SOLOPOS.COM - A. Fahrur Rozi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dunia  kampus saat ini diuji dengan sederet pergulatan moral; antara tanggung jawab kemanusiaan dan monetisasi pendidikan. Kita percaya pendidikan menjadi penting dalam mengakumulasikan pengetahuan, moral, hingga membentuk peradaban.

Menyimulasikan pendidikan dalam sekat-sekat ruang formal seperti kampus menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga khitah pendidikan itu agar tetap dalam orientasi kemanusiaan. Sederet isu dan fenomena kampus belakangan ini menunjukkan sisi problematik dari pendidikan.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Pada Agustus 2022, kita mendapat berita Rektor Universitas Lampung (Unila), Karomani, ditangkap dalam operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia bersama jajarannya terbukti menerima suap dalam penerimaan mahasiswa baru pada 2022.

Pada bulan yang sama, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Al Makin, dikabarkan membubarkan salah satu kegiatan tahunan pengenalan budaya akademis kampus (PBAK). Hal itu bermula ketika beberapa mahasiswa mengajukan kritik dan aksi menuntut keringanan uang kuliah tunggal (UKT) dalam kegiatan tersebut.

Tuntutan ihwal keringanan UKT hingga saat ini menjadi permasalahan krusial hingga muncul kabar memilukan tentang seorang mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Nur Riska Fitri Aningsih, meninggal dunia ketika memperjuangkan keringanan UKT.

Terlepas dari bangunan isu yang berkembang, tentu hal tersebut patut menjadi keprihatinan bersama. Membawa diskursus kampus dalam meninggalnya seseorang menjadi sesuatu yang paradoks dalam dunia pendidikan. Maka diperlukan sentuhan kemanusiaan di dunia pendidikan, terlebih soal pembiayaan atau UKT.

Terdapat pembacaan fenomenologis yang terlewatkan ihwal monetisasi pendidikan.  Pada November 2022 ada beberapa mahasiswa, dosen, dan karyawan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menyampaikan surat keberatan secara terbuka kepada rektor terkait pengelolaan parkir di lingkungan kampus.

Pengelola kampus menjalin kerja sama dengan PT Globalindo Jaya Persada  untuk mengelola lahan parkir di area kampus satu. Kebijakan rektorat ini memunculkan keresahan di kalangan seluruh civitas academica UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Monetisasi Kampus

Tidak ada transparansi pengelolaan keuangan, kejelasan sistem kerja sama, hingga fakta dominasi keuntungan bagi pihak luar sebagaimana termuat dalam memorandum of understanding atau nota kesepahaman. Pungutan terhadap mahasiswa di luar UKT tidak dibenarkan dalam perundang-undangan sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 244 Tahun 2022 tentang Uang Kuliah Tunggal dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.

Fenomena inilah yang saya baca sebagai ”monetisasi kampus”. Fenomena seperti suap saat penerimaan mahasiswa baru dan komersialisasi parkir adalah hal yang paradoksal dalam dunia pendidikan.

Alih-alih kampus menjalankan fungsi kontrol sosial (social engineering) dan berorientasi membentuk kemanusiaan (orientation of humanity), justru melakukan monetisasi terhadap pendidikan.

Membaca suatu fenomena sebagai interpretasi terhadap suatu fakta sosial adalah bagian dari bacaan semiotik/semiologi. Sederet fenomena otoritarianisme rektor, monetisasi kampus, atau diskursus keringanan UKT adalah makna fenomenologis (represantamen) yang menghasilkan suatu interpretasi (interpretan) bahwa kampus mengalami dekadensi moral dan degradasi kemanusiaan (S. Maulana, 2022).

Kita lumrah menggunakan analisis semiotik ini dalam hubungan antara penanda (signifier) dengan petanda (signified) yang bisa dikutip dari beberapa tokoh semiotik seperti Ferdinand de Saussure, Umberto Eco, atau Charles Sanders Peirce.

Hal serupa juga dapat dilakukan dalam menganalisis fenomena kematian seorang mahasiswi UNY, tapi jamak berhenti pada “representamen” tunggal seolah-olah sisi kemanusiaan yang harus disentuh di ranah kampus semata-mata soal pembiayaan/keringanan UKT.

Lebih dari itu, kampus membutuhkan sentuhan etika kemanusiaan bagi para pemangku kebijakan. Kampus bukan saja tidak memberikan sentuhan keringanan terhadap uang kuliah tunggal, melainkan juga mengebiri sisi kemanusiaan dari kampus itu sendiri.

Jadi kalau dilihat terdapat representasi kategori dalam sederet fenomena kampus. Pertama, hilangnya sisi kemanusiaan dalam dunia pendidikan akibat kebijakan paradoksal memonetisasi kampus.

Kedua, adanya degradasi moral tentang penetapan tarif UKT tidak berdasar pada kemampuan ekonomi mahasiswa seperti amanat undang-undang. Jadi tuntutan etik yang mendasar dari kampus saat ini adalah memperbaiki etika kemanusiaan para pemimpin kampus itu sendiri.

Kita juga terus menunggu kebijakan afirmatif dari jajaran rektorat terkait pembiayaan pendidikan. Program Indonesia Pintar (PIP) atau Kartu Indonesia Pintar (KPK) yang malah menyasar mahasiswa mampu sudah jamak ditemukan. Seolah-olah kegagalan tersebut menjadi rahasia umum sehingga dianggap benar karena menjadi kebiasaan.

Hal seterusnya soal kualifikasi UKT dapat disesuaikan dengan pertimbangan ekonomi mahasiswa dan pendapatan orang tua atau orang yang membiyai. Hal itu harus secara kontinu disesuaikan dengan kondisi faktual melalui pembuktian yang bisa dipertanggungjawabkan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 Februari 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya