SOLOPOS.COM - Ika Yuniati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sehatlah  dan bahagialah… Itu menjadi rapalan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tak pernah absen saya sampaikan untuk diri sendiri tiap pagi hari, terlebih dalam beberapa waktu terakhir.

Afirmasi ini seolah-olah menjadi mantra pembawa keberkahan yang menyertai perjalanan seharian penuh sebelum akhirnya kembali istirahat pada malam hari.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Percaya pada diri bisa meraih kesehatan dan bahagia adalah kunci penting.

Layaknya makanan bergizi yang perlu dikonsumsi setiap hari agar tubuh tetap bugar hingga bisa mengerjakan banyak hal. Kesehatan jiwa juga menjadi modal dasar kita menuju goals pribadi yang selalu diharapkan dan didoakan.

Bahagia dan menerima setiap langkah kecil yang dicapai juga bisa jadi penangkal ampuh di tengah banjir informasi soal krisis kepercayaan diri yang mengemuka akhir-akhir ini.

Ketidakpercayaan pada diri berujung pada berbagai masalah kesehatan hingga suicidal feelings atau keinginan mengakhiri hidup atau percobaan bunuh diri sebagai solusi.

Saya tak memungkiri pernah merasakan hal yang sama ketika mentok menghadapi permasalahan tertentu. Saya beruntung itu hanya menjadi pikiran sekilas yang tak penting-penting amat untuk diteruskan.

Kewarasan tersebut pasti berbeda dengan yang dialami sejumlah pelaku percobaan bunuh diri yang masif terjadi akhir-akhir ini. Mereka memilih mengglorifikasi suicidal feelings hingga akhirnya benar-benar memutuskan hendak mengakhiri hidup.

Kabar kasus percobaan bunuh diri sepanjang September—Oktober 2023 ini cukup masif. Dari sejumlah berita yang saya baca, pelaku bahkan mencakup anak-anak sekolah dasar hingga mereka yang sudah dewasa.

Satu lagi catatan penting saya, mayoritas mereka adalah perempuan. Salah satu pelaku di Mal Paragon, Kota Semarang, menuliskan penyesalan menjadi anak yang kurang membanggakan hingga tak bisa membahagiakan orang tua.

Saya turut berduka, tapi saya ingin sekali meyakinkan semua orang bahwa yang paling penting adalah membahagiakan diri sendiri dulu, dengan penuh cinta dan welas asih. Kalau tugas mulai itu sudah berhasil dijalankan, frekuensinya bakal sampai ke lingkungan sekitar. Percayalah.

Satu kasus yang paling membuat miris menurut saya memang kejadian di Kota Semarang tersebut. Hal itu terjadi ketika masyarakat dunia tengah merayakan kampanye peduli kesehatan jiwa pada momentum peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada 10 Oktober 2023.

Federasi Kesehatan Mental Dunia atau World Federation for Mental Health sejak 1992 memosisikan kesehatan mental sebagai isu penting untuk dibicarakan hingga didukung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hingga hari ini.

Pada 2023 ini, Hari Kesehatan Mental Dunia mengusung tema Mental Health is a Universal Human Right. Artinya kesehatan mental tak sekadar jadi masalah pribadi. Kesehatan mental adalah isu kemanusiaan yang wajib didukung semua pihak, termasuk negara.

Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menyatakan kasus kesehatan mental berujung pada data indeks pembangunan manusia (IPM).

Mengutip laporan mereka pada 2020 yang berjudul Uncertain Times, Unsettled Lives: Shaping our Future in a Transforming World, IPM bukan sekadar tentang worrying atau mengkhawatirkan, namun naik level pada concerning atau menjadi bahan pemikiran kita bersama untuk mencari cara agar bisa bangkit dan maju.

UNDP juga mengacu data WHO Global Health Estimates 2021 yang menyebut jumlah kasus bunuh diri di Indonesia terus naik. Pada 2019 dilaporkan sebanyak 6.544 orang meninggal karena bunuh diri. Data sebenarnya diduga lebih dari ini karena banyak kasus yang tak dilaporkan.

WHO menyebut kasus kesehatan mental yang berujung bunuh diri mayoritas dialami orang berusia 15 tahun hingga 29 tahun. Di Indonesia kasus serupa yang dialami anak-anak berusia di bawah 15 tahun beberapa kali terjadi.

Yang terbaru adalah murid SD berusia 11 tahun di sebuah kota besar. Salah satu dugaan penyebabnya adalah sering diolok-olok sebagai anak yatim. Copycat suicide atau efek werther adalah tindakan percobaan bunuh diri mudah ditiru orang-orang di sekitarnya.

Istilah ini diambil dari tokoh novel fiksi karya Johann Wolfgang von Goethe berjudul The Sorrow of Young Werther (1774). Dalam novel tersebut diceritakan si tokoh bunuh diri kemudian perasan yang sama menjalar ke orang-orang sekitar.

Percobaan bunuh diri perlu segera ditangani dengan penuh kehati-hatian. Pemerintah wajib ikut turun tangan, aalagi beberapa kasus terjadi di lingkup atau institusi pendidikan.

Pemberitaan media harus lebih berperspektif korban sehingga bisa menekan kemungkinan epidemi bunuh diri. Komunikasi dengan pendekatan humanis dilakukan pemerintah Korea Selatan ketika mengatasi kasus percobaan bunuh diri di negara itu pada 2013.

Langkah pemerintah Korea Selatan masif dilakukan setelah melihat percobaan bunuh diri yang terjadi di Jembatan Mapo atau Mapo Bridge di atas Sungai Han. Sejumlah kalimat interaktif yang sebenarnya sederhana sengaja ditempel di jembatan tersebut pada 2012 ketika banyak kasus bunuh diri di sana.

Kalimat tersebut, antara lain, tomorrow’s sun will rise, have you been eating alright, dan I love you. Pemerintah Korea Selatan menyiapkan telepon khusus yang siap sedia mendengarkan keluhan para pelaku percobaan bunuh diri. Saluran telepon itu dibuka 24 jam.



Kampanye serupa dilakukan pihak swasta, yakni Samsung, dengan tema Bridge of Life. Cara itu terbukti bisa menurunkan angka bunuh diri di Jembatan Mapo.  Saya menyebut itu sebagai creating hope.

Menciptakan harapan memang jadi salah satu hal penting yang bisa dilakukan untuk mencegah percobaan bunuh diri. Ini sesuai dengan tema peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia setiap 10 September 2020, yakni Creating Hope Through Action.

Seperti yang selalu saya sampaikan kepada diri sendiri setiap pagi, afirmasi positif bahwa masih ada harapan dari setiap permasalahan berat yang dihadapi itu penting dilakukan.

Seberat apa pun perjalananan Anda hari ini, ingat selalu ada jalan terbuka untuk kita. Kalau lelah, boleh berhenti sejenak. Jika akhirnya sulit sampai tujuan, enggak apa-apa. Anda tetap berharga!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Oktober 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya