SOLOPOS.COM - Haryono Wahyudiyanto (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Beberapa waktu lalu UEFA kembali menegaskan standar ganda mereka. Asosiasi Sepak Bola Eropa itu mencekal Rusia. Tim negara itu tidak boleh ambil bagian dalam undian kualifikasi Euro 2024 karena negara itu masih menginvasi Ukraina.

FIFA dan UEFA secara resmi menjatuhkan sanksi kepada Russian Football Union (RFU) pada 1 Maret 2022. FIFA dan UEFA mengikuti langkah International Olympics Committee (IOC) yang telah menghukum Rusia.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Akibat sanksi tersebut, tim nasional sepak bola Rusia tidak diizinkan mengikuti berbagai agenda internasional milik FIFA dan UEFA, termasuk Piala Dunia 2022 dan kualifikasi Euro 2024. Rusia awalnya lolos ke babak play-off kualifikasi Eropa untuk Piala Dunia 2022.

Klub-klub Rusia dilarang mengikuti kompetisi di Eropa seperti Liga Champions dan Liga Europa akibat invasi Rusia ke Ukraina. Tim sepak bola putri Rusia juga dikeluarkan dari Euro tahun ini yang berlangsung di Inggris dan tempatnya diambil oleh Portugal.

Belarusia, tetangga Rusia, juga terkena imbas karena mendukung invasi Rusia ke Ukraina. Rusia sebenarnya tidak tinggal diam. Upaya pengajuan banding Rusia atas larangan mengikuti kompetisi di zona UEFA ditolak oleh Pengadilan Arbitrase Olahraga atau Court of Arbitration for Sport (CAS) pada Juli 2022.

Sanksi FIFA maupun UEFA tersebut mendapat kritikan di mana-mana. FIFA dan UEFA dinilai telah memainkan standar ganda. Badan sepak bola itu dianggap terlalu dalam masuk ke ranah politik. Langkah menghukum Rusia itu dibandingkan dengan tidak kuasanya FIFA dan UEFA menghadapi invasi Israel ke Palestina yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

Demikian juga saat Amerika Serikat menginvasi Irak. Kalau melihat lebih ke dalam lagi, standar ganda itu sudah dipraktikkan saat mereka menghukum klub Skotlandia, Glasgow Celtic, gara-gara fans mengibarkan bendera Palestina di stadion pada 2016.

Klub di Indonesia seperti Persija Jakarta pernah dihukum dengan alasan yang sama. Persija Jakarta mendapat sanksi dari Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) berupa denda Rp135 juta setelah suporter mengibarkan bendera Palestina di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, saat menghadapi Tampines Rovers di ajang Piala AFC pada 2018.

Gimmick

Striker Sevilla, Frederic Kanoute, juga dihukum setelah pada 7 Januari 2009 melakukan selebrasi mengangkat kaus bertuliskan “Palestina” seusai mencetak satu gol ke gawang Deportivo La Coruna di ajang Copa Del Rey.

Atas aksi itu, ia diganjar kartu kuning dan kemudian dijatuhi denda sebesar US$4.000 karena dianggap melanggar aturan FIFA. Standar ganda FIFA dan UEFA dikritik para pemain Rusia seperti Artem Dzyuba.

Kapten tim nasional sepak bola Rusia ini memang tidak membenarkan invasi Rusia ke Ukraina. Dzyuba tak menyangka FIFA bertindak begitu cepat. Pemain Zenit Saint Petersburg ini mengatakan olahraga seharusnya apolitis, namun itu tidak berlaku bagi Rusia.

Sepak bola dan politik adalah dua entitas yang berbeda, meskipun politik sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari sepak bola. Beberapa contoh menunjukkan sepak bola dijadikan sebagai kekuatan politik, seperti Barcelona sebagai representasi perlawanan bangsa Catalan terhadap Spanyol.

Suporter Barca pernah membentangkan spanduk atau bendera bertuliskan “Catalonia is not Spain” di Stadion Camp Nou, markas Barcelona. FIFA sebenarnya memiliki kampanye “Kick Politic Out of Football” yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (5) Law of the Games 2021/2022 yang dirilis International Footbal Association Board (IFAB).

Pasal itu mengatur pelarangan berbagai atribut politik, pandangan politik, atau agama di dalam sepak bola. FIFA dan struktur organisasi di bawahnya menjadi hipokrit atau munafik saat menyikapi konflik Rusia versus Ukraina.

Ada motif politik di balik keputusan FIFA dan UEFA menghukum Rusia dari pentas sepak bola dunia. Isu yang berkembang, sanksi itu diberikan setelah muncul banyak desakan dari para pemimpin Barat. Di sisi lain, terkesan ada pembiaran ketika di stadion muncul atribut Ukraina.

Sikap FIFA, UEFA, dan masyarakat sepak bola Eropa tentang konflik Ukraina-Rusia dan Palestina-Israel menjadi bukti bahwa jargon “Kick Politic Out of Football” adalah gimmick politik belaka. Standar ganda itu menunjukkan siapa sebenarnya FIFA.

Banyak kepentingan di sana yang memunculkan skandal 2015 dan menjadikan FIFA sebagai organisasi terkorup. Sembilan pejabat FIFA, termasuk Presiden FIFA Sepp Blatter dan Presiden UEFA Michel Platini, harus masuk bui terkait kasus suap sponsor dan proses seleksi tuan rumah Piala Dunia 2010, pemilihan presiden FIFA tahun 2011, korupsi hak siar Piala Dunia 2014, hingga pemilihan Rusia dan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 September 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya