SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (FOTO/DOK)

Bandung Mawardi (FOTO/DOK)

Pengelola Jagat Abjad
Solo

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Akhir abad XIX adalah ingatan tentang surat dan optimisme. Kartini menulis zaman dengan kalimat-kalimat bergeliat. Surat menguak pikiran-pikiran bergerak. Kartini (1899) dalam sepucuk surat untuk Zeehandelaar menulis tentang peran “bangsawan pikiran”. Kartini menghormati ”bangsawan pikiran” sebagai pembawa suluh kemadjoean.
Kartini justru menggugat dan menghujat arogansi kaum ningrat berdalih keturunan. Petikan surat itu adalah permulaan kisah-kisah modern di Hindia Belanda. Para pengisah zaman adalah elite terpelajar. Mereka hadir sebagai penggerak kemadjoean dengan bahasa dan pikiran modern.
Kalimat-kalimat Kartini menjelma saat kaum elite terpelajar menapaki abad XX. Soewardi Soerjaningrat hadir membawa kabar perlawanan dan mengobarkan optimisme. Sosok ini menempatkan gairah intelektual di muka zaman untuk mengubah nasib negeri terjajah.
Agenda melawan kolonialisme dan membangkitkan nasionalisme adalah misi besar. Soewardi Soerjaningrat mengucap semua pengharapan tanpa jera. Gairah intelektual dan politik bergerak bersama Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partij. Pengisahan zaman perlawanan juga menggunakan tulisan-tulisan: satire.
Geger di Hindia Belanda terjadi saat Soewardi Soerjaningrat mengeluarkan tulisan Alks ik eens Nederlander was… (1913). Serangan ini membuat Soewardi Soerjaningrat mengalami pemenjaraan dan pembuangan. Kalimat-kalimat keras telanjur melukai nalar kolonial. Tulisan itu telah menimbulkan kehinaan.
Perlawanan ala Soewardi Soerjaningrat itu membuktikan misi perubahan bergerak menggunakan bahasa milik penjajah dan narasi politis. Tjipto Mangoenkoesoemo mengartikan ulah dan bahasa Soewardi Soerjaningrat sebagai pengumuman kekoeatan dan penghapusan ketakoetan.
Kita mengenang Soewardi Soerjaningrat sebagai penggerak. Kita membaca ulang  Alks ik eens Nederlander was… sebagai rujukan zaman perlawanan. Tokoh dan teks menghendaki perubahan. Sejarah silam itu memberi pesan: intelektual adalah pengisah zaman. Soewardi Soerjaningrat tak ingin menghamba di kaki kekuasaan.
Ibadah kaum intelektual di masa kolonial adalah mengantarkan rakyat ke jalan pemerdekaan. Intelektual memberi pengabdian atas nama pemartabatan bangsa. Soewardi Soerjaningrat menghendaki etos intelektual menjadi pijakan perubahan lakon negeri terjajah.
Masa itu berlalu. Abad XXI justru memberi kisah lelah. Kaum intelektual perlahan kehilangan bahasa untuk mengisahkan Indonesia. Pengharapan atas makna Indonesia terus bergerak di jalan politik. Narasi Indonesia pun menjadi antologi uang dan jabatan.
Kaum intelektual lengah di hadapan kekuasaan. Mereka mengucap diri dengan suara lirih. Mereka sulit mengusung optimisme untuk Indonesia. Biografi intelektual mengabarkan dilema modal dan kekuasaan. Kabar ini menjauh dari semaian etos intelektual awal abad XX.
Politik radikal ala Soewardi Soerjaningrat berlanjut dengan misi pendidikan. Perubahan arah ini menghendaki perubahan nasib negeri terjajah melalui sekolah dan semaian kaum terpelajar. Sekolah adalah basis transformasi sosial-politik-kultural dengan mengusung gagasan modern tanpa meninggalkan akar identitas.
Daniel Dhakidae (2003) menganggap sekolah-sekolah model kolonial memang telah melahirkan kaum intelektual pribumi awal tapi rentan terjerat oleh nalar kolonial. Sekolah-sekolah liar justru memiliki signifikansi bagi pembentukan mentalitas intelektual mengacu ke nasib rakyat. Soewardi Soerjaningrat pun memilih mengisahkan zaman melalui pendirian Perguruan Taman Siswa (1922).
Pendidikan menentukan nasib negeri terjajah. Kita mengenang babak dramatis itu saat Indonesia hari ini menanggung kontradiksi dalam menggerakkan misi pendidikan. Wajah pendidikan di Indonesia memburam oleh pragmatisme. Sekolah dan perguruan tinggi ibarat situs untuk selebrasi ilusif. Kita susah menemukan laku intelektual sebagai ejawantah pemartabatan diri dan bangsa.

Impian Globalisasi

Dunia pendidikan justru memberi rangsang picisan. Ijazah justru menjadi klaim atas harga diri manipulatif tanpa pembuktian amalan intelektual. Lakon pendidikan ada di naungan modal dan imperatif politik. Kondisi ini lekas membatalkan optimisme pendidikan ala Kartini dan Soewardi Soerjaningrat.
Seruan Soewardi Soerjaningrat di Kongres Permufakatan Persatuan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (31 Agustus 1928) pantas jadi rujukan jejak mula pendidikan.  Pendidikan-pengajaran mengantarkan kaum pribumi ke pemerdekaan lahir dan batin. Sekolah memberi sandaran kekuatan untuk menentukan nasib. Misi pendidikan-pengajaran adalah memerdekakan manoesia sebagai anggaoeta dari persatoean rakjat.
Misi ini diselenggarakan dengan dalil bahwa pendidikan-pengajaran mesti selaras dengan ”penghidoepan bangsa” dan ”kehidoepan bangsa”.  Pesan-pesan itu mungkin tak terbaca lagi saat arus pendidikan-pengajaran di Indonesia mengarah ke komersialitas dan pragmatisme.
Soewardi Soerjaningrat tak lagi menjelma seruan bagi Indonesia? Peringatan Hari Pendidikan Nasional dengan acuan hari kelahiran Soewardi Soerjaningrat (2 Mei 1889) mungkin sekadar ingatan seremonial. Kita mengingat sosok dan gagasan Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara dalam rabun sejarah.
Refleksi Hari Pendidikan Nasional menjelma upacara, pidato, pemberian penghargaan. Kita jarang menemukan pembacaan sejarah secara produktif untuk menarasikan Indonesia hari ini. Lakon pendidikan di Indonesia seolah bergerak jauh dari rumusan nasionalisme, adab tradisional, dan keindonesiaan.
Dunia pendidikan di Indonesia ada di kubangan impian globalisasi. Institusi-institusi pendidikan kentara membentuk manusia pendamba uang, jabatan, popularitas. Agenda pemerdekaan lahir-batin tergantikan oleh globalisasi sebagai ”roman picisan”.
Pendidikan dengan roh dan wajah Indonesia adalah impian Ki Hadjar Dewantara. Impian itu mungkin telah sirna di pangkuan kita. Ki Hadjar Dewantara tak menampik pengaruh dan kontribusi gagasan-gagasan Barat tapi menghendaki kejatidirian Indonesia adalah basis pendidikan-pengajaran.
Ki Hadjar Dewantara dalam esai Pendidikan Nasional (1938) mengutip satire Rabindranath Tagore: ”Hidoep kita adalah koetipan dari hidoep orang Barat. Soeara kita adalah koemandang Eropa. Kita ini coema tas penoeh keterangan-keterangan tapi hidoep kita kosong.”  Kutipan ini mengingatkan kita saat pendidikan di Indonesia mulai alpa sejarah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya