Terminal Tirtonadi), berarsitektur Pura Mangkunegaran itu, layak dimasukkan dalam kategori listed building. Ini adalah bangunan yang wajib dikonservasi.

Bangunan kategori ini layak diperlakukan sebagai karya arsitektur yang menggenggam asas trinitas, yaitu vitruvius-firmitas (kekokohan), utilitas (fungsi), dan venutas (keelokan). Kelak layak ditampilkan sebagai– meminjam istilah Philip Kotler– market driving.

Penciptaan pemasaran pariwisata baru, kekinian, yang kelak juga bisa diwariskan kepada anak dan cucu pada masa mendatang. Bukankah ada pakar arsitektur Barat yang mengatakan architecture is archeology of the future?

Jika kini Pemerintah Kota Solo sedang gandrung membangkitkan romantisisme lama, adakah yang salah? Setelah Taman Titronadi lalu Taman Pracima, bisa saja terus berlanjut Taman Jurug, dan entah mana lagi. Bukan hanya taman, tapi juga bangunan-bangunan kuno.

Romantisisme bukan semacam virus penyakit yang layak dihindari, tapi justru harus terus dihidupkan dan diwujudkan. Bangunan-bangunan lama harus dilestarikan. Ingat kata perencana kota yang masyur, Leister, bahwa  a town without old buildings is like a man without memory.

Ini sebuah ungkapan yang menohok. Kita tentu tak ingin disebut sebagai orang edan, kecuali kedanan (terhadap bangunan kuno tinggalan leluhur). Yang perlu diingatkan barangkali adalah soal kesadaran terhadap masalah lingkungan.

Tetap menjaga harmonisasi antara pembangunan dan penduduk agar saling mendukung dan tukar manfaat. Dalam semboyan The Three Musketiers (dari Les Trois Mousquetaires, novel karangan Alexandre Dumas) dikatakan one for all, all for one. Untuk itulah, diperlukan sebuah rumusan yang jitu.

Kepuasan Batin

John Rennie Short (2014) dalam Urban Theory, A Critical Assessment mewanti-wanti agar para pengelola kota selalu peka tehadap masalah lingkungan. Kekurangpekaan hanya akan melahirkan yang disebut sebagai ”kota yang babak-bundhas” alias terluka (wounded cities). Itu terjadi di kota-kota negara berkembang.

Dalam kacamata arsitek dan budayawan Eko Budihardjo (almarhum), kota adalah sebentuk karya seni sosial warganya. Kota yang sumpek akan membuat kelakuan warganya seperti binatang buas yang beringas.

Para wali kota mesti pandai-pandai memanfaatkan keberagaman potensi warga kotanya agar berkiprah lebih bebas, lebih bergairah, berkreasi tanpa pemasungan birokrasi. Peringatan yang sama juga diberikan oleh Peter G. Rowe (2005).

Ia membahas tentang kecenderungan anomali, terutama pada kota-kota di Asia Tenggara, yang menampilkan wajah modern, namun semakin meretakkan kohesi sosial, memperlebar jurang kesenjangan, semakin memupuk individualisme, yang pada gilirannya bukan tidak mungkin kelak meningkatkan environmental stress dan kriminalitas.

Syukur alhamdulillah Pemerintah Kota Solo rupanya sangat menyadari hal itu. Sejauh ini respons masyarakat juga bagus. Tak ada gejolak masyarakat saat berbagai kawasan dibangun kembali, direnovasi, dipoles, didandani.

Yang ada justru harapan yang besar, Kota Solo akan menjadi kota pariwisata yang semakin diperhitungkan dalam daftar destinasi wisata nasional maupun internasional. Tugas pokok dinas urusan pariwisata tinggal dua hal.

Pertama, bagaimana membangun rangkaian antarorganisasi (inter-organizational set). Kedua, membangun jaringan antarorganisasi (inter-organizational network). Sebuah konsep dasar teoretis tentang pengembangan kepariwisataan yang lumrah terjadi di manapun.



Pada aras domestik nama Solo sudah memiliki modal kapital yang kuat untuk menghidupkan romantisisme. Tengok saja, berapa lagu yang menyebut Solo. Ada Bengawan Solo, Kota Solo, Putri Solo, Solo di Waktu Malam, dan ada beberapa lagi. Barangkali Solo terbanyak darinama-nama kota di seluruh Indonesia yang disebut dalam lagu.

Secara historis terkait dengan kearifan lokal atau local genius dalam khazanah budaya Jawa, dalam lagu dolanan Sluku-Sluku Bathok misalnya, ada penggalan lirik “Si Rama menyang Solo…” Kenapa tak ke Jakarta atau Surabaya yang kota besar? Tentu ada pesan-pesan khusus di balik lagu itu yang bisa dionceki, dikupas tersendiri.

Kota Solo punya dua keraton dan punya bengawan. Dua hal yang tak dimiliki oleh kota-kota lain di Indonesia. Jika kemudian Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sangat yakin dengan 13 prioritas pembangunan Kota Solo (Solopos, 1 Desember 2022) untuk menggeber bidang pariwisata dan sangat bangga dengan logo baru Solo Spirit of Java, lalu di mana salahnya?

Dengan upaya yang sungguh-sungguh, kerja keras, penuh semangat, yakinlah produk wisata Kota Solo akan membuahkan pengalaman yang paripurna bagi wisatawan, sebagaimana dikatakan Medlik dan Middleton (1973), yaitu sejak meninggalkan rumah hingga kembali ke rumah dipenuhi kepuasan batin. Semoga!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 31 Desember 2022. Penulis adalah doktor bidang kajian seni, sastrawan, esais, dan budayawan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya