SOLOPOS.COM - Anik Sulistyawati (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Beberapa  waktu lalu tersiar kabar Vietnam akan mengurangi ekspor beras, termasuk ke Indonesia. Kabar ini memunculkan kekhawatiran tentang stok pangan di Indonesia. Sejak awal berdirinya Republik Indonesia, masalah impor beras selalu menimbulkan kontroversi.

Dalam setiap pergantian pemerintahan selalu mengimpor beras. Indonesia sempat tidak mengimpor beras sama sekali pada 1985-1986. Pada tahun itu, Indonesia justru mengekspor beras, masing-masing 106.000 ton pada 1985 dan 231.000 ton pada 1986.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Setahun kemudian ekspor beras mencapai jumlah tertinggi, yakni 231.000 ton. Setelah itu ekspor meredup, tidak pernah lagi di atas 100.000 ton. Pada 1995 dan 1996 impor beras justru melonjak menjadi masing-masing 1,3 juta ton dan 2 juta ton.

Setahun kemudian Indonesia nyaris tak mengimpor beras, namun ketika Presiden Soeharto lengser pada 1998, impor beras mencapai rekor tertinggi, yaitu 2,8 juta ton. Tahun berganti tahun, pemimpin berganti pemimpin, negara yang konon mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani ini hampir tidak pernah absen mengisi buku catatan impor beras.

Di tengah ancaman krisis pangan dunia kini,  Indonesia mendapat pelipur lara sesaat ketika mendapat penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atas sistem ketahanan pangan berwujud swasembada beras.

Penghargaan Acknowledgment for Achieving Agri-food System Resiliency and Rice Self-Sufficiency during 2019-2021 through the Application of Rice Innovation Technology atau Penghargaan Sistem Pertanian Pangan Tangguh dan Swasembada Beras Tahun 2019-2021 melalui Penggunaan Teknologi Inovasi Padi itu diserahkan oleh Direktur Jenderal IRRI Jean Balie kepada Presiden Joko Widodo pada pertengahan Agustus 2022.

Cerita manis swasembada beras itu hanya sekejap. Pemerintah berencana mengimpor berasdua juta ton sampai akhir Desember 2023. Pada akhir tahun lalu, pemerintah mengimpor 500.000 ton beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog).

Masalah impor beras hanya salah satu kepingan kompleksnya masalah sosial ekonomi sektor pertanian negeri kepulauan ini. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengidentifikasi sejumlah persoalan yang akan menghantui sektor pertanian dalam negeri selama lima tahun ke depan.

Sejumlah masalah klasik yang mengekang perkembangan sektor pertanian itu adalah permodalan, lahan yang makin sempit, teknologi pertanian modern, persoalan pupuk, dan soal pemasaran hasil produk pertanian.

Berdasarkan hasil rilis Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, berbasis data citra satelit melalui skema kerangka sampel area, luas lahan baku sawah di Indonesia berkurang menjadi 7,1 juta hektare, padahal luas lahan sebelumnya mencapai 7,75 juta hektare.

Badan Pusat Statistik merilis hasil survei pertanian terintegrasi 2021 yang menunjukkan rata-rata petani skala kecil atau biasa disebut petani guram di Indonesia hanya mampu meraup pendapatan bersih Rp5,23 juta per tahun.

Perusahaan pertanian rata-rata mampu meraup pendapatan bersih Rp22,98 juta dalam setahun. Besarnya selisih nominal yang diterima menunjukkan curamnya ketimpangan antara petani skala kecil dan bukan petani skala kecil di Indonesia.

Hal ini berpengaruh pada seretnya regenerasi petani. Rendahnya minat generasi muda menggeluti sektor pertanian tidak hanya disebabkan penghasilannya rendah.  Kian sempitnya lahan, terbatasnya akses modal, hingga masalah pemasaran seolah membuat usaha ini kurang menarik kaum muda.

Diperlukan peningkatan kuantitas dan kualitas, termasuk terobosan dan inovasi, dalam grand design untuk meningkatkan sektor sosial ekonomi pertanian agar bisa sejalan dengan misi pemerintah menurunkan tingkat kemiskinan menjadi sekitar 7% dan kemiskinan ekstrem mendekati 0% pada 2024.

Data Basis Kebijakan

Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan petani berpengaruh besar pada pencapaian target itu. Diperlukan data-data akurat dan komprehensif sebagai acuannya. Seorang ilmuwan di bidang genetika molekuler di University of California, yang memiliki keahlian dalam bidang pertanian, genetika tanaman, dan keamanan pangan, Pamela Ronald, menekankan pentingnya penggunaan data dalam pengembangan pertanian.

Penggunaan data dan teknologi digital membantu petani mengambil keputusan yang lebih cerdas dan efektif. Pemantauan dan analisis data membuat petani dapat mengoptimalkan penggunaan pupuk, irigasi, dan perlindungan tanaman yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas dan mengurangi dampak buruk pada lingkungan.

Sensus pertanian pada 2023 ini yang diselenggarakan BPS hendak mewujudkan hal tersebut. Sensus pertanian 2023 yang dicanangkan Presiden  Joko Widodo pada 15 Mei 2023 diharapkan  bisa memetakan berbagai masalah pertanian dan pangan di Indonesia.

Kini 345 juta orang di dunia terancam kekurangan pangan dan kelaparan karena perubahan iklim dan perang.  Pertanian berperan sangat strategis di Indonesia karena 40 juta orang atau 29% dari total angkatan kerja bergantung hidup di sektor ini.

Sensu pertanian pada 2023  juga bertujuan menghilangkan duplikasi data pertanian dan pangan yang kerap menjadi persoalan di Indonesia dan berdampak pada masyarakat hingga petani. BPS merekrut dan mengerahkan 380.000 petugas sensus pertanian 2023 untuk mengumpulkan data.

Sensus dimulai pada 1 Juni 2023 dan akan berakhir pada 31 Juli 2023.  Ini adalah sensus pertanian ketujuh yang dilaksanakan BPS sejak dimulai pada 1963. Sensus ini dilakukan 10 tahun sekali pada tahun berakhiran angka 3 sesuai amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik.

Sensus pertanian 2023 mengacu program Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO). Sensus pertanian pada tahun ini diharapkan bisa memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi pertanian di Indonesia hingga wilayah administrasi terkecil, seperti data pelaku usaha pertanian, struktur demografi petani, geospasial statistik pertanian, luas lahan pertanian, dan lain-lain.

Data hasil sensus pertanian 2023 dapat meningkatkan kualitas desain kebijakan  karena data akan dijadikan sebagai rujukan dalam penyusunan kebijakan strategis sektor pertanian, seperti landasan penyaluran pupuk bersubsidi, penyediaan basis data usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di sektor pertanian, dan rujukan perencanaan nasional sektor pertanian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2025-2029.

Data yang komprehensif akan mendukung perbaikan dan terobosan di sektor pertanian. Generasi muda tak perlu malu dan ragu, bahkan bangga, menjadi petani. Para petani yang eksis juga semakin meningkat kualitas dan kesejahteraan hidup sejalan dengan tagline sensus pertanian 2023, yaitu Mencatat Pertanian Indonesia untuk Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Juni 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya