SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo Wartawan SOLOPOS. (FOTO/Istimewa)

Mulyanto Utomo
Wartawan SOLOPOS. (FOTO/Istimewa)

Seperti biasa, Sabtu malam Minggu kemarin, News Café di kampung saya benar-benar regeng, lumayan penuh sesak pengunjung. Maklum, selain berkumpul di café kelas warung wedangan ini menambah guyub, warga juga bersilaturahmi sekaligus tempat ngudarasa segala macam persoalan yang sedang ngetren.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Setelah bosan membahas daging sapi impor, ”nazar” nggantung di Monas hingga bawang yang sedang naik daun, Raden Mas Suloyo tiba-tiba nyeletuk masalah yang tak kalah hangat, tentang “rebutan” yayasan. ”Janjane pripun ta, Mas. Kok ada yayasan dinggo rebutan,” kata Denmas Suloyo memulai topik baru.

”Sebentar, yang sampeyan maksud itu yayasan mana? Yayasan saya baik-baik saja tuh. Lagi pula sampeyan kok mengistilahkan rebutan yayasan itu dasarnya apa?” jawab Mas Wartonegoro.

Halah, jangan pura-pura lah, Mas. Sekarang kan lagi ada ontran-ontran di yayasan rumah sakit sebelah barat sana itu. Bukannya dalam Undang-Undang Yayasan itu yang namanya pemilik itu tidak ada. Adanya kan istilah pendiri, pembina, pengurus, pengawas dan sebagainya begitu. Hla, kok sampeyan juga melu-melu nyebut ’yayasan saya’,” papar Denmas Suloyo.

”Begini hlo maksud aku… kalau saya bilang ’yayasan saya’ itu bukan berarti saya memiliki dan mengambil keuntungan finansial dari yayasan itu. Ya sekadar pengumuman bahwa saya dulu ikut mendirikan, gitu. Jadi kalau saya bilang ’yayasan saya’ jangan ditafsirkan ’milik saya’… begitu maksud aku,” jawab Mas Wartonegoro.

”Jadi… yayasan itu sebenarnya punya siapa? Hla, kok bisa sampai jadi rebutan?” cecar Denmas Suloyo.

”Setahu saya sih ya milik masyarakat… milik umat… milik rakyat. Dalam Undang-Undang No 28/2004 dinyatakan kerangka hukum yayasan adalah mengatur kehidupan berserikat dan berorganisasi yang tidak berbasis anggota,” jelas Mas Wartonegoro.

”Walah tambah mumet saya Mas. Konkretnya itu bagaimana?” tanya Denmas Suloyo.

”Konkretnya ya silakan dibaca di UU tentang Yayasan. Yang jelas, semuanya itu menjadi rumit karena yang membuat peraturan, yang membuat undang-undang di DPR dan pemerintah sana mempunyai motif tertentu dengan tujuan menjaga kekuasaan, kurang memperhatikan kepentingan rakyat, jadi itu sebenarnya jauh lebih besar mudaratnya,” papar Denmas Suloyo.

 

Silang Sengkarut

Sulit memang mengurai benang kusut yang berhubungan dengan penafsiran undang-undang. Apalagi jika persoalan itu dikaitkan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Organisasi Masyarakat (Ormas) yang sekarang sedang dibahas di DPR dan mendapat tentangan dari banyak aktivis, lembaga swadaya masayarakat dan sejumlah tokoh ormas. Silang sengkarut RUU Ormas dengan keberadaan UU Yayasan nantinya bakal tumpang tindih.

Jika kita tengok dinamika penyusunan dan pembahasan RUU Ormas, seperti dikatakan sejumlah aktivis, pada akhirnya diketahui bahwa ada motif untuk mengerdilkan dan “membunuh” RUU Perkumpulan melalui kehadiran RUU Ormas. Padahal kerangka hukum yang tepat dan relevan untuk mengatur kehidupan berserikat dan berorganisasi adalah RUU Perkumpulan (untuk yang berbasis anggota) di samping UU Yayasan (yang tidak berbasis anggota).

Pembahasan RUU Perkumpulan, dipersiapkan sebagai RUU Usul Inisiatif Pemerintah (dalam hal ini dibuat oleh Kementerian Hukum dan HAM), sampai kini tak mengalami kemajuan proses yang signifikan. Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia, sebuah kelompok aktivis yang memantau kinerja DPR, menyebut sejak Prolegnas 2005-2009 hingga 2013 belum diketahui sampai mana prosesnya sekarang. Di saat yang bersamaan, sejumlah ketentuan dalam RUU Ormas telah mengerdilkan dan “membunuh” inisiatif penyusunan RUU Perkumpulan.

Koalisi, misalnya, menemukan dalam Pasal 12 ayat (4) RUU Ormas (versi 9 Februari 2013 yang telah disetujui Panitia Kerja (Panja) DPR  pada 20 Juni 2012) mendelegasikan pengaturan lebih lanjut badan hukum perkumpulan melalui Peraturan Pemerintah (PP) saat sedang direncanakan RUU Perkumpulan.

Selain itu, Ketentuan Penutup Pasal 68 huruf b RUU Ormas (disetujui Panja DPR pada 10 Juli 2012) menyatakan akibat pemberlakuan UU Ormas maka Staatsblad 1870 No 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Padahal, awalnya RUU Perkumpulan yang seharusnya menggantikan Staatsblad tersebut, bukan RUU Ormas.

Ronald Rofiandri, Anggota Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia,  juga mempertanyakan bagaimana status hukum banyak perkumpulan, apakah pada akhirnya dikategorikan menjadi ormas padahal belum tentu perkumpulan tersebut mau menjadi ormas dan tetap memilih menjadi perkumpulan.

Saya sependapat dengan apa yang dikatakan Ronald bahwa nantinya seperti halnya badan hukum perkumpulan, yayasan pun akan diatur pula dalam rezim politik, yang selanjutnya dibina melalui Kementerian Dalam Negeri. Ketika masuk dalam rezim politik, polanya akan sangat akrab dengan penertiban, pendisiplinan hingga penyeragaman. Keberadaan yayasan akan disyaratkan pendiriannya berdasarkan persyaratan yang ditentukan UU Ormas yang baru. Kalau sudah begini, maka kerumitan, silang sengkarut, bakal semakin ruwet.

Jika UU Ormas ini disahkan, masyarakat akan mengalami kerugian konstitusional. Sesuai saran banyak kalangan, sebaiknya rakyat segera mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Kita tahu, UU No 16/2001 tentang Yayasan, sebagaimana diubah dengan UU No 28/2004, sudah mengatur kewajiban tentang transparansi dan akuntabilitas lebih dulu ketimbang RUU Ormas. Dengan kata lain, dalih keberadaan RUU Ormas untuk mendorong agar organisasi masyarakat bertindak transparan dan akuntabel sesungguhnya sudah terjawab melalui UU Yayasan.

Pasal 48 s/d Pasal 52 UU 16/2001 telah memerintahkan kepada yayasan untuk menyusun laporan kegiatan dan laporan keuangan hingga pengarsipan dan pelaporannya melalui papan pengumuman di kantor dan surat kabar harian berbahasa Indonesia. Bahkan, kekayaan yayasan pun wajib diaudit oleh akuntan publik (Pasal 52 ayat [3]).

Melalui Pasal 53 s/d Pasal 56, yayasan pun dapat diperiksa karena sejumlah alasan (mulai dari dugaan perbuatan melawan hukum hingga merugikan pihak ketiga dan negara). Pemeriksaan pun hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan dan sebagian di antaranya atas permintaan kejaksaan. Jelas, mekanisme ini akan menghindari potensi subjektifitas absolut dan intervensi siapa pun, termasuk intervensi pemerintah.

Bandingkan dengan RUU Ormas yang saat ini sedang dibahas. Salah satunya materi tentang pembekuan ormas yang kemudian coba diperhalus dengan ”penghentian sementara”. Selain terkesan mempermainkan logika publik, ruang pemerintah melakukan tindakan sepihak sangat terbuka lebar, tanpa melibatkan pihak lain yang memeriksa dan menguji lebih dulu keabsahan tindakan sepihak tersebut.

Tidak tertutup kemungkinan, pada level implementasi, UU Ormas yang baru berpotensi bertabrakan dengan UU Yayasan. Jadi, pada saat tafsir tentang yayasan di masyarakat masih beragam, sebentar lagi kalau UU Ormas ditetapkan maka sengkarut di antara keduanya akan kian berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan vertikal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya