SOLOPOS.COM - Opik Mahendra (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Seabad sudah Nahdlatul Ulama (NU) berdiri—berdasarkan penanggalan Hijriah—dan  menjadi bagian sejarah Indonesia dan dunia. Usia yang matang dan dewasa untuk ukuran organisasi muslim terbesar di dunia. NU memiliki anggota 40 juta jiwa (2013) hingga lebih dari 100 juta jiwa (2022).

Nahdliyyin patut bersyukur dan bergembira dengan masuknya organisasi ini ke abad kedua. Kebahagiaan ini harus dibarengi dengan refleksi, bahkan introspeksi, atas capaian dan tantangan NU.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Memasuki abad kedua, NU harus fokus pada penguatan peran-peran strategis keagamaan dan kemasyarakatan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bila melihat dari perspektif profesi, mayoritas warga NU adalah petani yang berada di wilayah perdesaan.

Data menunjukkan latar belakang pekerjaan orang tua yang menyekolahkan anak di lembaga pendidikan NU adalah petani dan buruh (53%), wiraswasta (21%), PNS dan karyawan swasta (18%), dan lain-lainnya (8%). Dari situ terlihat bahwa setengah lebih warga NU adalah petani.

Sudah seharusnya NU memberikan perhatian lebih kepada petani. Bukan hanya perhatian dalam bentuk pelatihan, peningkatan, dan pemberdayaan petani sehingga petani menjadi bagian penting dari indikator kemajuan NU.

Pendiri NU, Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asyari, sadar betul bahwa peran petani itu sangat vital karena petani adalah sendi sebuah negeri. Kiai Hasyim menyematkan predikat “penolong negeri” kepada petani. Petani adalah pekerjaan yang sangat mulia.

Bertani adalah ibadah. Semua kerja pertanian merupakan ikhtiar memahami tanda-tanda kekuasaan Allah yang menghidupkan dan mengeluarkan biji-bijian dari bumi yang tandus. Dari biji-biji itu manusia makan. Apabila kita menengok gambaran kehidupan petani hari ini yang notabene adalah nahdliyin belum semuanya hidup sejahtera.

Banyak petani yang masih hidup dengan kondisi memprihatinkan dan serbakekurangan, padahal sektor pertanian telah terbukti menjadi satu-satunya penopang perekonomian nasional pada era pandemi Covid-19.

NU memiliki tugas besar bersama-sama melakukan ”jihad” pertanian melalui pemberdayaan petani. Upaya meregenerasi petani dengan menyiapkan petani yang unggul dan berkualitas harus terus dilakukan melalui lembaga pendidikan NU, khususnya melalui pesantren.

Sebagai salah satu pusat pendidikan, pesantren dapat memainkan peran dalam pengembangan inovasi pertanian. Santri bisa belajar mengelola lahan di sekitar pesantren yang biasanya berlokasi di perdesaan dan saat kembali ke masyarakat dapat mengamalkan dan menularkan ilmu agama dan keterampilan bertani.

Pesantren adalah lembaga pendidikan yang memiliki ciri khas NU dan secara historis merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia.  Peran ekonomi banyak dilakukan pesantren dengan segala pola adaptasinya. Salah satunya sebagai pusat pengembangan ekonomi kerakyatan atau ekonomi umat melalui pemberdayaan pertanian.

Pondok pesantren, menurut Mahduri (2002), bukan hanya sebagai lembaga pendidikan yang bergerak di bidang agama, melainkan sebagai lembaga pendidikan yang responsif terhadap problem ekonomi di Indonesia. Peranan pondok pesantren sebagai lembaga dakwah dan pendidikan Islam menjadi sangat krusial.

Sebagian besar masyarakat muslim Indonesia masih menganggap pondok pesantren dengan kiai sebagai referensi utama dalam kehidupan keberagaman dan kemasyarakatan. Dengan potensi dan integritas pondok pesantren yang tinggi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, tidak ada salahnya strategi pengembangan ekonomi dimulai dari pemberdayaan pesantren.

Scara kuantitas dan kualitas pesantren memiliki semua yang dibutuhkan dalam akselerasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dalam hal kuantitas, setidaknya jumlah pondok pesantren di Indonesia tersebar hampir di setiap penjuru negeri ini.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, jumlah pesantren di Indonesia sebanyak 26.975 unit yang mendidik 2,65 juta santri. Ini potensial untuk pengembangan konsep pertanian berbasis pesantren.

Mengaji Sambil Bertani

Hal ini tidak terlepas dari perubahan zaman yang begitu pesat sehingga pondok pesantren harus melakukan transformasi dalam pendidikan agar tetap aktif di masyarakat. Pondok pesantren tidak hanya membina para santri dengan bekal ilmu agama, keterampilan dan pelatihan wirausaha di bidang pertanian di pondok pesantren juga sudah mulai diterapkan.

Dengan tradisi yang kuat melekat dalam pola pendidikan pesantren, hubungan masyarakat perdesaan dengan tradisi pesantren dapat terjalin secara mesra sehingga sangat logis bila sistem pendidikan pesantren dapat diterima oleh masyarakat

Saat ini telah terjadi perubahan paradigma di pesantren. Pondok pesantren berusaha mengubah masa depan, bukan hanya mampu memproduksi kiai, da’i, ahli hadis, dan kitab kuning. Dengan perantara jalur pendidikan pesantren mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berpengetahuan luas, menguasai segala bidang ilmu pengetahuan, dan mampu menyatukan ilmu agama dengan ilmu umum yang menyangkut kehidupan masyarakat.

Alternatif yang sangat mungkin dilakukan, antra lain, peningkatan program pendidikan di pondok pesantren yang berdiri di sekitar areal pertanian dengan memasukkan agrobisnis sebagai salah satu program pembelajaran bagi para santri.

Pembelajaran agrobisnis ini meliputi budi daya komoditas pertanian termasuk perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan, penanganan pascapanen termasuk pengolahan hasil panen sehingga menghasilkan produk olahan, produksi peralatan pertanian, dan pemasaran serta kewirausahaan

Setelah lulus, para santri diharapkan menjadi center of gravity dari masyarakat. Di samping pandai ilmu agama, dalam konteks hablumminannas, memiliki ilmu pengetahuan untuk transfer of knowledge tentang pemberdayaan pertanian sehingga regenerasi petani berjalan.

Para santri perlu dibekali ilmu pengetahuan dan teknologi agar dapat menjawab berbagai masalah yang terjadi di masyarakat seperti pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan, pembangunan karakter yang jujur, berkhlak mulia, motivasi tinggi, tahan malang, serta cerdas dan kreatif.

Menurut Kartasasmita (1995), memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat melalui dua tahap. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan.

Pemberdayaan adalah upaya membengun daya itu dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran tentang potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering).



Pesantren bukanlah lembaga yang membicarakan ekonomi, khususnya pertanian agrobisnis secara intensif, namun perubahan masyarakat yang menjadikan ekonomi sebagai aspek dominan ikut memengaruhi dinamika kehidupan pesantren.

Aspek ekonomi menjadi bagian penting dalam pesantren sebagai lembaga penggerak ekonomi desa bukanlah suatu yang mustahil, namun perlu selektif dengan mempertimbangkan kondisi dan kemampuan.

Usaha ini dapat dipercepat melalui penetrasi pemerintah dan swasta berupa kebijakan dan bantuan, pengayaan kurikulum, pemberian keterampilan, pendampingan, dan bantuan dana.

Pendampingan kaum petani harus benar-benar dilakukan secara kaffah atau tuntas, dari awal hingga khatam, demi masa depan peradaban umat dan bangsa Indonesia. Masa depan pertanian nasional menentukan masa depan peradaban bangsa.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Februari 2023. Penulis adalah intelektual muda NU alumnus Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya