SOLOPOS.COM - Benni Setiawan (FOTO/Dok)

Benni Setiawan (FOTO/Dok)

Alumnus Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Jogja

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Pengeras suara masjid digugat. ”Gugatan” itu dikemukakan Wakil Presiden Boediono. Dalam forum Dewan Masjid Indonesia beberapa waktu lalu, Wapres Boediono menyatakan imbauan untuk melirihkan atau mengatur pengeras suara masjid saat azan dan pengajian. Pernyataan Wapres ini menimbulkan pro dan kontra.
Bagi pendukung pernyataan Wapres, apa yang disampaikannya merupakan imbauan atas nama toleransi kehidupan beragama. Suara azan dan pengajian yang berpengeras suara dapat menimbulkan suasana yang kurang nyaman bagi pemeluk agama lain.
Tidak aneh jika sekelompok anak muda di Yogyakarta menerbitkan buku Masjid Tanpa Toa. Masjid setara dengan tempat ibadat lain seperti gereja, vihara, pura dan kelenteng yang sunyi dan jauh dari gegap gempita suara.
Namun, hal tersebut ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Bagi mereka, pernyataan Wapres itu yang kini menimbulkan kegaduhan publik. Pasalnya, selama bertahun-tahun suara azan berpengeras suara tidak menimbulkan persoalan atau mengganggu kehidupan umat beragama.
Suara azan adalah syiar dan panggilan bagi umat Islam untuk menunaikan salat lima waktu yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim.        Dua hal yang bertolak belakang tersebut sudah saatnya tidak menjadi benih perpecahan dalam diri umat.
Tajuk rencana SOLOPOS edisi Rabu (2/5) dengan tegas menyatakan bahwa semua pihak harus menghormati setiap pendapat dan berpikir dengan kepala dingin. Tajuk tersebut seakan kembali menegaskan suara pojok media Nuwun Sewu SOLOPOS edisi Senin (30/4): Wakil Presiden Boediono: Pengeras suara azan di masjid perlu diatur agar terdengar sayup-sayup dan tidak terlalu keras. Suara keras saja masih ada yang ”tidak mendengar”, apalagi sayup-sayup.
Azan merupakan seruan kepada umat Islam untuk segera berkumpul di masjid. Suara azan tidak hanya merupakan seruan untuk melaksanakan salat berjemaah namun pengingat bagi muslimin untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat baik kepada umat manusia. Demikian pula dengan pengeras suara saat pengajian. Ia merupakan syiar bagi agama dakwah seperti Islam.

Persaingan Kekuasaan
Pakar peradaban Islam Marshall GS Hodgson dalam karya klasiknya The Venture of Islam, Conscience and History in a World Civilization mengemukakan bahwa dalam sejarah Islam masjid selalu menjadi pusat aktivitas masyarakat.
Di mana pun umat Islam menguasai sebuah kota, masjid akan didirikan di sana. Sebagai pusat aktivitas masyarakat, masjid memang telah melampaui fungsi utamanya sebagai tempat untuk bersujud. Konsekuensinya, masjid tidak bisa lepas dari keterlibatan dengan fenomena sosial dan politik.
Bahkan pada masa dinasti dan kerajaan Islam, masjid pernah menjadi pusat politik penguasa. Para sultan dan penguasa Islam dalam banyak kasus memanfaatkan masjid untuk kepentigan kekuasaan dan memantapkan wilayah dominasi mereka.
Ketika terjadi persaingan politik, misalnya antara faksi Abbasiyyah dan Umayyah, atau antara Sunni dan Syiah, masjid secara langsung maupun tidak langsung menjadi media yang dianggap efektif. Pada awal maupun akhir khotbah, seorang khatib memuji nama khalifah yang berkuasa dan menghujat lawan politik mereka (Ridwan al-Makassary dan Ahmad Gaus AF, 2010).
Kini, keadaan masjid pun tidak jauh dari kehidupan masa klasik itu. Walaupun kini adalah era keterbukaan informasi dan teknologi namun  persaingan antarporos kekuasaan organisasi masyarakat sering kali muncul dari masjid.
Maka dari itu, melirihkan volume pengeras suara bukan berarti melarang penyebaran dakwah dan syiar Islam. Ini merupakan upaya menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik. Dalam kasus suara azan mungkin tidak menimbulkan masalah.
Akan tetapi, dakwah dalam bentuk ceramah yang sering kali menggunakan pengeras suara atau pemancar radio yang didengarkan oleh khalayak yang bukan hanya didengar oleh pendukung atau umat tertentu (internal) kiranya perlu kebijaksaan bersama.
Misalnya, ketika berhubungan dengan ”ideologi” tertentu seperti tahlilan, selawatan, selamatan, dan seterusnya ada baiknya bagi umat yang tidak setuju dengan model keberagamaan tersebut tidak perlu menyuarakannya dengan lantang melalui mimbar pengeras suara. Cukuplah hal tersebut menjadi konsumsi umat (internal). Dan umat mengajak masyarakat lain melalui pendekatan personal dan kultural lainnya.
Ketika hal tersebut tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan menimbulkan gejolak di masyarakat. Sebagaimana pernah terjadi di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kudus, Jawa Tengah beberapa waktu lalu.
Dakwah yang mencerahkan, meneguhkan dan menggembirakan tanpa harus mencederai keyakinan orang lain tentunya perlu terus ditingkatkan dan menjadi agenda keumatan yang didukung oleh seluruh komponen umat beragama. Tanpa hal yang demikian, umat Islam hanya akan disibukkan oleh rutinitas dan mengurusi hal yang remeh-remeh.
Pada akhirnya, pernyataan Wapres Boediono merupakan kritik bagi umat Islam khususnya dan umat beragama lainnya secara umum. Sebuah kritik tidak perlu ditanggapi dengan amarah. Kritik merupakan langkah awal bagi umat untuk berbenah dan bangkit mewarnai peradaban.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya