SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa)

Kita tentu masih menunggu beberapa hari lagi, untuk mendengar pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) ihwal hasil akhir Pilpres. Sampai saat tulisan ini dibuat, hasil sementara menunjukkan Pilpres 2024 dimenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Meski masih menyisakan banyak residu, Pilpres tahun ini sejatinya memang sudah selesai. Bahkan selesai jauh hari sebelum pilpres. Sejak pasangan Prabowo-Gibran dicanangkan sebagai peserta pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2024, segera saja berbagai data statistik memberi petunjuk terang benderang. Hasil survei elektabilitas beberapa kali menjelang pilpres sudah memberi gambaran di mana tren suara Prabowo -Gibran cenderung terus menanjak naik meninggalkan dua rival mereka. Bahkan telah menembus batas 50%, dua pekan sebelum hari pencoblosan.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Dengan profil tersebut, apabila tidak ada hal-hal yang sangat fatal terjadi pada hari tenang alias tiga hari menjelang coblosan, tren itu akan sulit berbalik. Namun, menjelang hari pencoblosan justru keluar film dokumenter Dirty Votes. Alih-alih menjadi trigger yang menyedot suara Prabowo-Gibran, sebaliknya peredaran film tersebut justru membuat elektabilitas mereka kian melenting.

Benar saja, hasil quick count pada sore hari setelah hari pemungutan suara menunjukkan Prabowo-Gibran menang di kisaran 58%, disusul Anies-Cak Imin sekitar 25% dan Ganjar-Mahfud sekitar 16%. Drama pun bermunculan. Para elite politik terkaget-kaget. Dan tidak percaya.

Selain quick count, hasil rekapitulasi suara hingga Rabu (13/3/2024) lalu, KPU merilis perhitungan di 20 provinsi di mana Prabowo-Gibran menang telak dengan perolehan 54.710.352 suara. Paslon Ganjar Pranowo-Mahfud Md. untuk sementara menduduki posisi kedua dengan 20.210.748 suara, sedangkan paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar berada di urutan ketiga dengan 18.854.045 suara.

Artinya, perolehan suara Prabowo-Gibran sudah melampui 50%+1 di lebih separuh jumlah provinsi Indonesia. Dengan demikian, pasangan ini di atas kertas sudah memenangkan Pilpres 2024 dengan satu putaran. Prabowo-Gibran bahkan memenangi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di DKI Jakarta pun mereka unggul meski hanya menang tipis atas Anies-Cak Imin.

Bahkan kemenangan Prabowo-Gibran ini bukan cuma menurut versi quick count lembaga survei dan penyelenggara pemilu saja. Situs kawalpemilu.org yang mengawal proses penghitungan suara Pilpres 2024 bentukan organisasi nonpemerintah juga memastikan Prabowo-Gibran memenangi Pilpres 2024 dengan keunggulan 58,44%. Angka kawalpemilu tersebut didasarkan dari unggahan foto formulir C1 yang diunggah masyarakat dari 677.413 TPS. Jika dibandingkan dengan jumlah total TPS yang mencapai 823.366, cakupan unggahan formulir C1 itu sudah mencapai 82,27%.  Dengan kata lain, berdasarkan metodologi statistik, prosentase tersebut sudah sulit berubah signifikan. Maka, kawalpemilu juga memastikan Prabowo-Gibran memenangi Pilpres dengan satu putaran.

***

Tiba-tiba saja saya jadi teringat penuturan seorang teman, yang mendadak berubah arah. Teman ini semula sangat terkaget dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa Mahkamah Konstitusi membuat keputusan yang “memberi jalan” bagi Mas Gibran, Walikota Solo, untuk dapat maju sebagai Cawapres. Dan ketika Mas Wali kemudian benar-benar diajukan sebagai cawapres mendampingi Prabowo, teman saya ini lantas menjadi “die hard” untuk melawan, karena terbawa arus perspektif para elite politik dan aktivis, yang menganggap majunya Gibran sebagai langkah politik yang tidak etis.

Entah mengapa, dua pekan terakhir menjelang pencoblosan, kawan saya ini berbalik arah. Dia pun ajak istri dan anaknya untuk memilih Prabowo-Gibran, yang nyata-nyata didukung Presiden Jokowi.  “Saya bilang ke istri dan anak, pilpres ini sebagai ungkapan terima kasih ke Pak Jokowi yang telah memberikan banyak manfaat termasuk infrastruktur yang bisa dinikmati tiap hari,” kata dia. “Ma, kita kan pernah menginap di pantura, saat mudik macet dua hari sebelum ada jalan tol yang dibangun Pak Jokowi,” begitu kira-kira percakapan kawan yang setiap Lebaran pasti menjalani ritual mudik dari Jakarta ke Solo ini dengan sang istri. Alhasil, satu keluarga itu sepakat untuk memilih Gibran, putra Jokowi.

Tentu bukan cuma itu saja. Banyak cerita yang lain.

Anda boleh saja menafikan dari perspektif teoritik. Namun, itulah realitas di tengah masyarakat, yang suaranya senyap, berkebalikan dengan gegap gempita para pengusung “idealisme” politik dalam perspektif mereka sendiri. Yang ternyata jumlahnya sedikit. Dan elitis. Karena itulah, saya sama sekali tidak kaget ketiga Prabowo-Gibran akhirnya meraih suara yang fenomenal. Maka, hasil (sementara) Pilpres 2024 ini sebenarnya kian memperkukuh fenomena baru dalam realitas politik kita.

Memang masih ada residu Pilpres terkait dengan kontroversi soal proses politik, berbagai tudingan soal kecurangan dan hal-hal lain terkait dengan “standard textbook” dalam praktik politik dan demokrasi kita. Namun, tanpa bermaksud menganggap aneka residu Pilpres itu tidak penting, saya sengaja ingin melihat dari perspektif lain. Bahwa peta politik kita sesungguhnya sangat dinamis dan mudah bergeser. Pergeseran tersebut terutama driven by perilaku para pemilih dan para politikus itu sendiri.

Saya tentu tidak ingin mengusung pendekatan textbook. Tapi sederhana saja, mengamati realitas di lapangan dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa perilaku publik berpolitik dewasa ini memang jauh dari fenomena ideologis, melainkan bergeser ke perilaku yang sangat pragmatis.

Jangan kira pula perilaku pragmatis itu berarti terkait dengan, atau driven by, politik uang atau money politics. Tetapi driven by kepentingan (non ideologis) yang relevan dan benefit alias manfaat yang dirasakan. Kata kuncinya: relevansi dan benefit. Menanamkan relevansi dan benefit bukanlah jalan pintas dan dalam durasi pendek. Tidak bisa dibangun sesaat. Karena menyangkut rekam jejak yang sesungguhnya. Karya yang nyata. Contohnya, infrastruktur yang dibangun Jokowi hingga di desa-desa dan pelosok nusantara.

Maka ketika para elite membombardir pasangan Prabowo-Gibran dengan tudingan etika, kecurangan, politik uang, bansos dan lainnya, sangat tidak mempan. Tidak relevan, dan tidak tepat sasaran.  Politik gagasan, apalagi. Bagi perilaku politik kebanyakan masyarakat hari ini, yang didominasi pemilih muda (lebih dari 60%), politik gagasan –yang terkesan sangat serius dan berat– adalah utopia. Bukan berarti masyarakat pemilih tidak cerdas dengan perilaku politik macam itu, tetapi memang tidak relevan. Politik gagasan hanya relevan di ruang kelas diskusi politik di fakultas ilmu politik. Bukan di ranah politik praktis, di mana mekanisme keterpilihan ditentukan oleh one man one vote. Demokrasi yang sangat liberal.

***

Ada satu lagi yang sangat krusial dalam Pilpres lalu. Bila Anda ingin maju dalam Pilkada –entah sebagai calon gubernur/wakil gubernur, atau  calon bupati/wakil bupati dan calon walikota atau wakil walikota, Pilpres 2024 menjadi pelajaran yang menarik.

Penting sekali buat Anda untuk sangat menguasai “kecerdasan sosial”. Di tengah pergeseran perilaku pemilih dalam proses politik yang cara berkomunikasinya hari ini dikendalikan oleh perangkat digital, segera tinggalkan pola lama: black campaign ataupun negative campaign. Dua kampanye yang berkonotasi menyerang lawan ini, justru akan menjadi bumerang yang pelan-pelan akan membunuh Anda sendiri.

Dalam konteks itu, “kecerdasan akademis” dan “kecerdasan retoris” saja sangat tidak cukup. Mengapa Anies dan Ganjar gagal dalam Pilpres kali ini, karena melewatkan kecerdasan satunya lagi: “kecerdasan sosial”. Terlalu banyak menyerang Prabowo dan Gibran, termasuk menyerang pribadi maupun pemerintahan Jokowi yang memiliki approval rating sangat tinggi dalam aneka perspektif, menjadi sangat mudah dijadikan bahan bakar untuk menyulut emosi pemilih, terlebih yang masih mencintai Presiden Jokowi.

Pada dasarnya, budaya kita memang tidak banyak memberi ruang yang ramah kepada pihak yang senang menghujat, dan menyerang. Pilpres langsung yang telah berlangsung sejak 2004 kerap membuktikan hal itu.  Bahwa yang santunlah yang lebih bisa diterima publik. Bukan yang garang. Apalagi hari ini, dengan maraknya “rekayasa konten” di media sosial, setiap kata-kata negatif Anda akan mudah digoreng. Kegarangan Anda akan mudah diolah menjadi bumerang.

Nah, bagaimana menurut Anda? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya