SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Saat  saya menerima buku She Wanted to Be Beauty Queen (2023) dari penulisnya, Prof. George Quinn, dua rasa kontradiktif langsung berkelindan dalam satu tarikan napas. Gembira sekaligus sedih.

Gembira karena itu buku yang sangat bagus, berisikan 30 cerita pendek berbahasa Jawa (crita-cekak) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Jika ditelusuri dalam rentang waktu yang panjang perjalanan sastra Jawa, ini merupakan buku kedua setelah Javanese Literature since Independence: An Anthology (1979) susunan J.J. Ras.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Sedihnya? Kenapa untuk memperkenalkan karya sastra Jawa harus orang asing yang melakukan. Apakah sarjana Sastra Jawa sendiri tidak bisa melakukan? Saya mengenal sedikit J.J. Ras, seorang pencinta sastra Jawa kelahiran Rotterdam yang mengajar di Universitas Leiden, Belanda.

Kemudian mengenal lebih banyak George Quinn, kelahiran New Zealand, pengajar di The Australian National University, yang kini tinggal di Canberra. Dua orang itu perlu saya perkenalkan karena ada kaitannya dengan ulasan saya ini.

Banyak orang asing belajar seni dan budaya Jawa (karawitan, pedalangan, tari), tapi yang belajar dan bergumul secara intensif dengan sastra Jawa modern hanya sedikit, tak genap dalam hitungan jari sebelah tangan.

Dari yang sedikit itu ada George Quinn yang saya kenal sejak saya menjadi moderator pada sarasehan sastra Jawa di Bojonegoro, Jawa Timur, pada 1984 yang dibubarkan oleh aparat keamanan zaman Orde Baru.

Quinn menyindir (bahasa lain dari kritik) pemerintah yang abai mengurus warisan budaya adiluhung bernama sastra Jawa. Saya banyak berdiskusi dengan George Quinn melalui sambungan telepon, e-mail, Whatsapp, atau saat bertemu di Indonesia.

Lebih sering lagi menjelang penerbitan bukunya itu. Dengan rasa girang saya menyediakan informasi yang saya ketahui mengenai sastra Jawa mutakhir. Semoga saya tak berlebihan mengatakan antologi cerpen berbahasa Jawa yang terkumpul dalam She Wanted to Be Beauty Queen merupakan karya penting dalam tonggak perjalanan sejarah sastra Jawa modern.

Satu alasan pasti, sastra Jawa mengalami akselerasi, naik atau bahkan loncat kelas. Dari bahasa Jawa langsung ke bahasa Inggris, tanpa melalui bahasa Indonesia. Setidaknya 30 pengarang yang karyanya nongkrong di buku itu bisa berbangga hati bahwa karangan mereka telah menjadi bagian wahana komunikasi global (language for wider communication).

Pegiat dan pencinta sastra Jawa kiranya berutang budi pada Quinn atas jerih payahnya menyeleksi ratusan cerkak yang tersebar di berbagai media berbahasa Jawa mulai tahun 1960-an hingga 2000-an selama bertahun-tahun. Itu bukan perkara yang mudah.

Sastra Jawa modern (1970-2000) memiliki kekhasan sendiri, justru karena tak bergaul dengan sastra dunia. Jika Ghiselin (lihat: The Creative Process, 1952) mengatakan proses kreatif merupakan proses perubahan dalam kehidupan pribadi kiranya tak keliru.

Itulah yang selama ini terjadi pada pengarang sastra Jawa yang oleh Linus Suryadi A.G. (1995) diejek sebagai pengarang ndesa atau paling banter pengarang urban, yang tak lagi menaruh impian layak pada publik pembacanya pada masa depan.

Itulah yang harus disadari sepenuhnya oleh siapa pun yang hendak menerjemahkan karya sastra Jawa ke bahasa asing. Termasuk George Quinn. Ia harus menjadi master of belongingness ala Paul Ricoeur sebagaimana yang diungkapkan dalam Hermeneutic and the Human Science (1984).

Syukurlah Quinn memahami itu. Selecting just thirty from this vast body of work was difficult… Begitu kata dia. Karya yang diterjemahkan itu lintas generasi, dari 1960-an hingga 2000-an.

Interpretasi demi interpretasi atas teks sastra sebagaimana yang disarankan Hirsch (1979), termasuk yang dilakukan baik dengan sadar (conscious intention) maupun tanpa sadar (unconscious meaning) oleh setiap pengarangnya.

Itu diperlihatkan Quinn saat memberikan catatan kecil sebagai pengantar setiap cerkak yang diterjemahkan dalam buku itu. Itu pula yang membedakan dari bunga rampai yang disusun oleh J.J. Ras.  Di bukunya Rass hanya memberikan pengantar secara umum yang singkat dan normatif.

Ketika sebuah media mewawancarai Ras tentang perkembangan dan upaya pengembangan sastra Jawa terkait dengan peran pemerintah banyak yang mengapresiasi, namun ada juga yang meledek. Salah satunya Arswendo Atmowiloto yang menulis di sebuah koran nasional bertajuk (kalau tidak salah) Tahu Apa J.J. Ras tentang Sastra Jawa?

Artikel itu langsung dijawab pula dalam kesempatan berikutnya oleh Ras,”Ya, saya memang tidak tahu apa-apa tentang Sastra Jawa.” Ya, sastra Jawa bolehlah naik kelas. Pengarang sastra Jawa boleh berbangga hati dengan diterjemahkan dalam bahasa Inggris sehingga diketahui bangsa lain, namun tetap saja ada yang terasa getir dan ironis.

Konsumsi Sastra Dunia

Salah satunya, ya, yang saya sebutkan di awal tulisan ini, kenapa tak ada upaya orang Indonesia sendiri, khususnya sarjana dari kalangan masyarakat Jawa yang mengambil inisiatif untuk melakukan seperti yang dilakukan oleh George Quinn dan J.J. Ras itu?

Begitu banyak cerita yang bagus dari para sastrawan legendaris seperti Suparto Brata, Esmiet, Tamsir A.S., Poerwadhie Atmodihardjo, yang layak menjadi konsumsi sastra dunia. Barangkali memang diperlukan pihak-pihak lain untuk membantu penerbitan karya-karya berbahasa Jawa ke bahasa asing.

Novel-novel terjemahan dari bahasa Belanda yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya adalah hasil kerja sama dengan Kedutaan Belanda. Konon, kabarnya, novel heroik Noli Me Tangere karya Jose Rizal adalah juga atas bantuan Kedutaan Filipina.

Dalam diskusi selama dua jam dengan George Quinn di sebuah rumah makan di Kota Salatiga sepekan lalu, saya mendapatkan informasi yang menggembirakan. Bahwa sastra Jawa saat ini baik-baik saja. Berkembang bagus seiring kemajuan teknologi digital.

Begitu banyak karya anak-anak muda yang diterbitkan menjadi buku. Banyak novel, kumpulan cerkak, antologi guritan (puisi Jawa) berlahiran bak cendawan di musim hujan. Artinya tidak mengalami stunting.

Di ujung diskusi George Quinn berjanji akan segera menerjemahkan ke bahasa Inggris novel-novel berbahasa Jawa yang dianggap berkualitas dan bisa disuguhke ndhayoh mancanegara, bisa dipamerkan kepada khalayak dunia.



Dengan begitu sastra Jawa akan bisa terus naik kelas. Semoga pada usia yang kini sudah berkepala delapan George Quinn masih terus dikaruniai kesehatan sehingga bisa membantu mengharumkan sastra Jawa di jagat sastra dunia.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Oktober 2023. Penulis adalah doktor kajian seni, esais, sastrawan, dan budayawan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya