SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Kadang saya berpikir kenapa bukan Indonesia saja yang masuk peringkat pertama negara paling bahagia di dunia? Kenapa harus Finlandia? Kenapa juga posisi negara itu tak pernah bergeser sedikit pun dari tahun ke tahun berdasarkan hasil pengukuran United Nations Sustainable Development Solutions Network? Apakah di Finlandia banyak orang tersenyum?

Saya berangan-angan lagi, andaikata penilaian itu dilakukan di Indonesia pada tahun ini atau tahun depan, semestinya Indonesia bisa masuk di setidaknya 10 besar negara paling bahagia di dunia. Rasanya tidak masuk akal Indonesia masih saja berkutat di peringkat ke-84 dari 137 negara yang disurvei.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Alasan saya sederhana. Itu karena efek de javu pemilu. Agenda lima tahunan itu kini datang lagi dan segalanya berulang, persis seperti lima tahun lalu dan lima tahun sebelumnya. Salah satu situasi yang paling terasa tentu saja kehadiran spanduk-spanduk bergambar politikus di jalan-jalan kampung sampai jalan-jalan protokol.

Sekarang ini, perjalananan saya menuju ke macam-macam tempat (ke kantor, pasar, tempat rekreasi, mal, toko buku, dan masih banyak lagi) selalu diwarnai wajah-wajah tokoh politik yang sedang tersenyum hangat. Wajah dengan senyum lebar penuh keakraban itu bertebaran di spanduk, billboard, baliho, sampai stiker.

Mereka hadir saat saya menoleh ke kanan, ke kiri, melihat lurus ke depan, sampai menghadap belakang. Hanya saat kepala saya memandang langit, wajah mereka hilang.

Tema tulisan ini lahir saat saya sedang memandang baliho di perempatan jalan sambil melamun, menunggu lampu merah berubah hijau. Entah kenapa tiba-tiba saja saya memikirkan wajah-wajah mereka.

Sebuah pertanyaan muncul di kepala saya. Kenapa wajah para politikus itu selalu tersenyum? Dalam pose apa pun di baliho atau billboard: mau duduk, berdiri, sedang lari, atau sedang apa pun, para politikus itu selalu tersenyum. Tidak ada wajah marah, kesal, atau menggerutu yang sebenarnya jauh lebih mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi, perihal apa yang membuat mereka tersenyum? Kalau melihat kondisi saat ini, rasa-rasanya (menurut saya) sangat susah membuat seseorang bisa tersenyum lepas.

Kita semua tahu bahwa semenjak pandemi Covid-19 berakhir banyak sektor yang belum pulih benar. Itu belum termasuk harga beras medium yang terus naik, polusi udara di mana-mana (bukan hanya di Jakarta), El Nino, panas yang menyengat, India yang batal mengekspor beras ke Indonesia, ketahanan pangan yang dipertanyakan, industri manufaktur yang belum juga pulih, PHK yang terus terjadi, dan masih banyak lagi lainnya. Bukankah fakta itu tidak selaras dengan wajah tersenyum para politikus di jalanan?

Baca Juga: Berburu Kebahagiaan

Saya kemudian mencoba memikirkan alternatif lain yang semoga saja lebih sesuai. Kini saya meminjam teori semiotika Charles Sanders Pierce. Namun, sebelumnya saya minta Anda sepakat dulu dengan saya bahwa bahasa manusia bukan hanya bahasa verbal dan bahasa isyarat, melainkan juga ada bahasa nonverbal, seperti tulisan atau tanda.

Secara sederhana, Pierce menggolongkan tanda dalam tiga bentuk, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang sangat mirip dengan objek yang ditunjuk, contohnya gambar buku adalah ikon dari objek buku. Selanjutnya indeks, menurut Pierce, adalah tanda yang menggambarkan kausalitas, seperti apabila ada asap maka tentu ada api. Lalu yang terakhir adalah simbol atau tanda dari sebuah objek yang sudah menjadi konsensus, misalnya tanda larangan parkir.

Pikiran saya kemudian kembali pada wajah-wajah para politikus itu. Saya berpendapat wajah-wajah tersebut masuk kategori ikon dan indeks. Saya pilih ikon karena memang itu wajah mereka, sementara indeks karena kemunculan mereka menandakan musim kampanye dan pemilu yang segera tiba. Kampanye! Kata itu tergiang-ngiang di telinga saya.

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kampanye merupakan kegiatan partai politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan lainnya untuk mendapat dukungan massa dalam sebuah pemungutan suara. Jadi kata kuncinya adalah kedudukan, sebuah kekuasaan. Adakah tujuan yang lain? Entahlah. Saya hanya bisa berdoa dengan sangat serius semoga saja ada.

Layanan Pelanggan

Dengan merujuk pada tujuan kekuasaan, saya pada akhirnya menerjemahkan wajah-wajah mereka itu dengan tujuan yang sangat pragmatis dan itu tidak lain menjadi sejenis konten iklan. Tak ada bedanya! Bukankah keduanya sama-sama berjualan?

Iklan menjual barang, sementara tentu saja para politikus itu menjual diri mereka dengan segenap janji layanan yang bakal menguntungkan kita dengan syarat kita memilih mereka saat pemilu nanti. Jadi saya pikir praktiknya menjadi sama dengan ketika saya membeli blender karena tergoda iklan. Saya juga “membeli” para politikus itu dengan ganti membawa pulang janji mereka ke rumah.

Masalahnya, berapa banyak janji yang tak ditepati? Masih tersimpan di memori saya perihal RUU KUHP yang tiba-tiba saja sudah disahkan pada akhhir 2022 lalu, berlarut-larutnya pembahasan RUU Pekerja Rumah Tangga, dan tentu saja masih bayak sederet kekecewaan lainnya. Andaikata ada layanan pelanggan, saya pastilah segera mengisi formulirnya.

Hal lain yang membuat saya tak habis pikir, bagaimana logika para politikus itu sehingga mereka masih punya keberanian menjual senyum pemilu kalau lebih banyak produk mereka yang sejatinya tak memuaskan, sementara garansinya pun tak ada. Apakah mereka tidak malu? Atau kenapa mereka begitu yakin masyarakat Indonesia tetaplah para pembeli yang loyal dan pelanggan yang setia? Pertanyaan itu berputar-putar di kepala saya.

Saya rasa, ah… semoga saja saya salah, itu sebenarnya merefleksikan kondisi masyarakat kita yang semakin tak baik-baik saja. Saya teringat pada tulisan Baudrillard dalam bukunya Consumer Society. Senyuman tulus, pengorbanan, rasa cinta, spontanitas, keakraban, persaudaraan, sejatinya adalah hal yang makin menjauh dari kehidupan kita sehari-hari. Modernisasi ini membuat sistem dan hubungan sosial menjadi sangat buruk.

Namun, saya pikir strategi pemasaran dengan sangat jitu telah menempatkan wajah-wajah para politikus itu sebagai garda terdepan layanan masyarakat, tak ubahnya seperti resepsionis yang siap membantu kita apa saja, pelayan yang bersedia diperintah apa pun, atau buruh yang membungkuk pada majikannya. Senyum pemilu yang familier itu bagi saya tak ubahnya strategi pemasaran yang hebat-yang telah mencomot dengan banal strategi komunikasi tentang kedekatan, keakraban, dan personalisasi yang sangat pribadi. Saya menjadi ngeri sendiri. Jadi apa yang saya beli?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 September 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya