SOLOPOS.COM - R. Bambang Aris Sasangka (Solopos/Istimewa)

Kata salty saat ini banyak bermunculan di komentar-komentar yang menyertai unggahan di media sosial atau di komentar yang menanggapi suatu unggahan. “Gimana ini? Tapi tolong jangan salty ya!” atau “Duh, kenapa komennya pada salty sih? Kan ini guyonan,” begitu kata itu sering dipakai.

Salty kalau diartikan secara harfiah adalah “mengandung garam.” Namun dalam perkembangan kebahasaan khususnya bahasa pergaulan, “garam” ini kemudian diplesetkan “geram.” Lalu “salty” pun jadi biasa dipakai untuk menggambarkan sikap yang nyinyir, sinis, atau dalam bahasa Jawa “sengak,” karena geram dengan sesuatu. Kalau di media sosial munculnya dalam wujud komentar-komentar yang bernada menghakimi (judgmental) atau sok bijak namun sebenarnya sinis dengan niat menyerang atau menjatuhkan.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Nah, sikap salty ini dalam pengamatan penulis pemicunya macam-macam. Beda generasi atau pola pikir misalnya, bisa memicu sikap salty yang lantas juga terlihat di media sosial. Beraneka konten yang diunggah di media sosial bisa memicu sikap salty bagi sebagian penanggap yang memberikan komentar atas unggahan itu.

Salah satu contohnya adalah konten video wawancara Youtuber dan Tiktoker Danang Giri Sadewa, atau juga dikenal dengan nama akunnya Thesadewa, dengan mahasiswi baru Universitas Gadjah Mada. Danang ini memang biasa membuat konten soal dunia mahasiswa, dan di masa penyelenggaraan kegiatan pengenalan kampus bagi mahasiswa baru belum lama ini dia pun membuat sejumlah konten wawancara dengan mahasiswa baru di sejumlah universitas.

Nah dalam konten wawancara dengan mahasiswa baru itu, Danang mewawancarai dua mahasiswi baru UGM. Mereka ditanya apakah susah masuk UGM. Salah satu mahasiswi itu, belakangan terungkap namanya adalah Abigail Manurung, dengan gaya gojekan menjawab “emang karena pinter sih.” Lantas dia bergaya kaget dan melontarkan kata yang kini jadi viral yaitu “Berchandyaaaaaa…. berchyandyaaaaaaaa….!”

Nah ternyata tayangan video itu di akun Instagram @thesadewa mendapat sejumlah jenis tanggapan. Banyak yang rupanya salty dengan bilang “eh jangan sombong” dan sebagainya. Sebagian lagi ada yang lantas mengritik para penanggap yang dinilai bersikap salty itu. “Eh adik ini hanya guyonan, kenapa ditanggapi salty sih?” begitu rata-rata orang yang menanggapi komentar salty yang ada.

Sikap salty ini juga bisa dijumpai di berbagai sudut kehidupan dan interaksi yang lain. Dalam interaksi antarmanusia secara langsung pun orang yang salty pasti langsung kelihatan. Orang yang pesimistis, selalu melihat masalah dalam setiap solusi, ragu, dan sebagainya, cenderung jadi orang salty. Tak heran kalau ada juga video yang sempat viral juga ketika dalam sebuah karnaval ada orang yang mengenakan kostum pocongan dan keranda, lalu mengayuh sepeda. Di keranda itu ada tulisan “tukang maido mati neng kuburan mangkat dhewe” alias “orang yang suka mencela kalau meninggal akan berangkat sendiri ke makamnya (karena enggak ada orang yang suka sama dia).”

Jangan salah juga, orang yang “relijiyes” (religius) bisa juga jadi salty kalau dia merasa punya penguasaan ilmu agama yang “lebih” dari yang lain. Atau dia terjebak ke dalam pemikiran untuk wajib berlaku amar makruf nahi mungkar atau menegakkan kebenaran dan memerangi ketidakbenaran. Dengan pemahamannya itu dia akan senantiasa bersikap sebagai “korektor” sikap dan perilaku orang lain yang dinilainya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Repotnya, yang terjebak ke dalam pemikiran ini seringnya suka main tabrak saja, tidak peduli kondisi, tidak “empan papan.”

Contoh aktual orang yang seperti ini adalah guru sebuah SMP di Lamongan, Jawa Timur, yang menggunduli rambut sejumlah siswinya karena mereka dianggapnya tidak patuh karena tak menggunakan kain pelapis di bawah kerudung atau jilbab untuk menutupi rambut. Di matanya, hanya nilai kebenaran seperti yang diyakininya sajalah yang harus ditegakkan. Dia tak peduli begitu banyak kondisi lain yang juga harus diperhitungkan. Dia juga mungkin tidak peduli atau tidak punya ingatan dan pemahaman bahwa bahkan Rasulullah Muhammad SAW sendiri adalah sosok yang paling peduli dengan orang lain, bahkan meski orang lain itu menyakiti dirinya.

Tak heran, sikap salty orang yang merasa diri “relijiyes” itu lantas sering juga ditanggapi dengan sikap salty juga dari orang lain yang geram. Ungkapan “salah pengajian” jadi sering dipakai untuk menyentil orang-orang salty yang berselimut religi atau “hyper-religious” itu.

Saya belum tahu, bakal se-“salty” apa orang-orang nanti ketika situasi politik menjelang tahun pemilu 2024 makin dekat. Banyak pakar yang sudah mengingatkan jangan sampai polarisasi atau pengkutuban atau pengkubuan parah akibat politik yang terjadi pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 terjadi lagi pada 2024 nanti. Padahal kalau mau melihat dunia politik di Indonesia, sebenarnya kita-kita ini yang bukan orang politik tidak usahlah terlalu serius memandang percaturan itu.

Politik di Indonesia adalah contoh paling sempurna soal bagaimana kepentingan sajalah yang abadi, perkawanan dan persekutuan serta bendera ideologi partai hanyalah gincu “kanggo pantes-pantes.” Yang habis bertarung sengit bisa jadi teman semeja berbagi nasi. Yang tadinya mesra bisa pecah berpisah bergandengan dengan pihak lain yang kepentingannya sama.

Karena itu kalau bicara politik dan yang lainnya enggak usah jadi salty karena di dunia ini tak ada yang abadi. Berchyandyaaaaaaaaa sajaaaaaaaa…!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya