SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Perempuan itu, seorang ibu, menyampaikan keluhan persis seperti yang disampaikan sejumlah mahasiswa saya ketika mempresentasikan tema esai untuk ujian akhir semester. Temanya adalah tentang masjid dan keresahan mereka.

Saya tertegun mendengar nada mendesak dari perempuan itu dan memperhatikan orang-orang di sekitar saya yang mulai terpengaruh dengan kekuatan protes dan pertanyaan yang ia ajukan. Ruangan kami hening.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

“Tolong katakan pada pengelola masjid, jangan lagi ada larangan anak masuk masjid karena berisik sebab dulu pun saya berisik sekali ketika di masjid. Bagaimana mungkin anak-anak tidak berisik? Dan kalau pun anak-anak tidak boleh bermain di tempat ibadah mereka sendiri, apakah mereka harus bermain di tempat ibadah orang lain? Pertanyaan saya ini logis kan teman-teman? Logis kan? Apakah kita akan menjauhkan anak-anak itu dari kultur religius mereka, dari masjid?”

Ibu itu adalah salah seorang peserta diskusi yang saya dan teman saya gelar belum lama ini. Dari soal masjid dan anak-anak yang berisik, diskusi berkembang menjadi perihal masjid di masa lalu dan masjid di masa kini.

Barulah saya menyadari bahwa banyak hal dari masjid yang telah berubah tanpa benar-benar saya pahami. Diskusi itu memaksa saya berpikir.
Berbagai persoalan yang menghinggapi masjid yang disampaikan para peserta diskusi membuat saya bertanya-tanya akan dibawa ke mana masjid pada masa depan nanti.

Sebuah pertanyaan hinggap di kepala. Masjid yang meninggalkan anak-anak ataukah anak-anak yang meninggalkan masjid?

Diskusi pada hari itu diikuti tujuh peserta, termasuk saya. Perbedaan usia kami tidak begitu jauh, lahir pada 1970 dan 1980-an dan kami semua yang berada di ruangan itu memiliki anak.

Perkataan si ibu tadi memaksa kami memanggil masa lalu kami – saat masjid belum menggunakan AC, pintu ditutup dan bisa dibuka kapan saja, orang-orang asing tiduran di masjid, anak-anak berlarian, saya yang membawa banyak penganan kecil di saku atau di plastik kecil dan membukanya begitu salam terakhir terdengar.

Saya juga ingat bahwa saya adalah anggota jemaah masjid yang berisik dan seperti halnya saya – teman-teman saya yang sering membawa snack atau kue ke masjid sama berisiknya. Kami sering bertukar penganan saat bermain ke masjid dan terkadang pertukaran snack itu berlangsung bahkan ketika salat belum berakhir sempurna.

Saat ini, ketika masjid ber-AC, seringkali terkunci ketika bukan waktu salat demi alasan keamanan, sunyi, dan di beberapa lokasi begitu eksklusif karena dikuasai kelompok tertentu yang bahkan bukan warga sekitar (situasi ini membuat saya tak habis pikir karena warga sekitar pun kesukaran mengakses masjid di dekat rumah mereka), tentu saya mulai berpikir ulang. Kenapa yang demikian terjadi?

Dalam tiga kali diskusi sejenis yang saya dan teman saya gelar, hampir semua peserta mengatakan perihal begitu banyaknya masjid di negeri kita ini. Jumlahnya naik berkali-kali lipat dibandingkan ketika masa kecil kami dulu.

Dengan banyaknya masjid seharusnya masyarakat sekitar tidak susah beribadah di masjid bukan? Namun, kenapa yang terjadi justru perebutan akses tempat ibadah antara warga sekitar dengan orang asing?

Saya ingat sebuah ungkapan bahwa semakin kaya Anda maka akan semakin sibuk Anda menjaga dan memelihara kekayaan Anda. Logika senada saya gunakan pada masjid. Membangun sama dengan mengelola dan memelihara. Semua itu adalah satu kesatuan.

Faktanya yang terjadi tidak selalu demikian. Semangat mendapatkan pahala setinggi-tingginya lewat pembangunan masjid tidak diikuti semangat pengelolaan dan pemeliharaan yang sama besarnya. Dengan banyaknya masjid sepi alias masjid tak makmur – keberlimpahan tempat ibadah ini pada akhirnya menimbulkan sejumlah persoalan.

Sebuah organisasi Islam besar di negeri ini bahkan membuat bidang khusus untuk mendata kembali masjid-masjid miliknya yang berasal dari tanah wakaf, sementara di tempat lain warga akhirnya bersatu-padu meminta orang-orang asing yang menguasai masjid mereka pergi.

Persatuan warga ini muncul karena bahkan untuk menyemayamkan warga yang berbeda aliran agama (meski masih satu agama) di masjid saja menjadi sulit!
Yang mencemaskan, orang-orang asing “penguasa” masjid tak makmur ini teridentifikasi sebagai orang-orang yang ekstrem dalam urusan beragama, yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam mempertahankan pandangan mereka.

Saya ingat perkataan seorang anggota jemaat masjid, seorang remaja, yang tidak mau lagi berurusan dengan masjid ketika melihat orang yang sering mengayun-ayunkan pedang di masjid. Anak itu ketakutan. “Kenapa mereka membawa pedang?” begitu tanyanya.

Andai ibu yang memprotes pengelola masjid itu tidak berkata-kata lagi, saya mungkin masih tenggelam dalam lamunan saya. Namun, suara dan kalimatnya yang kritis lagi-lagi membuat kami tercengang. Setelah memprotes pengelola masjid yang melarang anak masuk masjid, ibu tadi membuat pengakuan yang sama-sama mengejutkan.

Begini kata dia, “Saya tidak tahu bagaimana awalnya, teman-teman, tapi, anak saya tiba-tiba mengatakan darah orang nonmuslim halal. Begitu terkejutnya saya saat mendengar itu. Ternyata, remaja asing yang kami izinkan menginap di masjid mencekoki anak-anak kami dengan film-film kekerasan yang temanya penganiayaan terhadap orang muslim. Repot juga ketika remaja asing kami izinkan mengelola masjid, namun di sisi lain dia memengaruhi anak-anak kami dengan paham ekstrem.”

Apalagi ini? Begitu batin saya. Begitu sangat dilematiskah posisi menjaga jutaan masjid di negeri ini yang jumlahnya masih akan terus bertambah pada masa depan.

Perubahan kultur masjid yang terpusat, masjid jami untuk tempat Salat Jumat, misalnya, menjadi semua masjid bisa untuk Salat Jumat sekarang ini, rupanya telah melangkah begitu jauh.

Pengelolaan yang lemah menandai bagaimana perebutan pemberian makna di ruang publik terjadi dalam lingkungan muslim yang sungguh berwarna-warni aliran maupun pemahamannya. Upaya perebutan itu begitu terlihat jelas dan dengan gesekan yang tajam.

Namun, saya membatin lagi, jangan-jangan ruang publik alias masjid sendiri bukanlah ruang publik yang saya pahami seperti masjid pada saat saya kecil dulu. Jangan-jangan definisi ruang publik itu pun telah berubah, ikatan masjid pada kultur memang sudah sangat longgar sehingga masjid kini berdiri sendiri sebagai tempat khusus sembahyang dan mengaji.

Masjid menjadi kurang familier dengan konsep toleransi kecuali masjid wisata yang memang benar-benar ramah pada semua orang. Bayangan Masjid Raya Sheikh Zayed melintas di kepala saya.



Kemacetan di jalan-jalan sekitar masjid karena dipenuhi puluhan ribu orang yang hendak berwisata regili, baik muslim dan bahkan nonmuslim, adalah contoh masjid yang toleran saat ini.

Lalu impian orang-orang yang ingin menggelar akad nikah di masjid dengan membayar minimal Rp4 juta hadir di memori saya. Di Masjid Zayed, tidak ada tulisan no entry for nonmoslem seperti masjid-masjid bersejarah di sejumlah daerah.

Jadi, bagaimana kini saya memaknai ruang publik masjid pada masa kini?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Februari 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya