SOLOPOS.COM - Muhammad Sholihin, Pengelola Pesantren Literasi Solo. (FOTO: Istimewa)

Muhammad Sholihin, Pengelola Pesantren Literasi Solo. (FOTO: Istimewa)

Publik Inggris pernah dikejutkan oleh David Laws. Ia meminta maaf dan mengundurkan diri dari jabatan menteri keuangan karena terbukti menggunakan uang pajak 10.000 poundsterling demi membayar sewa apartemen pacar prianya.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Hal yang sama juga pernah dilakukan Lee Hae Chan, Perdana Menteri Korea Selatan, sebab ia bermain golf pada hari pemogokan pekerja kereta api. Anthony Weiner, anggota DPR Amerika Serikat asal Partai Demokrat, juga mengundurkan diri karena skandal seks di Internet.

Kisah tersebut memberi arti bahwa maaf dalam ruang politik membutuhkan pertanggungjawaban. Ada konsekuensi logis yang mesti dipertaruhkan. Moralitas menjadi jaminan atas pencederaan terhadap amanat yang telah diberikan oleh publik. Tradisi malu seperti itu dipegang teguh oleh beberapa tokoh di banyak negara.

Di Jepang misalnya, pada  Juni 2010, Perdana Menteri Yukio Hatoyama mengundurkan diri. Ia meminta maaf kepada rakyat karena tidak mampu membongkar pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa yang menjadi janjinya di masa kampanye.

Pada Maret 2011, Menteri Luar Negeri Jepang Seiji Maehara, 48 tahun, juga mengundurkan diri karena menerima uang dari seorang etnis Korea yang bukan warga negara, dan hal itu menyulut amarah kelompok oposisi konservatif.

Mereka merasa malu lantaran tidak mampu mengemban amanah yang dibebankan pada mereka dan rela melepaskan jabatan mereka. Tradisi klasik Jepang harakiri masih menjadi rujukan. Mereka bunuh diri dengan menusukkan pedang di perut dan merobeknya. Harakiri dilakukan lantaran seseorang tidak lagi mampu mengemban tugas atau melakukan pencederaan atas sebuah tanggung jawab.

Deretan kisah di atas berbeda sekali dengan kasunyatan di Indonesia. Di negeri ini kata ”maaf” kerap kali mengalami deviasi makna. Pada Lebaran misalnya, para elite politik maupun pejabat pemerintah berlomba-lomba mengucapkan kata itu.

Spanduk bertuliskan ”mohon maaf lahir batin” terbentang di berbagai tempat.  Kalimat itu juga menyebar lewat handphone maupun media massa. Bahkan ada beberapa elite politik dan pejabat yang membeli ruang iklan di televisi untuk sekadar menyatakan permintaan (membualkan) ”maaf”.

Lebaran yang semestinya menjadi ruang bagi seseorang untuk melakukan koreksi diri, ruang untuk kembali menjadi manusia, ruang di mana seseorang merancang kembali ritme dan metabolisme hidup demi hari depan yang lebih baik justru menjadi selebrasi dusta dan pencitraan bagi para elite politik maupun pejabat negara.

Maaf menjelma dalam retorika murahan yang menyebalkan. Maaf diproduksi demi pamrih untung rugi partai politik atau jabatan. Mereka seolah-olah kesurupan massal dan mengigau dengan kata ”maaf” tanpa memedulikan rakyat yang merasa risih. Rakyat hanya dijadikan keranjang sampah kata maaf.

Puisi Dorothea Rosa Herliany bisa menjadi interupsi yang patut direnungkan. Dalam puisinya yang berjudul Sampah Kata-Kata, ia menyatakan: aku tersesat di negeri sampah kata-kata/kubangun rumah kecil dalam puisi hati nurani.

Fitrah Lebaran dikotori dusta politik yang bersembunyi di balik kata maaf. Kata itu menjadi kosong tanpa makna. Maaf yang didasari oleh kesadaran atas kekeliruan sebagaimana diajarkan dalam agama sama sekali tidak tampak. Yang tampak justru kemunafikan yang meminjam topeng agama. Sungguh memprihatinkan, di negeri ini, di hari suci justru dipenuhi dengan mulut-mulut berbusa dan tubuh-tubuh kotor.

Ideologi Bebalisme

Biografi maaf dalam ruang politik seolah tak bisa ditemukan dalam lembaran sejarah bangsa ini. Bahkan, para pemimpin bangsa ini cenderung berusaha mengelak dan berusaha melakukan pembenaran atas perbuatan yang telah dilakukan. Mereka adalah manusia-manusia bebal sebagaimana yang ditengarai Sayed Husein Alatas (1988), yaitu manusia yang memiliki sikap dan perangai dengan manifestasi berupa ketidaktahuan, lamban, acuh tak acuh dan keras kepala.

Sungguh ironis, bangsa yang mengaku berideologi Pancasila dan menjunjung tradisi ketimuran tetapi kesulitan menemukan pemimpin yang bisa dijadikan teladan etika dalam politik. Para pemimpin justru selalu berusaha menutupi kesalahan dengan berbagai retorika demi keselamatan kekuasaannya, tanpa memedulikan bahwa apa yang telah dilakukan telah mencederai amanat rakyat.

Mereka lebih bangga ketika berhasil lolos dari jeratan hukum, meskipun mereka benar-benar terlibat dan salah, daripada mengakui kesalahan dan segera minta maaf yang ditindaklanjuti dengan pengunduran diri. Mereka merasa bangga jika hadir sebagai ”pemenang”.

Realitas di atas akan berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat dan akan meruntuhkan pilar-pilar demokrasi. Pada perkembangannya realitas itu bisa melahirkan tindakan anarki dari masyarakat. Tentunya elite politik tidak perlu menunggu kemarahan rakyat yang siap bertindak brutal, memukuli, membakar, bahkan membunuh dengan ramai-ramai kepada penguasa yang lalim sebagaimana film-film India.

Fatwa Tolak Maaf

Dusta yang bersemayam dalam kata maaf pada Lebaran hampir tak tersentuh oleh ulama untuk dibawa ke forum bahtsul masail (diskusi para ulama untuk memecahkan persoalan-persoalan mutakhir). Bagaimana hukum membiarkan atau bahkan memberikan maaf kepada orang yang telah mencederai amanat publik? Bukankah hal itu bisa berakibat fatal bagi tegaknya sebuah peradaban? Fatwa tentang itu mestinya segera dikeluarkan.

Saya rasa merupakan dosa jika ada seseorang yang memberi maaf kepada koruptor selama koruptor tersebut tidak menyerahkan diri pada prosedur hukum yang berlaku. Begitu juga memberi maaf kepada pejabat yang menyelewengkan amanat.

Orang yang memberi maaf kepada koruptor tanpa pertanggungjawaban berarti ia telah mengamini tindakan korupsi. Begitu juga dengan penyelewengan amanat. Untuk itu menolak maaf politik yang demikian itu hukumnya wajib. Agar ke depan bisa menimbulkan efek jera bagi mereka.

Kita mesti menjadi teladan pekerti luhur bagi generasi mendatang. Kita tidak perlu menunggu anak-anak muda turun ke jalan sambil meneriakkan yel-yel menuntut pemberantasan kenakalan dan kejahatan orang tua sebagaimana kalimat-kalimat itu kerap menghiasi mulut orang tua dalam kampanye moral. Saatnya orang tua untuk belajar kembali pada anak-anak yang bersikap lugu dan jujur agar kita bisa kembali kepada fitrah kemanusiaan kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya