SOLOPOS.COM - Mohamad Ali (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Bila tak ada aral melintang, Kota Solo akan menjadi tuan rumah muktamar ke-48 Muhammadiyah pada 18-20 November 2022. Menurut catatan sejarah, ini merupakan kali ketiga Kota Solo menjadi tuan rumah. Kali pertama (saat itu disebut) kongres ke-18 pada 1929 dan kali kedua muktamar ke-41 pada 1985.

Muktamar ke-48 Muhammadiyah terasa sangat istimewa apabila dikaitkan dengan sejarah kemunculan persyarikatan Muhammadiyah di Kota Solo. Berdasarkan data-data sejarah terpercaya, Muhammadiyah Cabang Solo resmi berdiri pada 25 Januari 1922. Tahun ini telah genap berusia seabad, seratus tahun.

Promosi Tragedi Kartini dan Perjuangan Emansipasi Perempuan di Indonesia

Meski tanpa disadari, penunjukan menjadi tuan rumah muktamar ke-48 dapat dimaknai sebagai penghargaan sekaligus kado milad seabad Muhammadiyah Kota Solo dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam rentang waktu seabad ini kiprah dan rekam jejak petualangan (adventure) Muhammadiyah di Kota Solo dapat diidentifikasi.

Demikian pula sumbangannya dalam kerangka pergerakan Muhammadiyah secara nasional. Dengan menggunakan perpektif sejarah lokal, esai ini pada satu sisi berupaya menelaah pergolakan awal gerakan modernisasi Islam yang dilakukan kaum santri di Kota Solo pada permulaan abad ke-20 dan pada sisi lain memotret dinamika Muhammadiyah Kota Solo dalam kurun waktu seabad.

Sejarah lokal dapat dipahami sebagai kisah kelampauan suatu kelompok atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada daerah geografis yang terbatas (Taufik Abdullah, 1996:15). Sudut pandang lokalitas sangat dibutuhkan karena memperluas cakrawala sejarah dan menampilkan sisi lain gerakan Muhammadiyah yang sejauh ini lebih didominasi kajian dari sudut pandang pusat (baca: Yogyakarta).

Gerakan Sosial Awal

Pencandraan Alfian (2010: 210) tentang dinamika Muhammadiyah pada 1930-an menarik dicermati. Menurut Alfian, dapat dikatakan di Yogyakartalah Muhammadiyah berkembang secara tuntas di kalangan kelompok santri Jawa, sedangkan di Solo sangat signifikan, dan di Pekalongan cukup memadai.

Suatu penilaian jernih dan objektif, suatu penegasan bahwa gerak Muhammadiyah Solo tergolong sangat dinamis, berada di garda terdepan di antara kota-kota lain. Menjelang kemunculan Muhammadiyah di Kota Solo, dengan pendirian perkumpulan Sidik Amanah Tabligh V(F)athanah (SATV) pada 1917, gerakan modernisasi Islam telah lebih dulu tumbuh.

Diawali aktivitas modernisasi pendidikan pada 1905, pendirian madrasah Mambaul Ulum atas inisiatif penghulu Keraton Solo, tinggal di Kauman. Bersamaan dengan itu, Kiai Idris (wafar pada 1923), pempinan pondok pesantren tertua di Jawa, Jamsaren, memprakarsai pemisahan pengkajian ilmu-ilmu agama dari aktvitas tarekat sehingga kajian Islam di lebih bernuansa diskursif.

Modernisasi pendidikan menjadi perhatian penghulu di Kauman dan kiai-kiai di Pondok Pesantren Jamsaren. Para pengusaha batik yang tinggal di Laweyan atas inisiatif Haji Samanhudi (1868-1956) memodernisasi ekonomi dan politik dengan mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1911, setahun kemudian bertransformasi menjadi Sarekat Islam (SI).

Menarik untuk diteliti lebih mendalam, mengapa para aktor utama gerakan modernisasi awal di Kota Solo, dengan alasan berbeda-beda, hanya bertahan sebentar memimpin gerakan/perkumpulam yang diprakarsai? Kiai R. Bagus Ngarpah bergelar Kiai Sastra Adirengga (1854-1933), konon merupakan paman K.H. Ahamad Dahlan, pemimpin pertama Madrasah Mambaul Ulum, dalam waktu relatif singkat diganti Kiai Idris Jamsaren.

Haji Misbach (1876-1926), ketua pertama perkumpulan pra-Muhammadiyah-SATV, segera digantikan Kiai Moechtar Boechari (wafat pada 1926). Kepemimpinan SI segera beralih dari Haji Samanhudi ke H.O.S. Cokroaminoto (1883-1934). Suatu jawaban sementara (hipotetis-tentatif) dapat diajukan di sini.

Pertama, di Solo muncul relatif banyak tokoh berkualitas setara. Tidak ada figur sentral yang benar-benar karismatik. Pergantian pemimpin tidak memengaruhi eksistensi suatu gerakan/perkumpulan. Kedua, terdapat demikian banyak lapisan sosial, bukan sekadar penggolangan santri, priayi, dan abangan sebagaimana digambarkan Cliffor Gertz (1989).

Telah menjadi sunatulah bahwa masing-masing lapisan/gerakan sosial berupaya keras untuk terus bertahan dan berebut peran lebih besar dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Kontestasi sosial yang kompetitif meniscayakan setiap gerakan dituntut kemampuan membaca tanda-tanda zaman secara cerdas cekatan dan mengambil langkah cepat untuk mangatasi tantangan.

Kala persyarikatan Muhammadiyah hadir di Kota Solo harus berhadapan dengan gerakan modernisasi Islam yang telah kukuh berdiri. Sarekat Islam (SI) di Laweyan, madrasah Mambaul Ulum di Kauman, dan pondok pesantren Kiai Idris Jamsaren, untuk menyebut beberapa gerakan modernisasi kaum santri yang mengemuka pada awal abad ke-20.

Ragam gerakan sosial kaum santri yang berlangsung pada awal abad ke-20 masih bisa kita temukan jejak-jejak historisnya. Di antara mereka ada yang mandek, ada yang berjalan tertatih-tatih. Muhammadiyah Solo yang masih terus tumbuh, laksana suatu organisme, meski telah memasuki usia sebad.

Kontribusi Gerakan

Penilaian Alfian atas gerak dakwah Muhammadiyah Solo, berkembang secara sangat signifikan di kalangan kelompok santri Jawa, meski dilakukan untuk mendeksripsikan fenomena dekade 1930-an, masih relavan untuk membaca situasi Muhammadiyah Solo saat ini.

Meski belakangan ini muncul berbagai gerakan Islam ”baru”, akar tunggang Muhammadiyah masih menancap kuat di Kota Solo. Bila kita memasuki Kota Solo yang seluas 44,04 kilometer persegi, hampir di setiap sudut kota dan tepi jalan raya dipadati amal usaha Muhammadiyah (AUM) berupa panti asuhan, rumah sakit, masjid, musala, sekolah, dan universitas.

Ada tiga perguruan tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah berdiri megah; Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Aisyiyah Surakarta, dan Institut Teknologi Sains PKU Muhammadiyah Surakarta. Dua rumah sakit PKU terus menggeliat dan puluhan sekolah dan ratusan masjid serta musala jadi simpul kegiatan umat.

Penampakan AUM dengan gedung-gedung megah adalah kristalisasi perjuangan dakwah (amal saleh) dari generasi ke generasi selama kurun satu abad. Orang sering terkesima melihat penampakan AUM, padahal AUM hanya salah satu manifestasi amal saleh. Ilustrasi hubungan bebek-telur bisa membantu menjelaskan; telur dihasilkan dari bebek, AUM ibarat telur, bebek mencerminkan kualitas iman dan amal saleh warga/pimpinan Muhammadiyah.

AUM menjadi wahana berhimpun dan kolaborasi berbagai potensi umat untuk mencerdaskan, memajukan, dan menyejahterakan rakyat. Aset AUM milik persyarikatan (baca: bukan perorangan) diselenggarakan oleh majelis-majelis yang membidangi dan pengelolaan diserahkan kepada kepala sekolah, direktur, atau rektor sesuai bidang keahliannya.

Pasang surut AUM bergantung pada kulitas dan kolaborasi antara pimpinan, majelis, dan pengelola. Dakwah Muhammadiyah Solo dalam menyapa rakyat Kota Solo dan sekitarnya mulai saat mereka lahir, ketika memasuki usia sekolah (dari TK hingga universitas), menciptakan lapangan kerja, saat mereka sakit, tertimpa bencana, berada dalam kemiskinan, para warga lanjut usia, dan bahkan kala wafat pun telah disiapkan pemakaman “Husnul Khotimah” yang luasnya hampir satu hektare.

Muhammadiyah Solo melayani rakyat sepanjang hayat, mulai masa kelahiran sampai wafat. Dalam memberikan layanan bersifat inklusif, tidak memandang perbedaan warna kulit, agama, suku, golongan, maupun partai politik. Siapa pun mereka yang memerlukan layanan kesehatan, pendidikan, atau lainnya akan disapa dengan penuh kegembiraaan.

Makna kehadiran Muhammadiyah Solo juga bisa dilihat dari kontribusi tokoh-tokoh dalam kehidupan kebangsaan maupun keumatan berskala nasional. Dari teropong sejarah dapat dilihat peran tokoh-tokoh Muhammadiyah Solo dalam percaturan nasional. Generasi Muhammadiyah Solo awal yang turut berkiprah nasional, antara lain, Kiai Mochtar Boechari (ulama-intelektual), Haji Misbach (aktor kiri Islam), dan Harsolumekso (administrator-jurnalis) yang turut meramaikan Majalah Medan Moeslimin, Islam Bergerak,  dan Sinar Islam.

Ketika memasuki masa setelah kemerdekaan dan Orda Lama muncul dua tokoh Muhammadiyah Solo yang mewarnai dinamika Muhammadiyah nasional, yakni Asnawi Hadisiwoyo (ulama-intelektual-politikus) dan  Mulyadi Joyomartono (mubalig-organisatoris-politikus).



Memasuki masa Orda Baru, Muhammadiyah Solo melahirkan Mohammad Amien Rais (cendekiawan-politikus) dan Mohammad Dawam Rahardjo  (cendekiawan muslim ternama). Saat ini ada dua orang dari Kota Solo yang duduk di Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yakni Ahmad Dahlan Rais (ketua) dan Marpuji Ali (bendahara).

Penyebutan nama-nama tersebut menegaskan Kota Solo menjadi salah satu penyumbang penting dalam struktur kepeminpinan Muhammadiyah pusat. Seluruh uraian di atas menunjukkan Muhammadiyah di Solo dalam kurun seabad telah melewati jalan terjal dan berliku, namun tetap eksis dan terus tumbuh.

Hal itu ditunjukkan dengan penampakan AUM yang menggurita memenuhi sudut-sudut Kota Solo dan peran tokoh-tokoh Muhammadiyah Solo dalam pergerakan kebangsaan dan keumatan berskala nasional.

Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Kota Solo benar-benar menjadi kado istimewa apabila berlangsung lancar, menggembirakan, dan produktif dengan putusan-putusan yang mengukuhkan Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang mampu menjadi pemicu memajukan Indonesia dan mencerahkan semesta.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Oktober 2022. Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya