SOLOPOS.COM - Damar Sri Prakoso (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Klub sepak bola dari wilayah Soloraya saat ini tengah unjuk gigi di berbagai level kompetisi sepak bola Liga Indonesia. Sejak manajemen dipegang putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, bersama Kevin Nugroho dan Erick Thohir, Persis Solo sejauh ini menjadi klub paling maju dan sukses di antara klub lain di wilayah Soloraya.

Setelah menjadi jawara Liga 2 musim lalu, tahun ini Persis Solo cukup bertaji di Liga 1, kasta tertinggi di kompetisi Liga Indonesia. Di Liga 3, ada delapan klub berbasis di Soloraya yang bersaing mengarungi musim kompetisi 2022/2023 dengan target promosi ke Liga 2.

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Delapan klub itu adalah Persika Karanganyar, Persiwi Wonogiri, Persebi Boyolali, PSIK Klaten, Persiharjo Sukoharjo, serta tiga klub dari Kota Solo, yaitu Universitas Surakarta FC, AT Farmasi Solo, dan Putra Surakarta.

Tidak ada nama PSISra Sragen dalam daftar itu. PSISra Sragen menjadi satu-satunya klub berbasis di Soloraya yang tidak ambil bagian dalam kompetisi Liga 3. Alasannya klasik: tidak ada biaya.

Ketua Umum PSISra Sragen, Titon Darmasto, mengestimasikan biaya yang dibutuhkan untuk bisa mengikuti Liga 3 dalam semusim mencapai Rp500 juta. Pada masa lalu, klub-klub sepak bola Indonesia yang berangkat dari perserikatan begitu dimanjakan dengan kucuran dana anggaran pendapatan dan belanda daerah (APBD).

Berbekal suntikan dana APBD dan dipadu dengan keinginan petinggi klub yang biasanya merangkap kepala daerah, manajemen bisa menyusun skuad terbaik. Biaya operasional tak jadi soal. Pada 2011, Menteri Dalam Negeri saat itu, Gamawan Fauzi, melarang penggunaan APBD untuk membiayai klub-klub sepak bola profesional.

Ini jelas kabar buruk bagi klub yang terbiasa didukung dana APBD. Di sisi lain, kenyataan ini memaksa mereka lebih kreatif dalam mencari sumber dana lain sebagai modal mengelola klub sekaligus modal operasional mengarungi kompetisi liga.

Wahyu Ganish Orysatvyanto dalam skripsi yang berjudul Managemen Pembinaan Olahraga Sepakbola di Klub PSIS Semarang (2012) menyatakan untuk urusan penggalian serta penggalangan dana operasional PSIS Semarang, baik itu dana yang bersumber dari sponsorship maupun yang lainnya, menjadi tugas pokok PT Mahesa Jenar.

Beberapa sumber dana yang dikelola PT Mahesa Jenar adalah dana dari sponsorship, dana dari bagian penjualan tiket pertandingan, dana dari KONI, dan dana sumbangan dari pihak ketiga yang sifatnya tidak mengikat.

Dana yang terkumpul dikelola serta diperuntukkan sesuai dengan anggaran pendapatan serta anggaran belanja yang telah disusun setiap tahun oleh manajemen. Secara umum dipergunakan untuk belanja pemain, belanja pelatih, belanja perjalanan manajemen dan tim, belanja pengadaan barang (perlengkapan), pembiayaan kompetisi klub anggota PSIS, belanja pertandingan home, operasional panitia pelaksana pertandingan, persiapan dan pemeliharaan stadion, operasional perangkat pertandingan, serta biaya-biaya umum (perbaikan dan pemeliharaan).

Manajemen

Contoh lain, (mantan) Presiden Persebaya Surabaya, Azrul Ananda, di kanal Youtube Persebaya berbicara tentang bisnis sepak bola. Dalam video yang diunggah pada 8 April 2017 itu, Azrul mengupas tentang biaya tim sepak bola. Dia membagi biaya tim sepak bola dalam tiga bagian.

Pertama, gaji tim.  Kedua, biaya operasional. Ketiga, biaya pertandingan kandang. Dengan batas maksimal jumlah pemain di Indonesia 30 orang dan jumlah tim pelatih bervariasi, dana ideal untuk biaya tim Rp15 miliar. Asumsinya, jika kualitas pemain lebih tinggi, biaya tim juga lebih tinggi.

Biaya operasional tim meliputi kebutuhan staf nontim, administrasi, operasional, biaya sehari-hari, perlengkapan, dan lain-lain yang dibutuhkan selama setahun atau satu musim. Biaya operasional kurang lebih Rp10 miliar.

Yang ketiga, biaya tim untuk menggelar laga kandang. Itu tergantung berapa kali tim akan bermain dalam semusim. Untuk Persebaya yang bermain di Liga 2 pada waktu itu, hitungan kasarnya adalah Rp5 miliar.

Total pengeluaran biaya untuk tim jika ingin benar-benar profesional adalah Rp30 miliar. Belum lagi untuk bonus prestasi, pembinaan, dan biaya promosi. Pada musim ini, Persebaya berlaga di Liga 1. Tentu saja asumsi biaya macam-macam itu juga jauh lebih tinggi lagi. Dari mana sumber pendapatan klub sepak bola?

Klub-klub di Eropa layak dijadikan acuan. Mereka setidaknya punya enam pos sumber pendapatan, yakni hak siar, tiket, hadiah uang, merchandise, transfer pemain, dan sponsor. Sebagian pengelola klub sepak bola lokal mungkin sudah menerapkan itu.

Banyak manajemen klub sepak bola yang masih kesulitan secara finansial untuk menjalankan klub. Pengamat sepak bola Mohamad Kusnaeni alias Bung Kus dalam sebuah kesempatan mengatakan modal yang diperlukan klub untuk mengarungi kompetisi Liga 3 idealnya Rp2 miliar hingga Rp5 miliar dalam semusim.

Angka yang cukup besar untuk bahan bakar klub sepak bola. Jika manajemen kurang lincah dalam mencari sumber dana, bisa jadi klub sepak bola akan mati suri, tak bisa ikut kompetisi, dan gigit jari.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 September 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya