SOLOPOS.COM - Rohmah Ermawati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kematian  harimau benggala yang dipelihara seorang pemengaruh di Indonesia baru-baru ini memantik reaksi keras publik. Diketahui kemudian bahwa sebelumnya enam anak harimau benggala di bawah pengasuhannya juga mati.

Persoalan itu menjadi perhatian serius karena harimau benggala adalah hewan yang terancam punah. Kematian mereka bisa memiliki dampak signifikan pada upaya konservasi spesies ini.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Publik menyayangkan kematian hewan-hewan tersebut meskipun sang youtuber menyatakan kematian harimau benggala kesayangannya disebabkan kelahiran prematur serta pengabaian oleh induknya.

Dia mengaku telah mengantongi izin pemeliharaan binatang tersebut dari otoritas terkait. Warganet yang mungkin merasa prihatin kemudian mempertanyakan tentang kualitas perawatan hewan-hewan itu.

Apakah pemeliharaan mereka dilakukan dengan tepat sesuai standar konservasi? Terlepas dari kontroversi yang menyertai kematian anak harimau benggala yang dipiara sang public figure, muncul pertanyaan apakah satwa liar layak dipelihara di rumah?

Mengutip laman ragunanzoo.jakarta.go.id dan sumber lainnya, harimau benggala atau Panthera tigris tigris adalah subspesies harimau di India, Bangladesh, Nepal, dan Bhutan.

Satwa ini adalah spesies kucing terbesar kedua di dunia setelah harimau siberia. Ciri khas harimau benggala memiliki bulu berwarna oranye terang dengan motif garis-garis hitam atau cokelat tua.

Habitatnya tersebar di hutan lebat dan rawa-rawa India, Bangladesh, Bhutan, dan Nepal. World Wide Fund for Nature mencatat terdapat sekitar 2.100 ekor harimau benggala di alam bebas.

Sebanyak 1.411 ekor berada di India, 200 ekor di Bangladesh, 150 ekor di Nepal, dan 100 ekor di Bhutan. Status perlindungan satwa ini di Indonesia adalah tidak dilindungi, tetapi statusnya terancam punah atau endangered menurut IUCN dan masuk Appendix I CITES.

Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.

Segala sesuatu yang tertera dalam undang-undang tersebut mengenai menyimpan, memelihara, dan memperniagakan satwa yang dilindungi adalah tindak pidana yang melanggar hukum dan akan dikenai sanksi sesuai aturan.

Jamaknya satwa liar adalah hewan-hewan yang tidak dipelihara. Habitat asli binatang tersebut berada di alam bebas, tanpa kontak rutin dengan kegiatan manusia.

Berjalannya waktu membuat populasi manusia meningkat pesat, namun keanekaragaman hayati justru sebaliknya. Green Network menyatakan konservasi hadir untuk menyelamatkan satwa yang terancam punah agar tidak musnah dari muka bumi akibat berkurangnya keanekaragaman hayati.

Konservasi satwa liar mengacu pada praktik perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari sesuai prinsip World Conservation Strategy terhadap spesies liar dan habitatnya.

Satwa liar memiliki kebutuhan yang kompleks. Para ilmuwan masih terus berupaya memahaminya. Secara sederhana, kebutuhan harimau tentu saja berbeda dengan kucing yang merupakan hewan ”rumahan”, meskipun mereka berasal dari satu famili yang sama yakni Felidae.

Born Free UK mengungkap kebutuhan dasar satwa liar mencakup lingkungan yang memadai, pola makan yang memadai, kebebasan untuk melakukan perilaku normal, kebutuhan sosial yang acap kali rumit, dan kebebasan dari rasa sakit, terluka, dan penyakit.

Begitu kompleksnya hal-hal tersebut sehingga memastikan kebutuhan satwa liar dapat dipenuhi adalah hal yang sangat sulit bagi para konservasionis, apalagi bagi individu yang memelihara sebagai binatang piaraan.

Orang dibolehkan memiliki hewan peliharaan eksotis atas izin khusus. Menurut The Dangerous Wild Animals Act 1976  (Undang-undang Satwa Liar Berbahaya 1976), warga negara Inggris harus memperoleh izin untuk hewan apa pun yang terdaftar dalam suatu periode menurut hukum tersebut, termasuk primata, beruang, reptil berbisa, dan kucing besar.

Di Indonesia, orang diizinkan membawa pulang generasi ketiga hewan yang didapatkan dari penangkaran untuk tujuan konservasi. Meski telah biasa berinteraksi dengan manusia, satwa liar tetaplah memiliki gerak-gerik yang merupakan ancaman signifikan bagi manusia karena sifat asli kebuasan mereka.

Selain itu, ada pula risiko penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh patogen (virus, bakteri, atau parasit) yang dapat ditularkan hewan ke manusia. Penyakit-penyakit ini termasuk SARS, virus ebola, dan cacar monyet.

Dengan pemaparan tersebut, ada banyak alasan mengapa kepemilikan pribadi atas hewan liar bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan keanekaragaman hayati saat ini.

Pada akhirnya, seluruh upaya konservasi haruslah mengusahakan hewan-hewan tetap berada di habitat alami mereka. Satwa liar seharusnya hidup bebas di alam liar.

Ini sebagaimana manusia hidup dengan kecukupan papan, sandang, dan ikatan dengan sesama manusia. Sudah seharusnya pihak berwenang menyelidiki lebih lanjut untuk mengetahui penyebab kematian hewan-hewan yang dipiara influencer tersebut dan apakah ada pelanggaran atau kelalaian dalam pemeliharaan mereka.

Pemantauan yang ketat mungkin diperlukan untuk memastikan hewan-hewan terancam punah seperti harimau benggala diperlakukan dengan benar dan sesuai standar konservasi.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Agustus 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya