SOLOPOS.COM - Suharsih (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO —Kawit  biyen kok usreg terus, kenapa ya? Yang diributkan apa, ta?” Begitu komentar salah satu warganet dalam unggahan berita tentang keributan di Keraton Solo yang kembali terjadi pada Jumat (23/12/2022) malam lalu. Komentar itu muncul di akun Instagram @koransolopos.

Komentar warganet itu mungkin mewakili yang dipikirkan sebagian besar warga tiap kali membaca berita tentang konflik dan keributan di keluarga Keraton Solo, keluarga Dinasti Mataram Islam tersebut. Bisa jadi sebenarnya banyak warga yang apatis, tidak peduli, dan mungkin sudah lelah mendengar drama-drama yang terjadi di keluarga ningrat itu.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Konflik internal keluarga Keraton Solo pada generasi ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Hingga kini belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Bibit-bibit konflik itu seolah-olah mengakar sehingga hal-hal sepele saja bisa langsung menyulut api konflik tersebut.

Terbaru adalah keributan di Keraton Solo pada Jumat (23/12/2022) malam yang dipicu kedatangan mendadak puluhan orang, entah dari pihak mana. Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Solo menyebut puluhan orang itu dari kubu Raja Paku Buwono (PB) XIII yang tiba-tiba saja datang dan memaksa menutup Kori Kamandungan.

Wakil PB XIII menyebut puluhan orang itu datang dan menyerang abdi dalem yang sedang berjaga di pintu-pintu keraton. Pintu keraton dijaga atas perintah PB XIII dengan alasan ada peningkatan eskalasi dan aktivitas di Keraton Solo yang potensial berujung tindakan negatif.

Peningkatan eskalasi atau kegiatan itu membuat banyak orang tak berkepentingan keluar masuk lingkungan keraton dan memunculkan kekhawatiran akan ada ancaman terhadap keselamatan PB XIII dan keluarganya.

Keributan pada Jumat malam itu mengakibatkan beberapa orang terluka, termasuk salah seorang putri dan cucu PB XIII. Keributan semacam ini bukan kali pertama terjadi pada era PB XIII. Berdasarkan catatan saya, keributan yang melibatkan kontak fisik pernah terjadi beberapa hari menjelang jumenengan atau penobatan PB XIII pada awal September 2004.

Saat itu Tedjowulan yang dinobatkan menjadi PB XIII pada 31 Agustus 2004 bersama pendukungnya menyerbu dan mendobrak pintu Keraton Solo. Akibat penyerbuan itu, beberapa kerabat dan abdi dalem Keraton Solo terluka.

Tedjowulan dan pendukungnya dilaporkan kepada polisi atas tuduhan perusakan bangunan cagar budaya dan jumenengan PB XIII tetap berlangsung pada 10 September 2004. Persoalan dualisme raja ini sebenarnya sudah selesai dengan rekonsiliasi yang difasilitasi pemerintah pusat.

Rekonsiliasi dituangkan hitam di atas putih dan ditandatangani pihak-pihak terkait di Gedung DPR Senayan, Jakarta, pada 4 Juni 2012. Tedjowulan tunduk dan menyatakan bersedia melepas gelar PB XIII. Ia selanjutnya mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung (K.G.P.H.P.A.).

Rupanya konflik tak selesai dengan rekonsiliasi itu. Sejumlah putra-putri PB XII yang menolak rekonsiliasi mendirikan Lembaga Dewan Adat Keraton Solo. Lembaga itu memberhentikan sang raja dengan alasan selama memerintah PB XIII beberapa kali melakukan pelanggaran.

Lembaga Dewan Adat melarang Raja PB XIII dan pendukungnya memasuki Keraton Solo. Sejumlah pintu masuk menuju gedung utama Keraton Solo dikunci dan ditutup dengan pagar pembatas.

Pusat Kebudayaan Jawa

PB XIII yang sudah bersatu dengan Tedjowulan tak bisa bertakhta di Sasana Sewaka Keraton Solo. Pada 2017, pemerintahan Presiden Joko Widodo berupaya menyelesaikan konflik ini dengan mengutus anggota Dewan Pertimbangan Presiden saat itu, Jenderal (Purnawirawan) Subagyo H.S.

Upaya ini gagal. PB XIII yang didukung Tedjowulan tetap berseteru dengan Lembaga Dewan Adat Keraton Solo. Konflik di Keraton Solo memanas dengan pengurungan putri PB XIII, G.K.R. Timoer Rumbai, di dalam Keputren Keraton Solo pada April 2017.

Pengurungan terjadi sekitar sebulan setelah G.K.R. Timoer menggugat sang ayah, PB XIII, ke pengadilan atas tindakan melawan hukum. Hampir empat tahun kemudian, tepatnya Februari 2021, terjadi kisah putri yang terkurung jilid II terhadap G.K.R. Timoer Rumbai.

Timoer bersama beberapa abdi dalem dan putri PB XII, G.K.R. Wandansari atau Gusti Moeng, selama dua hari tanpa listrik dan hanya makan seadanya di dalam keraton. Kerabat Keraton Solo yang hendak mengirim makanan tak bisa masuk lantaran pintu terkunci.

Serangkaian konflik yang seolah-olah tak berkesudahan tersebut mmebuat publik akhirnya jenuh dan bosan. Serangkaian konflik itu dinilai tak jelas juntrungannya dan lebih banyak merugikan Keraton Solo sendiri serta masyarakat.

Wibawa Keraton Solo sebagai pusat sejarah dan kebudayaan Jawa warisan nenek moyang kini diambang runtuh. Perhatian publik beralih ke Pura Mangkunegaran yang terus melangkah maju, membuka diri terhadap perubahan, dan membangun ruang-ruang publik yang bisa diakses masyarakat yang ingin belajar budaya Jawa sekaligus berwisata.

Jika kondisi tersebut berlanjut, bukan tidak mungkin Keraton Solo akan semakin ditinggalkan. Konflik dan pertikaian yang terus muncul menjadi penghalang bagi pembangunan dan pengembangan Keraton Solo sebagai objek wisata sekaligus pusat belajar sejarah dan kebudayaan di Kota Solo.

Berbagai bantuan yang sebenarnya siap dikucurkan oleh pemerintah pusat terus tertunda akibat konflik yang tak kunjung selesai. Jangankan mengembangkan Keraton Solo sebagai objek wisata sekaligus pusat kebudayaan, untuk menjaga, merevitalisasi, dan memperbaiki bangunan yang rusak saja sulit.

Dalam situasi semacam ini, ditambah kondisi zaman yang terus berkembang dan melaju begitu cepat, sudah saatnya pihak-pihak berkepentingan di Keraton Solo konflik yang sudah tertanam lama.

Sudah saatnya seluruh keluarga dan sentana dalem bersatu dan menyatukan tujuan: melestarikan dan mengembangkan Keraton Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa dan warisan sejarah agar warisan nenek moyang tersebut tidak hilang ditelan zaman.

Saatnya pihak-pihak di internal Keraton Solo bersepakat menghentikan konflik dan pertikaian karena tanpa keinginan murni dari internal Keraton sendiri mustahil konflik yang sudah berlangsung hampir 20 tahun terakhir ini akan selesai.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 Desember 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya