SOLOPOS.COM - Mariyana Ricky P.D. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Masyarakat Jawa mengenal istilah sedulur papat lima pancer sebagai pedoman hidup. Sedulur papat (empat saudara) itu adalah teman saat terlahir sebagai bayi, yakni air ketuban (kakang kawah/air ketuban sebagai kakak), adhi ari-ari (ari-ari sebagai adik), darah, dan tali pusar.

Biasanya ari-ari dikubur di sekitar rumah orang tua jabang bayi atau dilarung ke sungai/laut. Sedangkan lima pancer adalah si jabang bayi itu sendiri. Ajaran tersebut sebagai simbol bahwa bayi bisa lahir ke dunia karena kebaikan banyak makhluk, terutama orang tua dan semesta.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Sedulur papat lima pancer sebagai pedoman hidup terdokumentasi dalam Suluk Kidung Kawedhar karya Sunan Kalijaga pada abad ke-15 hingga ke-16. Lirik tentang itu ditulis dalam bait ke-41 dan ke-42.

Ana kidung akadang premati
Among tuwuh ing kuwasanira
Nganakaken saciptane
Kakang kawah puniku
Kang rumeksa ing awak mami
Anekakaken sedya
Pan kuwasanipun adhi ari-ari ika
Kang mayungi ing laku kuwasaneki
Anekaken pangarah

Ponang getih ing rahina wengi
Angrowangi Allah kang kuwasa
Andadekaken karsane
Puser kuwasanipun
Nguyu uyu sambawa mami
Nuruti ing panedha
Kuwasanireku
Jangkep kadang ingsun papat
Kalimane pancer wus dadi sawiji
Nunggal sawujudingwang

Hamidullah Ibda dalam Peradaban Makam: Kajian Inkripsi, Kuburan, dan Makam (2019) menjelaskan lirik kidung tersebut ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut:

Ada nyanyian tentang saudara kita yang merawat dengan hati-hati. Memelihara berdasarkan kekuasaannya. Apa yang dicipta terwujud. Ketuban itu menjaga badan saya. Menyampaikan kehendak dengan kuasanya. Adik ari-ari tersebut memayungi perilaku berdasar arahannya.

Darah siang malam membantu Allah Yang Kuasa. Mewujudkan kehendak-Nya. Pusar kekuasaannya memberi perhatian dengan kesungguhan untuk saya. Memenuhi permintaan saya. Maka, lengkaplah empat saudara itu. Kelimanya sebagai pusat sudah jadi satu. Manunggal dalam perwujudan saya saat ini.

Konsep sedulur papat lima pancer tidak lepas dari kesadaran masyarakat Jawa terhadap sistem mikrokosmos serta berbagai ajaran filosofis lainnya yang terdapat dalam budaya Jawa.

Raharjo dalam Kiblat Papat Lima Pancer (2012) menjelaskan masyarakat Jawa menganggap sedulur papat sebagai isi akal manusia yang terdapat dalam pancer atau raga manusia yang merupakan kesatuan jiwa manusia untuk mencapai kedamaian hidup.

Tanpa mengenal sedulur papat lima pancer, manusia cenderung tidak dapat memahami identitas, sifat, dan harga dirinya. Konsep sedulur papat lima pancer mengarahkan manusia mengenali dan mengelola emosi, terkait dengan konsep kecerdasan emosional dalam psikologi.

Goleman dalam Emotional Intelligence (1995) menjelaskan secara konseptual kecerdasan emosional terdiri atas lima dimensi. Pertama, kesadaran diri atau kemampuan memahami dan mengelola emosi yang dirasakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan dan bertindak.

Kedua, pengendalian diri atau kemampuan menahan diri, mengatur emosi, dan mengekspresikan emosi. Ketiga, motivasi diri  atau dorongan untuk menjadi pembelajar yang lebih baik.

Keempat, empati atau kemampuan merasakan yang orang lain rasakan. Kelima, keterampilan sosial atau kemampuan menghadapi emosi diri dan lainnya.

Secara umum ajaran filsafat dalam masyarakat Jawa memandang kehidupan manusia terbagi dalam dua kosmos (alam), yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.

Makrokosmos dalam ajaran masyarakat Jawa dimaknai sebagai sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengarahkan manusia untuk mempertimbangkan kekuatan transenden.

Mikrokosmos dapat diartikan sebagai sikap dan pandangan hidup terhadap dunia nyata. Pada hakikatnya masyarakat Jawa diajarkan berusaha mencari dan menciptakan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos dalam menjalani kehidupan.

Saya memaknai konsep itu bahwa seseorang yang keduanya seimbang akan lebih banyak pertimbangan sebelum melakukan sesuatu. Selalu lebih dahulu mengenali emosi sendiri.

Selalu mempertimbangkan apakah hal yang dilakukan itu bakal merugikan atau menguntungkan diri sendiri maupun orang lain. Dari situ setiap laku dan tindakan telah melalui filter, kecerdasan emosional, karena seseorang telah mengenali dirinya sendiri.

Jadi, masihkan sedulur papat lima pancer relevan dengan kondisi saat ini atau masih bakal relevan bertahun-tahun ke depan untuk menjadi pedoman? Semoga…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Oktober 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya