SOLOPOS.COM - M. Fauzi Sukri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kenapa  tampak begitu sulit menghidupkan kembali sastra(wan) lama, khususnya dari khazanah budaya Jawa? Pada zaman teknologi digital betapa mudah menerbitkan buku yang secara teknis pracetak, percetakan, termasuk pemasaran melalui media sosial jauh lebih mudah.

Selama dua dekade terakhir abad XXI, anak-anak muda di berbagai daerah dan kota bergerak mendirikan puluhan bahkan ratusan penerbit indie atau penerbit kecil berkat stimulasi perkembangan media sosial.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Penjualan buku di berbagai media sosial dan marketplace tumbuh begitu masif. Dalam gairah perbukuan yang semakin bersifat personalitas dan komunitas itu agak susah menemukan anak-anak muda yang berhasrat menghidupkan kembali sastra(wan) lawas berbahasa Jawa.

Di pameran buku yang dikelola anak-anak muda, termasuk Patjar Merah yang di Ndalem Djojokoesoeman (1—9 Juli 2023), tak banyak karya lawas sastra(wan) Jawa yang diterbitkan ulang, baik yang sudah begitu terkenal atau untuk diperkenalkan kembali kepada publik.

Pada akhir 1866, sebagaimana diceritakan ulang dengan sangat menarik oleh almarhum sejarawan M.C. Ricklefs (2018), seorang penulis sastra (fiksi modern!) bernama Raden Panji Puspawilaga menerbitkan cerita serial berjudul Cariyosipun Candhi Maling ing R?di K?thu.

Karya fiksi modern berbahasa Jawa ini terbit di mingguan (kadang dwimingguan) Bramartani, majalah yang bertahan sampai 1930-an, umur yang paling panjang dalam sejarah media cetak di Kota Solo kala itu.

Awalnya, seorang pembaca bernama Wignya Panitisastra (nama samaran) bercerita selama ini dirinya begitu kagum oleh kesohoran Raden Ngabehi Ronggawarsita, tapi kok pujangga keraton ini tidak pernah menerbitkan karya sastra di Bramartani seperti halnya Panji Puspawilaga.

Sebagai pembaca Bramartani, dia mengapresiasi cerita Cariyosipun Candhi Maling ing R?di K?thu yang bergaya prosa, bukan (puisi) tembang bergaya klasik! Wignya Panitisastra tidak pernah mendengar, membaca, atau tahu apakah memang di Jawa atau dunia benar-benar ada Candhi Maling—satu pertanyaan polos nan genting pada masanya yang menggelikan bagi pembaca fiksi modern.

Surat pembaca itu (kritik sastra awal?) memantik polemik berbulan-bulan sampai awal 1873, yang memuncak pada masalah genting: apakah Ronggawarsita pantas dianggap sebagai seorang pujangga. Polemik ini tentu saja diikuti Ronggawarsita yang juga pembaca Bramartani meski tidak satu kata pun dia membalas polemik itu.

Pada 1873, masa akhir kehidupan Ronggawarsita, di majalah Bramartani sekali lagi muncul polemik yang mempertanyakan arti kesusastraan Jawa, dan sekali lagi menyinggung kapasitas kepujanggaan Ronggawarsita, bahkan paradigma kepujanggaan Jawa secara umum.

Seorang bernama Pothet Umarmaya menghantam Ronggawarsita sekaligus paradigma kepujanggaan Jawa yang selama ini menjadi dasar pengayom kesusastraan Jawa. Dalam Bromartani edisi 17 September 1873, Pothet Umarmaya secara retrospektif menyajikan gambaran perihal politik pertarungan ilmu pengetahuan di Jawa.

Sastra Jawa, dengan pusatnya di haribaan para pujangga keraton, harus menghadapi sekian banyak kekuatan dahsyat ilmu pengetahuan modern yang datang menghambur dari Eropa. Di sinilah nasib sastra Jawa (klasik) atau sastra secara umum diperhitungkan, dipertarungkan, juga diperjuangkan di hadapan publik pembaca modern.

Akhirnya, seperti kemudian terlihat sangat jelas dalam kurikulum pendidikan modern (sekolah atau kampus), posisi sastra Jawa hanya salah satu dari sekian banyak fakultas keilmuan (modern). Inilah pukulan paling mendasar sekali terhadap kesusastraan-budaya Jawa di era modern.

Polemik itu, yang bermula dari apresiasi atas prosa fiksi dan permintaan agar Ronggawarsita menulis di Bramartani, adalah ajakan permulaan kepada sastra(wan) lama untuk bergerak ke dunia baru: kapitalisme cetak.

Patron Terbuka

Polemik perihal nasib sastra Jawa dan para pujangganya itu adalah tonggak kesadaran baru dalam sastra Jawa modern. Pertama, munculnya kapitalisme percetakan modern yang akan mengakhiri era manuskrip.

Kedua, kebiasaan-kebiasaan baru para pembaca (bukan pendengar!) sastra Jawa berbasis cetak modern (majalah, koran, buku). Ketiga, media massa cetak menggantikan keraton sebagai patron terbuka bagi sastrawan modern.

Dalam era manuskrip, puncak karya susastra adalah bentuk formulaic poetry. Kata-kata disusun sedemikian rupa mengikuti formula tertentu berbasis bunyi-lisan. Dalam sastra Jawa kita kenal metrum macapat, seperti pungkur, maskumambang, sinom, asmaradana, dan seterusnya.

Semua kata disusun sangat rapi bahkan filosofis, dari tingkat awalan dan akhiran suku kata, pilihan tata kalimat, sampai pilihan gaya bunyi (tembang) metrum. Panggung kata-kata tertata dalam koreografi dramatik yang memukau, baik bagi pelisan (dalang/penyanyi), pendengar, atau pemusik.

Butuh pembelajaran dan pembiasaan kolektif yang lama untuk menguasai puncak ilmu susastra (kalangwan) ini agar bisa memahami, mendalami, menguasai, sampai akhirnya bisa menyadur ulang, bahkan menciptakan karya baru.

Bentuk prosa yang lebih mengeksplorasi alur, psikologi tokoh, juga pengembangan tokoh tidak begitu berkembang pesat, bahkan kadang diabaikan. Gaya prosa, yang dibaca dalam sunyi, mendapatkan momentum akbar saat percetakan modern mengubah kebiasaan lama: dari mendendang (macapatan) ke pembacaan batin.

Akhir abad ke-19, masa hidup Ronggawarsita, adalah babak akhir puisi formulaic poetry dari era manuskrip yang disusul dengan puisi bebas nan sunyi. Pukulan telak berikutnya terhadap paradigma susastra Jawa (modern-klasik) adalah penguasa kapitalisme cetak sebagai patron baru yang sekaligus mengubur penguasa lama: keraton.

Hubungan sastrawan, setidaknya sebagaimana terjadi di kerajaan-kerajaan di Indonesia, sudah tidak lagi menjadi pegawai langsung penguasa politik (kawula-gusti). Sastrawan jauh lebih banyak berhubungan dengan penerbit yang bersifat lebih bebas.

Selain itu, dalam kapitalisme cetak, pembaca punya peran sangat besar sebagai penyokong hidup sastrawan: karya sastra yang laris secara penjualan akan jadi keuntungan besar bagi sastrawan dan penerbit. Tentu saja, dalam sistem kapitalisme cetak secara umum, karya sastra paling banyak dibeli pembaca adalah bentuk prosa.

Itulah beban berat generasi penerbit indie atas warisan sastra(wan) lawas. Kuasa kapitalisme percetakan modern dan perubahan radikal penguasa politik (dari keraton/kesunanan ke negara Indonesia), mengunci nasib sastra dan sastrawan lawas Jawa.



Kapitalisme cetak jauh lebih mementingkan keuntungan, sedangkan penguasa politik yang baru (Indonesia) tak cukup punya kesadaran untuk menggerakkan dan menghidupkan kembali sastra(wan) lamas Jawa.

Pada 1980-an atau masa puncak kekayaan dan kekuasaan Orde Baru, pemerintah Indonesia pernah melakukan proyek maha-akbar: menerbitkan ulang karya-karya sastra lawas dari beberapa bahasa daerah (sering dalam seri dwi bahasa), dicetak oleh Balai Pustaka.

Ratusan judul buku dari era manuskrip itu terbit dan hadir kepada pembaca yang bisa datang ke perpustakaan kampus atau daerah. Niat baik itu menghadapi masalah besar: karya-karya itu lebih banyak teronggok di perpustakaan sebagai koleksi daripada dihadirkan kepada pembaca-pembaca baru.

Buku-buku itu seakan turun dari langit tanpa persentuhan secara sosial budaya dengan calon pembeli-pemilik-pembacanya. Tak ada promosi, tak ada obrolan, tak masuk kurikulum, dan tidak jadi bacaan keluarga sebagai nilai tradisi.

Sekarang, pada abad baru, juga tak ada gereget besar baik dari pemerintah nasional atau daerah untuk menghadirkan kembali karya sastra(wan) lama bagi generasi baru. Pemerintah daerah seperti Pemerintah Kota Solo yang (pernah!) mendaulat sebagai kota pustaka seakan-akan tidak pernah memikirkan apalagi punya kepentingan untuk menghidupkan kembali karya lawas bagi generasi mutakhir.

Apakah pemerintah kota/daerah menunggu penerbit indie, yang sebagian sangat besar bermodal cekak, mulai bergerak sendiri-sendiri dengan jangkauan terbatas? Sayangnya, mungkin akibat berbagai kendala, bahkan sampai saat ini penerbit indie juga tak cukup tertarik untuk menghidupkan dan menerbitkan lagi karya sastra(wan) lawas.

Pelisan-pendengar karya Ronggawarsita atau sastra(wan) dari era manuskrip sudah selesai 150 tahun lalu, sedangkan pembaca modern dari generasi mutakhir mulai tak sanggup menghidupkan sastra(wan) lawas.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Agustus 2023. Penulis adalah peminat pedagogi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya